Pariwisata Berbasis Komunitas: Jalan Strategis Menuju Pertumbuhan Inklusif

INDONESIA dikenal sebagai negara dengan kekayaan budaya, keindahan alam, dan keragaman etnis yang luar biasa.
Tak heran jika sektor pariwisata menjadi salah satu andalan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, di balik geliat pembangunan destinasi unggulan dan meningkatnya kunjungan wisatawan, Indonesia juga menghadapi tantangan besar akibat ketidakpastian ekonomi global.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana menjadikan pariwisata lebih inklusif, berkelanjutan, dan benar-benar berpihak pada masyarakat lokal?
Di sinilah pendekatan Community-Based Tourism (CBT) menemukan relevansinya. Model ini menempatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama dalam rantai nilai pariwisata, mulai dari perencanaan hingga penyediaan layanan.
CBT memungkinkan manfaat ekonomi mengalir langsung ke akar rumput, sekaligus memperkuat pelestarian budaya dan kelestarian lingkungan hidup.
Melalui keterlibatan aktif masyarakat, CBT menciptakan model pariwisata yang lebih berkelanjutan, di mana keberhasilan tidak hanya diukur dari pendapatan yang dihasilkan, tetapi juga dari dampaknya terhadap kualitas hidup masyarakat lokal, terutama dalam hal pemberdayaan sosial dan ekonomi.
Lebih dari sekadar pendekatan teknis, CBT merupakan wujud nyata dari kearifan lokal dan semangat gotong royong yang menjadi jati diri bangsa.
Masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pemegang kendali atas keputusan-keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
CBT memberi ruang bagi masyarakat untuk mengelola sumber daya pariwisata dengan bijak, menghindari eksploitasi yang kerap terjadi dalam model pariwisata konvensional, dan memastikan distribusi manfaat yang lebih merata.
CBT mendorong kesadaran sosial dan budaya yang lebih dalam melalui partisipasi langsung komunitas dalam industri pariwisata.
Wisatawan tidak sekadar berkunjung, tetapi juga berinteraksi, belajar, dan menghargai kehidupan masyarakat secara lebih autentik.
Mereka diajak untuk memahami nilai-nilai yang dijaga oleh masyarakat setempat, mulai dari cara hidup, tradisi, hingga cara mereka mengelola alam sekitar.
Ilustrasi membatik.
Contoh konkret dari kegiatan CBT antara lain wisata tinggal di homestay milik warga, mengikuti lokakarya membatik atau menenun bersama perajin lokal, mencicipi masakan tradisional hasil olahan dapur komunitas, serta tur edukatif ke lokasi konservasi alam yang dikelola masyarakat.Selain itu, penciptaan dan aktivasi intellectual property (IP) lokal, seperti merek kerajinan khas, karya seni, hingga pertunjukan budaya, juga perlu diperbanyak sebagai bentuk pelestarian identitas dan peningkatan nilai ekonomi masyarakat.
Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya memperkaya pengalaman wisatawan, tetapi juga langsung berdampak pada peningkatan pendapatan warga dan pelestarian budaya lokal.
Langkah pemerintah dalam menciptakan sistem otorisasi tunggal melalui pembentukan InJourney sebagai holding BUMN sektor aviasi dan pariwisata adalah keputusan yang tepat.
InJourney diharapkan menjadi orkestrator seluruh ekosistem dan komunitas pariwisata nasional—menyatukan infrastruktur, pelaku industri, serta masyarakat lokal dalam satu visi pembangunan yang terintegrasi.
Saat ini, InJourney membawahi berbagai entitas strategis seperti pengelola bandar udara, jaringan hotel, sektor ritel, pengembang kawasan pariwisata, pengelola destinasi warisan budaya, hingga penyedia jasa layanan aviasi.
Penyatuan ini memberikan fondasi kuat untuk membangun sinergi yang lebih luas dan efektif.
Dengan sistem ini, proses birokrasi menjadi lebih sederhana, pengambilan keputusan lebih cepat, dan kualitas pelayanan terhadap wisatawan serta pelaku industri meningkat secara signifikan.
Pendekatan ini juga memperkuat koordinasi lintas sektor, khususnya dalam hal konektivitas dan pembangunan infrastruktur destinasi.
Dalam konteks ketidakpastian ekonomi global, langkah Indonesia membangun masa depan pariwisata melalui pendekatan berbasis komunitas merupakan pilihan strategis yang dapat dipertanggungjawabkan keberlanjutannya.
CBT terbukti lebih resilien terhadap krisis karena berakar pada kekuatan lokal dan tidak semata bergantung pada pasar internasional.
Perubahan pola konsumsi global, disrupsi rantai pasok, dan ketidakstabilan geopolitik telah mendorong perlunya strategi pembangunan ekonomi yang mengutamakan keberlanjutan dan kemandirian.
Industri pariwisata nasional tak luput dari dampak ini—terutama pada penurunan trafik wisatawan dari pasar utama serta meningkatnya biaya operasional pelaku usaha.
Sebagaimana dicatat oleh Kementerian Keuangan, UMKM—yang merepresentasikan ekonomi kerakyatan—berjumlah 64,2 juta unit usaha, menyumbang 61,07 persen terhadap PDB (sekitar Rp 8.573,89 triliun), serta menyerap lebih dari 117 juta tenaga kerja, setara 97 persen dari total angkatan kerja nasional.
Bahkan, saat krisis moneter 1997/1998, sektor ini terbukti menjadi penyangga utama pemulihan ekonomi nasional.
Sebagai contoh, beberapa negara telah menerapkan CBT dalam pariwisata mereka, seperti Thailand, Malaysia, dan China.
Di Thailand, seperti yang terlihat pada kasus Mae Kampong, CBT telah memberikan keuntungan bagi komunitas lokal dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata, sekaligus meminimalkan dampak negatif dari pariwisata massal.
Di Malaysia, khususnya di Pulau Redang, CBT telah berhasil memperkuat partisipasi masyarakat dalam industri pariwisata, yang memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi penduduk setempat.
Sementara itu, di China, CBT berperan dalam pengembangan daerah pedesaan, memberikan kesempatan kepada komunitas untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya lokal secara berkelanjutan.
Dari beberapa contoh di berbagai negara ini, CBT mampu mendorong pemberdayaan masyarakat lokal, mengurangi ketergantungan pada investasi eksternal, dan pada akhirnya dapat memperkuat perekonomian lokal serta melestarikan budaya dan lingkungan.
Hal ini menjadikan CBT sebagai jalan strategis menuju pertumbuhan inklusif, di mana manfaat ekonomi dan sosial dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, dengan tetap menjaga keseimbangan ekologis dan budaya.
Dengan demikian, pengembangan pariwisata berbasis komunitas sejalan dengan karakter ekonomi bangsa: memperkuat dari akar, memberdayakan dari bawah.
Indonesia tidak hanya sedang membangun destinasi, tetapi juga sedang merancang masa depan pariwisata yang lebih adil, merata, dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, bayangkan jika seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, swasta, komunitas, dan masyarakat lokal—memiliki visi dan semangat yang selaras.
Jika sinergi ini terwujud, roda ekonomi rakyat akan berputar lebih cepat, pemerataan pembangunan destinasi menjadi kenyataan, dan pariwisata akan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan memperkuat CBT dan mengorkestrasi seluruh potensi pariwisata melalui kolaborasi lintas sektor, Indonesia semakin siap bersaing di pasar pariwisata global.
Keunggulan lokal yang dikelola secara solid dan inklusif akan menjadikan Indonesia sebagai destinasi kelas dunia yang kompetitif dan berkelanjutan.
Dengan fondasi yang kuat dan semangat kolaborasi yang menyatu, pariwisata berpotensi menjadi motor strategis pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen secara berkelanjutan.