Museum Louvre Tutup, Staf Kelelahan di Tengah Badai Overtourism Global

Louvre, rumah bagi lukisan Mona Lisa nan terkenal, tetap tertutup pada Senin (16/6). Turis memenuhi plaza, tiket di tangan, tanpa kejelasan mengapa museum paling terkenal di dunia tiba-tiba berhenti beroperasi.
Tak ada perang ataupun teror yang menyebabkan penutupan museum ini. Namun, penutupan disebabkan para staf museum kelelahan. Mereka menyebut museum paling banyak dikunjungi di dunia dan simbol global seni, keindahan, serta ketahanan ini tengah runtuh dari dalam.
Meski terlihat seperti protes pekerja, penutupan Museum Louvre lebih besar daripada itu. Tak dimungkiri, situasi penutupan ini nyaris tak bisa dibayangkan. Rumah bagi karya Leonardo da Vinci dan harta karun peradaban selama ribuan tahun justru lumpuh oleh orang-orang yang seharusnya menyambut dunia ke galeri Louvre.
Penutupan Museum Louvre telah menjadi penanda bagi fenomena overtourism global. Saat destinasi wisata populer seperti Venesia hingga Akropolis berusaha membatasi jumlah pengunjung, museum paling ikonis di dunia ini juga tengah menghadapi titik baliknya sendiri. Pemogokan spontan meledak saat pertemuan internal rutin, ketika petugas galeri, agen tiket, dan personel keamanan menolak bekerja sebagai bentuk protes terhadap kerumunan yang tak tertangani, kekurangan staf kronis, dan apa yang disebut salah satu serikat sebagai kondisi kerja yang ‘tak tertahankan’.
“Ini seperti keluhan Mona Lisa. Ribuan orang menunggu, tanpa informasi, tanpa penjelasan. Kurasa bahkan dia pun butuh hari libur,” kata Kevin Ward, 62, turis dari Milwaukee, AS, dikutip The Korea Times. Ia menjadi salah satu dari ribuan pengunjung yang kebingungan dan terjebak dalam antrean tak bergerak di bawah piramida kaca rancangan I.M. Pei.
Penutupan Louvre untuk publik merupakan hal langka. Museum ini pernah ditutup saat perang, pandemi, dan pemogokan staf singkat pada 2019. Namun, belum pernah seperti ini. Gangguan ini muncul hanya beberapa bulan setelah Presiden Emmanuel Macron mengungkap rencana jangka panjang selama satu dekade untuk menyelamatkan Louvre dari masalah yang kini mencuat, seperti kebocoran air, perubahan suhu berbahaya, infrastruktur usang, dan lalu lintas pengunjung jauh di atas kapasitas yang bisa ditangani museum.
Namun, bagi para pekerja di lapangan, masa depan yang dijanjikan terasa begitu jauh. “Kami tidak bisa menunggu enam tahun untuk bantuan. Tim kami berada di bawah tekanan sekarang. Ini bukan hanya tentang karya seni, melainkan tentang orang-orang yang melindunginya,” kata Sarah Sefian dari serikat CGT-Culture.
Pusat perhatian, seperti biasa, ialah Mona Lisa, potret abad ke-16 yang menarik kerumunan modern layaknya jumpa fan selebritas ketimbang pengalaman seni sejati. Sekitar 20.000 orang per hari berdesakan masuk ke Salle des États, ruang terbesar di museum, hanya untuk mengambil swafoto dengan perempuan enigmatis karya Leonardo da Vinci di balik kaca pelindung. Suasananya sering kali bising, berdesakan, dan begitu padat hingga banyak orang nyaris tak melirik mahakarya di sekelilingnya, seperti karya Titian dan Veronese yang sebagian besar diabaikan.
“Kamu tidak melihat lukisan. Kamu hanya lihat ponsel. Siku. Panas. Lalu kamu didorong keluar,” kata Park Ji-Hyun, 28, yang terbang dari Seoul ke Paris.
Rencana Renovasi Mendesak
Rencana renovasi Macron, yang diberi nama Louvre New Renaissance, menjanjikan solusi. Mona Lisa akan mendapatkan ruang khusus sendiri, dengan tiket masuk berdasarkan waktu yang ditentukan. Pintu masuk baru di dekat Sungai Seine juga direncanakan selesai pada 2031 untuk mengurangi tekanan dari pusat piramida yang sudah terlalu padat. “Kondisi penayangan, penjelasan, dan penyajian akan disesuaikan dengan apa yang layak didapat Mona Lisa,” kata Macron pada Januari lalu.
Louvre menyambut 8,7 juta pengunjung tahun lalu — lebih dari dua kali lipat kapasitas infrastruktur yang dirancang. Bahkan dengan batas harian 30.000 pengunjung, menurut para staf, pengalaman tersebut kini menjadi ujian ketahanan harian. Terlebih area istirahat minim, toilet terbatas, dan cuaca musim panas yang diperparah efek rumah kaca dari piramida.
Dalam sebuah memo internal yang bocor, Presiden Louvre Laurence des Cars memperingatkan bagian-bagian bangunan tidak lagi kedap air, fluktuasi suhu membahayakan karya seni tak ternilai, dan bahkan kebutuhan dasar pengunjung, seprti makanan, toilet, dan petunjuk arah, masih jauh dari standar internasional. Ia menggambarkan pengalaman berkunjung sebagai ‘ujian fisik’.
Rencana renovasi penuh, dengan perkiraan biaya 700 jut – 800 juta euro, diperkirakan akan dibiayai melalui pendapatan tiket, donasi swasta, dana negara, dan lisensi dari cabang Louvre di Abu Dhabi. Harga tiket untuk turis non-Uni Eropa diperkirakan akan naik akhir tahun ini. Namun, para pekerja mengatakan kebutuhan mereka jauh lebih mendesak daripada rencana 10 tahun.
Berbeda dengan situs besar lainnya di Paris seperti Katedral Notre-Dame atau museum Centre Pompidou, yang keduanya tengah menjalani restorasi yang didukung pemerintah, Louvre justru masih terkatung-katung. Tak sepenuhnya didanai dan tak sepenuhnya berfungsi.
Presiden Macron, yang menyampaikan pidato kemenangan Pemilu 2017 di Louvre dan menampilkannya selama Olimpiade Paris 2024, telah menjanjikan museum yang lebih aman dan modern pada akhir dekade ini.
Hingga saat itu tiba, harta budaya terbesar Prancis, dan kerumunan pengunjungnya, tetap terjebak di antaranya.(dwi)