Harjono Sigit: Kakek Al Ghazali dan Jejak Gemilang di Dunia Arsitektur

Di balik ketenaran Al Ghazali sebagai putra dari Maia Estianty, terdapat sosok kakek yang memiliki prestasi gemilang.
Harjono Sigit, pria berusia 86 tahun ini, pernah menjabat sebagai rektor di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya.
Pernikahan Al Ghazali dengan Alyssa Daguise telah menambah rasa ingin tahu masyarakat tentang latar belakang keluarga mereka.
Menurut informasi yang tertera di profil Ayorek.org yang terhubung dengan akun Instagramnya, Harjono lahir di Madiun pada 21 September 1939 dan merupakan cucu dari pahlawan nasional, HOS Tjokroaminoto.
Sejak muda, Harjono menunjukkan bakatnya dalam bidang arsitektur, menciptakan berbagai bangunan ikonik.
Harjono mengawali perjalanan akademiknya dengan merantau ke Bandung untuk menuntut ilmu di Institut Teknologi Bandung (ITB), mengambil jurusan Arsitektur.
Ia berhasil meraih gelar Insinyur pada tahun 1964.
Di akun Instagram @harjonosigit, Harjono membagikan momen wisudanya bersama teman-teman, yang terlihat mengenakan setelan formal tanpa toga.
"Wisuda ITB tahun 1964, belum musim pakai toga," ungkapnya dalam unggahan tersebut.
Sebagai salah satu pelopor Program Studi Arsitektur di ITS, Harjono bersama rekan-rekannya dari ITB, seperti Djelantik dan Johan Silas, berkontribusi besar dalam pengembangan kurikulum pendidikan arsitektur.
Program tersebut resmi dibuka di ITS pada tahun 1965.
Selain menjadi pengajar, Harjono juga aktif merancang bangunan dan menghasilkan karya-karya yang hingga kini diakui.
Setelah melalui berbagai posisi, pada tahun 1982, Harjono diangkat sebagai rektor kelima ITS dan menjabat hingga tahun 1986.
Dalam sebuah kesempatan, ia mengenang masa-masa sulit saat menjabat rektor, terutama dalam berinteraksi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang terkenal tegas.
"Sebagai rektor, saya merasa seperti menjadi penampung aspirasi warga kampus," ujarnya, sebagaimana dikutip dari situs resmi ITS.
Harjono juga menghadapi tantangan anggaran yang terbatas.
"Saat itu, ITS tidak memiliki dana yang cukup untuk perawatan fasilitas, sehingga banyak gedung yang tidak terawat dan ditumbuhi alang-alang," tambahnya.
Setelah masa jabatannya berakhir, Harjono kembali mengabdikan diri sebagai dosen senior hingga tahun 2005.
Salah satu karya pertamanya setelah lulus adalah Gedung PPS Semen Gresik di Jawa Timur dan Guest House Perhutani KPH Cepu di Jawa Tengah, keduanya dirancang pada tahun 1965.
Banyak dari karya Harjono berhubungan dengan proyek pemerintahan yang memiliki dampak luas bagi masyarakat.
Di antara karya-karyanya yang terkenal adalah Kantor Direksi Perhutani Divisi Regional Jawa Timur di Surabaya (1972), Balai Kota Samarinda di Kalimantan Timur (1973), dan Gedung DPRD Probolinggo di Jawa Timur (1973).
Salah satu proyek ikonik yang ia rancang adalah Pasar Atom di Surabaya, yang dibangun antara tahun 1977 hingga 1982.
Dalam perancangannya, Harjono memikirkan aspek kenyamanan dan keamanan bagi pengunjung dan pedagang.
"Saya merancang kolam renang di lantai lima yang dapat digunakan saat kebakaran," jelasnya.
Karya terakhir Harjono diketahui adalah Gedung Operasi Mata di Rumah Sakit Mata Undaan, yang selesai pada tahun 2001.
Dengan berbagai kontribusinya dalam dunia arsitektur, Harjono Sigit bukan hanya sekadar kakek dari Al Ghazali, tetapi juga sosok yang telah meninggalkan jejak penting dalam sejarah pendidikan dan pembangunan infrastruktur di Indonesia.