Top 10+ Alasan Psikologis Mengapa Orang Suka Beli Barang Mewah meski Harganya Fantastis

barang mewah, belanja barang mewah, alasan orang beli barang mewah, kenapa orang suka beli barang mewah, alasan psikologis orang beli barang mewah, 10 Alasan Psikologis Mengapa Orang Suka Beli Barang Mewah meski Harganya Fantastis, 1. Harga mahal diyakini lebih berkualitas, 2. Barang mewah sebagai simbol status, 3. Pengalaman emosional, 4. Reputasi merek yang kuat, 5. Daya tarik barang langka , 6. Ekspresi diri lewat fashion, 8. Otak memang menyukainya, 9. Pengaruh media sosial dan influencer, 10. Menghadirkan perasaan puas

Di tengah masalah ekonomi dan meningkatnya kesadaran akan gaya hidup minimalis, fenomena konsumsi barang mewah nyatanya masih tetap tumbuh.

Dari tas desainer, jam tangan mahal, perhiasan mewah, hingga liburan eksklusif, produk-produk ini terus menjadi incaran, bahkan oleh mereka yang sebenarnya belum tentu mampu secara finansial.

Namun sebenarnya, mengapa banyak orang rela merogoh kocek dalam-dalam, bahkan sampai berhutang, demi memiliki barang-barang mewah? 

Simak 10 alasan psikologis mengapa barang mewah memiliki daya tarik luar biasa, meski harganya sangat fantastis.

10 Alasan Psikologis Mengapa Orang Suka Beli Barang Mewah

1. Harga mahal diyakini lebih berkualitas

Ada kecenderungan psikologis yang disebut price-quality heuristic, yakni ketika harga tinggi dianggap sebagai penanda kualitas yang lebih baik.

Meskipun belum tentu, asumsi ini melekat kuat dalam benak konsumen. Akibatnya, banyak orang memilih produk yang lebih mahal, hanya karena percaya bahwa harganya mencerminkan kualitas tinggi.

Padahal dalam praktiknya, perbedaan harga tidak selalu berbanding lurus dengan perbedaan kualitas.

Misalnya, banyak tas kulit dengan desain fungsional bisa ditemukan dengan harga yang jauh lebih murah dibanding merek mewah, tapi pilihan tetap jatuh pada brand terkenal, karena anggapan bahwa harganya menjamin kelas dan prestise.

2. Barang mewah sebagai simbol status

Kepemilikan barang mewah sering kali menjadi penanda status sosial dan simbol pencapaian. Merek-merek seperti Louis Vuitton, Rolex, atau Hermes bukan sekadar produk, melainkan lambang eksklusivitas dan keberhasilan.

Desain, logo, dan cerita di balik brand tersebut menjadi sarana komunikasi non-verbal yang menunjukkan siapa kita dan di mana posisi kita dalam masyarakat.

Dari perspektif psikologi sosial, ini berkaitan erat dengan kebutuhan manusia untuk diakui dan dibedakan dari orang lain.

Ketika seseorang menggunakan barang mewah, yang ditampilkan bukan hanya selera, tetapi juga status ekonomi dan sosial yang ingin mereka proyeksikan ke lingkungan sekitar.

3. Pengalaman emosional

Membeli barang mewah bukan sekadar soal memiliki, melainkan pengalaman emosional yang mendalam.

Rasa senang saat memilih produk, antusiasme saat menunggu rilis terbaru, hingga kebanggaan saat menggunakannya, semuanya menciptakan efek emosional yang kuat.

Bahkan, bagi sebagian orang, membeli barang mewah adalah bentuk perayaan atas pencapaian atau upaya mengobati stres dan kelelahan.

Penelitian konsumen menunjukkan bahwa kepemilikan barang mewah dapat meningkatkan kebahagiaan dan harga diri.

Aktivitas ini sering kali menjadi semacam ritual pribadi yang memberikan kepuasan psikologis, meski bersifat sementara.

barang mewah, belanja barang mewah, alasan orang beli barang mewah, kenapa orang suka beli barang mewah, alasan psikologis orang beli barang mewah, 10 Alasan Psikologis Mengapa Orang Suka Beli Barang Mewah meski Harganya Fantastis, 1. Harga mahal diyakini lebih berkualitas, 2. Barang mewah sebagai simbol status, 3. Pengalaman emosional, 4. Reputasi merek yang kuat, 5. Daya tarik barang langka , 6. Ekspresi diri lewat fashion, 8. Otak memang menyukainya, 9. Pengaruh media sosial dan influencer, 10. Menghadirkan perasaan puas

Ilustrasi barang mewah

4. Reputasi merek yang kuat

Merek-merek mewah menikmati apa yang disebut hallo effect, yakni ketika citra positif merek secara keseluruhan memengaruhi cara orang menilai semua produk yang dikeluarkan.

Misalnya, Rolex dikenal sebagai simbol presisi dan keandalan, sehingga jam tangan apa pun dari brand tersebut otomatis dianggap memiliki kualitas tinggi, meski belum pernah digunakan langsung oleh pembelinya.

Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh reputasi dalam membentuk persepsi konsumen.

Dalam dunia barang mewah, nama merek bukan hanya penanda identitas, tetapi juga alat pemasaran yang sangat efektif untuk menanamkan kesan unggul pada produk-produk mereka.

5. Daya tarik barang langka 

Kelangkaan adalah strategi yang sering dipakai oleh merek mewah untuk meningkatkan nilai produk mereka.

Barang-barang yang diproduksi dalam jumlah terbatas menciptakan kesan eksklusivitas, yang membuatnya terasa lebih berharga dan diidamkan.

Hal ini sesuai dengan prinsip psikologi kelangkaan: semakin sulit suatu barang didapatkan, semakin besar keinginan orang untuk memilikinya.

Merek seperti Supreme, misalnya, berhasil membangun "budaya war" dengan merilis produk dalam jumlah terbatas dan dalam waktu yang sangat singkat.

Strategi ini bukan hanya meningkatkan permintaan, tetapi juga memperkuat citra brand sebagai sesuatu yang hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang terpilih.

6. Ekspresi diri lewat fashion

Barang mewah menjadi sarana penting untuk mengekspresikan jati diri. Melalui pilihan mode dan aksesori, seseorang menunjukkan siapa dirinya, serta bagaimana ia ingin dilihat oleh orang lain.

Fashion mewah bukan hanya tentang estetika, tetapi juga bahasa simbolik yang mencerminkan kepribadian dan nilai hidup.

Dalam era personal branding yang kuat, memiliki barang mewah juga berkaitan dengan pembentukan citra diri.

Banyak orang menggunakan merek-merek ternama sebagai bagian dari identitas sosial yang ingin mereka bangun, baik dalam kehidupan nyata maupun di media sosial.

Ilustrasi barang mewah.7. Apresiasi kualitas dan kerajinan

Salah satu daya tarik utama barang mewah adalah kualitas dan perhatian terhadap detail yang luar biasa.

Produk-produk dari rumah mode ternama biasanya dibuat dengan bahan terbaik dan melalui proses produksi yang melibatkan keahlian tangan tingkat tinggi.

Konsumen yang menghargai craftsmanship merasa bahwa harga mahal setimpal dengan kualitas dan estetika yang mereka dapatkan.

Apresiasi ini juga mencerminkan penghormatan terhadap seni dan warisan budaya. Dalam dunia mode, misalnya, banyak brand mewah yang membawa cerita panjang tentang sejarah, tradisi, dan teknik pembuatan yang diwariskan selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Hal ini membuat produk mereka terasa lebih dari sekadar barang, melainkan sebuah karya seni yang bisa diwariskan.

8. Otak memang menyukainya

Dari sisi neurosains, membeli barang mewah ternyata bisa memicu reaksi kimia di otak. Proses ini melibatkan pelepasan dopamin, zat kimia yang menimbulkan rasa senang dan puas.

Oleh karena itu, sensasi yang ditimbulkan saat membeli barang mewah bisa terasa sangat memuaskan dan bahkan membuat ketagihan.

Respons neurologis ini juga membantu menjelaskan mengapa beberapa orang menjadikan belanja sebagai pelarian emosional atau bentuk hiburan.

Sensasi menyenangkan itu bukan ilusi, melainkan hasil reaksi biologis nyata yang memperkuat perilaku pembelian.

9. Pengaruh media sosial dan influencer

Di era digital, citra barang mewah diperkuat melalui kehadiran influencer dan platform media sosial.

Influencer yang dikenal luas karena gaya hidup mewah sering menjadi panutan konsumen, terutama generasi muda.

Ketika mereka menampilkan barang-barang desainer, audiens pun terdorong untuk mengikuti, baik sebagai aspirasi maupun bentuk pencapaian pribadi.

Media sosial juga menciptakan ruang di mana status sosial dapat dipamerkan secara visual.

Barang mewah yang dikenakan atau difoto menjadi bukti simbolik dari gaya hidup sukses, sehingga meningkatkan daya tariknya secara signifikan.

Di sinilah kekuatan psikologis konsumsi mewah benar-benar terasa: bukan hanya tentang barang, tetapi tentang bagaimana barang itu dilihat dan dibicarakan oleh orang lain.

10. Menghadirkan perasaan puas

Banyak keputusan pembelian yang tidak didasarkan pada perhitungan logis atau finansial, melainkan dorongan emosional.

Dalam konteks barang mewah, tak sedikit orang yang membeli produk dengan harga fantastis meskipun sebenarnya tidak mampu secara ekonomi. Fenomena ini tercermin dari tingginya tingkat utang konsumsi.

Ketidakrasionalan ini dipicu oleh persepsi bahwa memiliki barang mewah akan membawa perasaan puas, bahagia, atau bahkan status tertentu.

Dorongan ini sering kali mengalahkan logika sederhana soal fungsi barang. Tas biasa bisa membawa barang dengan baik, tapi tas seharga puluhan hingga ratusan juta rupiah seolah memberikan lebih dari sekadar fungsi, ia memberi rasa memiliki sesuatu yang besar.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!