PSSI Kecanduan Naturalisasi Pemain

OLE Lennard ter Haar Romenij atau Ole Romeny segera menjadi nyawa baru skuad tim nasional sepak bola Indonesia setelah menuntaskan proses naturalisasi pada Februari 2025.
Ia tersambung dengan Indonesia dari nenek pihak sang bunda. Kontan, Ole pun mendapat paspor Indonesia.
Patrick Kluivert kali pertama memanggil pemain kelahiran Nijmegen, Belanda ini untuk laga penting: menantang Australia di kandang mereka dalam ronde ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, Maret 2025.
Ole saat itu adalah satu di antara empat pemain baru hasil naturalisasi (atau diaspora) yang masuk 23 nama yang didaftarkan untuk menjaga kehormatan garuda itu.
Masuknya Ole memastikan timnas Indonesia sesak oleh pemain naturalisasi. Dari 23 pemain itu, cuma enam pemain yang besar serta bermain di kompetisi lokal.
Satu di antaranya, Marselino Ferdinan, mengharumkan Indonesia dengan merumput di Oxford United, klub peserta liga Championship Inggris.
Debut Ole berakhir muram. Australia membungkam Indonesia, 5-1. Gol-gol satu-satunya tim garuda dilesakkan Ole.
Selepas itu, ia mencetak dua gol penting ke gawang Bahrain dan China. Satu golnya dari titik putih yang merobek gawang China memastikan timnas Indonesia lolos ke ronde keempat.
Pecinta bola Indonesia berpesta, 15 hari sebelum Ole ulang tahun ke-25. Ini mengobati kekecewaan fans yang mimpinya dijungkalkan Australia untuk lolos langsung ke Piala Dunia 2026 dengan status runner grup C.
5 atas "Socceroos" itu salah satu biang keladinya. Padahal, di bawah asuhan Shin Tae-yong, timnas Indonesia berhasil menahan Australia 0-0 saat bermain di stadion Gelora Bung Karno Jakarta.
Keran gol Ole macet saat timnas tandang ke Jepang. "Saudara tua" dari Asia Timur itu menenggelamkan Indonesia dengan skor telak 6-0. Ini kekalahan paling mencolok di masa timnas asuhan Kluivert. Namun, tiga gol Ole dari empat laga menjelaskan bahwa ia gacor.
Ole memastikan ia telah menjadi kepingan penting yang selama ini dicari timnas sejak masa STY, yakni striker murni (nomor 9) yang haus gol. Iya, kendati kehadirannya bikin Rafael Struick serta pemain lokal di posisi itu tersingkir dari "the winning team".
Saat ini, Kluivert, PSSI dan pecinta bola Indonesia sedang waswas berat setelah Oleh dibekap cedera berat saat membela Oxford United menghadapi Arema FC di Piala Presiden 2025.
Akibat cedera di pergelangan kaki, Ole harus dioperasi dan membutuhkan waktu pemulihan yang lama. Padahal tiga bulan mendatang, 8-14 Oktober 2025, timnas Indonesia bakal bertarung di ronde keempat melawan Arab Saudi dan Irak.
Yang agak kurang menguntungkan, Arab Saudi akan menjadi tuan rumah dan Irak sering menjadi batu sandungan buat Indonesia.
Pada 3 Mei 2024, Indonesia U-23 keok 1-2 di tangan Irak U-23 dalam laga memperebutkan tempat ketiga Piala Asia U-23.
Kesempatan STY mengantar Indonesia ke Olimpiade Paris 2024 pun sirna. Sebab saat berduel dengan Guinea dari Afrika (laga antarkonfederasi) Indonesia menyerah 0-1.
Ole andalan, pisau tajam yang diharapkan membantu timnas Indonesia menekuk Arab Saudi dan Irak.
Di masa STY--lagi-lagi pelatih asal Korea Selatan ini harus disebut--timnas meraih hasil manis. Seri 1-1 tatkala merumput di Jeddah dan menang 2-0 di GBK.
Waktu itu, Marselino Ferdinan menjadi protagonis dengan memborong dua gol. Saat itu Ole cuma "menonton" karena belum berpaspor Indonesia.
Harapan Ole segera pulih adalah doa yang lekas terkabul. Masalahnya, jika ia tak tersedia di bulan September untuk pemanasan jelang ronde keempat, persiapan timnas bakal ambyar.
Ronde keempat adalah cara Indonesia lekas-lekas membeli tiket ke Piala Dunia 2026 yang akan berlangsung di Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko.
Syaratnya harus juara grup dan itu berarti mengalahkan Arab Saudi dan Irak. Berstatus runner up bakal bikin rute menuju Piala Dunia 2026 kembali memutar: menjajal peruntungan di ronde kelima.
Satu nama disodorkan untuk menggantikan peran Ole. Namanya Jens Raven, nomor sembilan dari tim Indonesia U-23, yang sedang panas-panasnya. Ia memborong enam gol dalam kemenangan 8-0 Indonesia U-23 atas Brunei-23 di ajang Piala AFF U-23 tahun 2025.
Pemain kelahiran Dordrecht, Belanda ini juga produk naturalisasi. Sudah lama dirilik oleh STY. Namun, apakah Kluivert juga berminat dan berani memanggil pemain belia yang berusia 20 tahun pada Oktober mendatang itu?
PSSI membuka peluang mencari pengganti Ole lewat jalur naturalisasi. Ini dikemukakan oleh Manajer timnas Indonesia, Sumardji.
"Untuk kemungkinan ke sana, menambah pemain keturunan, selalu terbuka," ujarnya (Bolasport.com, 16 Juli 2025).
Bukan sembarang pemain. Yang dicari adalah pemain dengan kualitas grade A. Naturalisasi pemain adalah jurus instan Erick Thohir dalam membentuk timnas yang kuat.
Ia menggebernya setelah terpilih menjadi ketua umum PSSI lewat Kongres Luar Biasa, 16 Februari 2023. Kecepatannya nyaris serupa cara Joko Widodo menggenjot pembangunan infrastruktur saat memerintah tahun 2014-2024.
Saking banyaknya, kita pun sedikit kehilangan jejak berapa jumlah pemain hasil naturalisasi. Menurut catatan saya, setidaknya sudah 19 pemain naturalisasi, termasuk Ole Romeny, yang menyesaki timnas Indonesia.
Ini data Maret 2025, ketika Indonesia bersiap menghadang Australia dan Bahrain. Dan kita pun kian kecut karena pemain lokal makin tenggelam dari skuad utama (11 pemain starter).
Harus saya utarakan di sini. Persetujuan terhadap naturalisasi sama valid dengan gugatan kepadanya. Naturalisasi pemain untuk tim nasional adalah diskusi terbuka dan tidak pernah final.
Siapa pun boleh melancarkan kritik--terlebih Erick Thohir kebablasan dalam urusan naturalisasi pemain.
Pilot PSSI itu seolah-olah diberi cek kosong dan disediakan "jalan tol" guna mencari sekian banyak pemain berdarah Indonesia di Eropa untuk bermain dengan bendera Indonesia.
Pemerintah oke-oke saja. DPR kadang sedikit gaduh, tapi ujungnya "monggo"--termasuk ketika seorang musisi yang masuk Senayan dengan ide kontroversial bicara soal naturalisasi.
Jangan tanya suara pecinta bola nasional! Jika itu terpaksa diwakili suara netizen di media sosial, hukum Erick untuk bikin "Garuda Mendunia" diamini tanpa catatan yang cukup.
Hasil survei "Indikator Politik Indonesia", 10-15 Oktober 2024 sama saja. Sebanyak 71,5 persen menyatakan setuju dengan kebijakan naturalisasi. Cuma 13,5 persen yang tidak setuju dan 15 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
Sokongan penuh untuk naturalisasi dinikmati ketua umum PSSI (yang merangkap menteri BUMN) sejak akhir kekuasaan Presiden Joko Widodo, dan berlanjut di masa Presiden Prabowo Subianto.
Semua seolah berseru, "Lanjutkan naturalisasi. Undang mereka yang piawai main bola di Eropa sana untuk menyesaki timnas Indonesia. Beri status WNI. Gampang."
Naturalisasi hal lumrah, senafas dengan globalisme. Lagi pula FIFA tidak mengharamkannya. Cara itu dianggap paling cepat untuk mengantar "Garuda Mendunia".
Meski langganan dan kerap maju ke putaran final Piala Dunia, Jepang, Australia dan Arab Saudi tidak "gila naturalisasi".
Australia melakukannya, tapi tidak terukur dan proporsional.
Satu lagi, secara ekonomi, lima negara itu lebih kaya dan makmur dibandingkan Indonesia, tapi tidak tergoda dan teperdaya untuk "membeli" tiket putaran final Piala Dunia 2026 dengan program naturalisasi yang terlampau meletup-letup.
Soko guru lima negara itu tetap kompetisi atau liga domestik. Jepang bukan saja sukses dengan kompetisi domestik, J. League, tapi mengirim para pemainnya mengembara ke kompetisi sepak bola di daratan Eropa.
Di mana urgensi kompetisi domestik, Liga 1 (saat ini diganti jadi Super Leage), dalam menghasilkan pemain timnas yang berkualitas dalam program "Garuda Mendunia" yang dicanangkan Erick Thohir?
Pertanyaan ini selalu mengetuk pintu setiap kali mendapati program naturalisasi dilancarkan dengan gigi "empat dan lima" oleh PSSI.
Bahkan skuad Perancis di Piala Dunia 1998 yang bertabur bintang pemain keturunan dari banyak bangsa (nation), tidak diracik dengan naturalisasi model PSSI. Mereka rata-rata berasal dan lahir dari orangtua yang migrasi ke Perancis.
Orangtua Zinedine Zidane adalah warga Aljazair yang pindah ke Perancis sewaktu negerinya dikoyak revolusi tahun 1954.
Zizou lahir di Marseille, Perancis, 23 Juni 1972, sekitar 26 tahun sebelum memberi trofi Piala Dunia pertama kepada Prancis.
Marcel Desailly, bek tengah keren anggota skuad emas Perancis 1998, lahir di Accra, Ghana pada 27 September 1968.
Desailly menjadi warga Perancis setelah sang ibu menikahi seorang diplomat Perancis dan pindah ke negara yang mengagungkan "liberte, egalite, fraternite" itu pada 1972.
Kelak Desailly yang telah menjadi begitu Perancis membela timnas negeri itu. Jadi, tim multikultural Perancis sama sekali tidak dibentuk secara instan.
Cetak biru "Garuda Mendunia 2045" yang dipaparkan Erick Thohir dalam rapat dengan Komisi X DPR dan Kementerian Pemuda dan Olahraga di gedung DPR, 5 Maret lalu, bukan hal baru. Ini sudah diluncurkan dua tahun silam. Yang baru adalah penekanan serta perincian dari blue print tadi.
Untuk mewujudkannya, target 2045 itu dibagi dalam tiga fase. Pertama, periode 2023-2028 sebagai fase pengembangan. Kedua, fase stabilitas pada 2028-2034. Serta ketiga, fase golden era pada 2034-2045.
Erick tak hanya bicara timnas pria, tapi juga timnas wanita (belakangan mulai naturalisai pula) serta menjangkau level kelompok umur.
Saat terpilih sebagai ketua umum, Erick mendapat mandat untuk memimpin organisasi selama empat tahun dari 2023-2027. Jadi, PSSI harus dinakhodai Erick, setidaknya hingga dua periode, agar "Garuda Mendunia 2045" terwujud.
Kalau benar 2023-2028 adalah fase pengembangan, mengapa Erick gencar melakukan naturalisasi? Mengapa ia malah memilih jalan pintas itu ketimbang membangun kompetisi yang bagus serta pembinaan bibit pemain menurut kelompok umur?
Apa yang membuatnya begitu pragmatis dan oportunis sehingga ngebut masuk putaran final Piala Dunia 2026? Apakah ini yang dimaksud transformasi sepak bola nasional?
Naturalisasi bukan hal yang tabu, apalagi haram, tapi mengobral status kewarganegaraan (WNI) demi mendapatkan pemain berbakat, berkualitas dan sesuai kebutuhan, rasanya konyol.
Saya teringat dan tak bisa melupakan Presiden Asosiasi Sepak Bola Singapura (FAS), Bernard Tan. Dia tidak menolak naturalisasi pemain untuk kepentingan timnas Singapura, tapi Tan emoh tergelincir pada hal yang banal.
"Kami tidak memberikan kewarganegaraan karena sepak bola, tapi kami menerima pemain sepak bola karena mereka ingin menjadi warga negara Singapura," ujar Tan pedas saat Kongres FAS (The Straits Times, 17 September 2024).
Dengan kata lain, Tan ingin bicara: Menggenggam nyala api kebangsaan atau nasionalisme Singapura itu lebih pokok, utama dan harus mengawali proses naturalisasi.
Naturalisasi tidak sama atau turun derajat menjadi "mengobral" kewarganegaraan kepada pemain sepak bola.
Jalan mengunci tiket ke Piala Dunia 2026 sudah sangat dekat, tinggal dua laga lagi. Jika menang atas Arab Saudi dan Irak, timmas Indonesia akan terbang ke AS, Kanada dan Meksiko. Hanya saja ini tidak gampang.
Hasil undian menguntungkan Arab Saudi. Tim petro dolar itu akan melawan Indonesia pada 8 Oktober 2025. Setelah itu mereka bisa rehat enam hari sebelum berduel dengan Irak.
Sementara Indonesia cuma punya waktu rehat tiga hari sebelum meladeni Irak. Demikian juga dengan negeri "1001 malam" itu. Inilah nikmatnya menjadi tuan rumah.
Sebelum terus kecanduan naturalisasi, apa tidak lebih baik jika PSSI dan Kluivert mengoptimalkan pemain yang tersedia saat ini. Kita punya Rafael Struick, Ragnar Oratmangoen, Ramadhan Sananta, atau Jens Raven.
Berpalinglah dulu pada mereka. Dan itu mensyaratkan PSSI memberi kepercayaan dan kebebasan kepada Patrick Kluivert untuk berani dan menggunakan instingnya dalam menyiapkan opsi pengganti Ole.
Siapa tahu Kluivert tak hanya ditakdirkan berlaga di Piala Dunia sebagai pemain (Belanda), tapi membawa timnas Indonesia yang diarsitekinya ke panggung dunia empat tahunan itu.