Hokky Caraka dan Noda Jempol Netizen

Hokky Caraka, Piala AFF, Hokky Caraka dan Noda Jempol Netizen

SEMUA pemain bola, sadar atau tidak, memburu goal, glory, dan gold (gol, kejayaan, dan uang) di mana pun ia bermain.

hari ini, Hokky Caraka mengejar reputasi bareng tim sepak bola Indonesia U-23 di ajang AFF kelompok umur itu sembari menahan gempuran kritik, ejekan, dan hujatan dari pecinta bola.

Katakanlah begitu kalau ribuan alamat yang mengirim komentar di akun Instagramnya benar-benar manusia--seorang yang punya darah, daging, dan nyawa. Bukan robot yang tak punya hati dan perasaan.

Di media sosial yang bising dan kadang panas, menganggap lawan bicara sebagai "pasti manusia" kadang mendekatkan kita pada absurditas.

Yuval Noah Harari mengingatkan hal itu di buku anyarnya, Nexus. Menurut Harari, meladeni akun yang bukan manusia alias robot justru melemahkan seorang individu yang menjadi sasaran serangan/target kritik, ejekan, dan hinaan.

Subjek yang ditarget mengeluarkan argumentasi, lalu saling berbalas dengan pengkritik. Begitu terus-menerus.

Ini menguntungkan sang robot, karena ia akan menyerap seluruh informasi dan data menyangkut si subjek. Sosok sang subjek makin terbuka, berikut sifat, karakter dan kepribadiannya.

Sementara robot panen informasi dan data, si subjek (manusia sasaran/target) tidak meraup apa pun--kecuali rasa kesal.

Seandainya ribuan alamat yang mengomentari penampilan Hokky Caraka itu benar-benar manusia, yakni pecinta sepak bola Indonesia, tidak dengan sendirinya apa yang mereka katakan itu benar.

Komentar fans bola itu mewakili ungkapan spontan yang digerakkan 'kepungan' rasa kecewa karena menyaksikan sang bintang gagal moncer saat membela Indonesia U-23.

Dalam tiga laga di fase grup, pemain yang baru berusia 21 tahun, Agustus mendatang itu, belum melesakkan gol.

Hokky buntu di depan kotak penalti Filipina dan Malaysia. Ia menyia-nyiakan sejumlah peluang. Begitulah sepak bola, permainan yang tak selamanya dapat dimengerti dengan pikiran linier.

Nyaris semua bintang bola dunia pernah gagal mengonversi peluang, bahkan peluang bersih, menjadi gol. Entah karena tendangan atau sundulannya kurang presisi, terlalu lemah, kelewat kencang, atau yang sial: kena tiang gawang.

Ruh permainan Chelsea di Piala Dunia Antarklub, Cole Palmer, pernah dibelit frustrasi di paruh kedua Liga Premier Inggris musim 2024/2025 lalu.

Bayangkan setelah tahun baru 2025, Palmer cuma mengemas satu gol antara Januari sampai Mei. Itu pun dari tendangan penalti kontra Liverpool.

Padahal di paruh pertama, Agustus-Desember 2024, Palmer begitu gampang mengoyak gawang lawan.

Palmer bahkan pernah menceploskan empat gol ke gawang Brighton Hove Albion dalam 45 menit (babak pertama). Itu rekor yang sulit diulang---bahkan ketika kita berpikir klub yang dihadapi jauh lebih ringan dan gampang dikalahkan.

Sepak bola adalah soal momentum. Di saat yang tepat, bahkan dalam posisi sulit serta tidak masuk akal, seorang pemain bisa mengemas gol.

Palmer kembali gacor setelah ia bertemu momentum. Titik baliknya adalah final Liga Konferensi Eropa.

Penyerang lubang ini mengkreasi dua asis untuk menyudahi perlawanan Real Betis. Dalam posisi tertinggal 0-1, dua umpan manis dari Palmer menjadi momen kemenangan The Blues. Singkat kisah, Chelsea menang 4-1 di akhir laga.

Hokky Caraka juga begitu. Fans bola tak bisa menuntut pemain asal Gunungkidul, DIY ini setrengginas kala membela Indonesia U-19 di ajang AFF U-19 tahun 2022 lalu.

Waktu itu, Hokky jadi pembicaraan, karena--seperti Cole Palmer--merobek gawang Brunei Darussalam sebanyak empat biji. Ia lalu dielu-elukan sebagai calon bintang masa depan Indonesia.

Meski mengkilat di level individu, Indonesia U-19 yang dibela Hokky saat itu tak sanggup lolos semifinal. Adapun sekarang, Indonesia U-23 yang dihuni striker jangkung ini, lolos ke semifinal.

Seperti tinggi tubuhnya yang mencapai 1,78 meter, pemain PSS Sleman ini diharapkan memiliki prestasi yang melesat juga.

Jika Hokky akhirnya menjadi striker yang haus gol, ia wajib berterima kasih pada Dennis Wise. Bekas kapten Chelsea itulah yang menemukan talenta Hokky saat ia menjabat Direktur Sepak Bola Garuda Select (2020-2021).

Wise mengubah takdir Hokky dari seorang bek menjadi penyerang.

Saat ini penyerang itu balik "diserang" di media sosial. Ia berurusan dengan kerumunan yang sesungguhnya tak dapat dikatakan paham secara detil dan komprehensif apa itu sepak bola.

Si pengkritik bukan Dennis Wise, Shin Tae-yong, Patrick Kluivert atau pelatihnya di Indonesia U-23, Gerald Vanenburg. Sudah barang tentu mereka yang mengejek dan menghujatnya tak punya kategori ahli (expert).

Di sinilah semua jungkir balik. Dulu, di tahun 1986, ketika Hermansyah dan kawan-kawan tinggal dua langkah lagi menuju ke Piala Dunia di Meksiko, mayoritas pesawat televisi masih kotak, telepon superjarang, tak ada telepon seluler, tak ada pula platform media sosial.

Waktu itu, pecinta yang kecewa karena timnas Indonesia ditekuk Korea Selatan, sehingga gagal maju ke fase yang lebih tinggi, cuma bisa menggerutu di ruang tamu, teras rumah atau paling maksimal warung kopi.

Jika ada ulasan kritis, mungkin itu diwakili analisis ahli/pemerhati bola/wartawan di koran yang terbit keesokan hari.

Di era medsos, kekecewaan, kekesalan hingga kemarahan pecinta bola terhadap pemain atau kinerja timnas di sebuah laga ditumpahkan saat itu juga ketika laga masih berlangsung.

Inilah jebakan keserentakan, tanpa jeda dan tanpa jarak. Media sosial menjadi "tong raksasa" ejekan, hinaan hingga yang paling baik: pujian, ucapan terima kasih dan penobatan pahlawan.

Pada saat bersamaan, di seluruh aspek kehidupan, media sosial menjadi lokasi di mana "kepakaran dicincang". Setiap individu berebut lapak, berbicara bebas atas semua hal sembari menganggap "setiap individu sama dan bernilai sama".

Orang sekolahan, pemilik gelar master, doktor, profesor serta pakar dianggap tak lebih tinggi dibandingkan orang awam.

Secara masygul, Tom Nichols menyebut fenomena ini sebagai "matinya kepakaran" (the death of expertise). Dan ini terjadi saban hari di tanah Amerika Serikat, juga di sini, Indonesia tercinta.

"Netizen maha benar dengan semua omongannya," kelakar seorang teman di salah satu televisi setelah "dirujak" netizen.

Teman saya ini menjadi alamat kritik, ejekan dan hinaan tatkala menggunakan diksi "garuda bule" menjadi kata pengganti untuk pemain hasil naturalisasi sebelum laga Bahrain versus Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia grup C, Oktober 2024.

Ini yang "dilawan" oleh Hokky Caraka. Si penyerang mensomasi lima akun Instagram yang dinilai telah melecehkan kekasih Hoki. Ia melawan klaim atau kelakar bahwa netizen selalu benar itu.

"Bukan maksud saya membela diri dari kritikan atau semacamnya. Tapi, ini sudah masuk dalam pelecehan seksual kepada perempuan dan kita tahu di manapun tempatnya itu semua sama. Pelecehan tidak bisa ditolerir," kata Hokky di Instagram @hokkycaraka_ (Detik.com, 22 Juli 2025).

Hokky melanjutkan, "Satu hal yang membuat saya melakukan hal semacam ini karena mereka tidak mengkritik tentang permainan sepak bola melainkan melecehkan dengan alasan mengkritik. Dan saya masih bingung di dalam postingan somasi saya masih ada yang membela orang yang melecehkan perempuan."

Sudah pasti netizen tidak selalu benar. Setiap orang juga tidak selalu benar. Maka semakin sulit dipahami jika komentar kepada sang pemain telah melecehkan kekasihnya.

Hal yang melampaui batas akan menuai respons: dari kesal, marah hingga yang dilakukan Hokky, melakukan somasi dan mengancam membawanya ke ranah hukum.

Di mata Hokky, kalimat hasil jempol netizen menari-menari di atas layar ponsel telah berubah jadi noda.

Rasanya kasus ini tak perlu berujung di kepolisian. Kata maaf yang diminta Hokky dan kekasihnya cukup untuk menyudahi insiden ini.

Buat netizen, Hokky serta kita semua yang tersapu efek media sosial, insiden ini merupakan pelajaran penting untuk meninjau ulang setiap aspek yang kita ucapkan lewat teks.

Ketika berlaga di ajang Piala AFF U-23, Hokky seyogyanya lebih fokus bermain sepak bola: bermain bagus, punya kontribusi penting dalam sistem bermain pelatih hingga menceploskan gol. Kalau perlu stop bermedsos tatkala membela garuda.

Hokky adalah aset sepak bola nasional. Ia tak hanya dipanggil tim kelompok umur, juga tim nasional senior yang berlaga di kualifikasi Piala Dunia 2026.

Pada November 2024, pelatih saat itu Shin Tae-yong memasukkan Hokky dalam 23 pemain yang didaftarkan di laga Indonesia versus Arab Saudi.

Ia tak masuk 11 pemain utama, tapi pemain cadangan. Artinya satu fase menuju main di top gelanggang: merumput di ajang yang semua pemain impikan.

Atmosfer Gelora Bung Karno Jakarta yang memacu adrenalin telah ia rasakan, terlebih waktu itu timnas Indonesia menang 2-0 atas Arab Saudi.

Seiring bertambahnya pemain hasil naturalisasi Hokky terpental dari daftar 23 pemain di laga-laga penting. Patrick Kluivert lebih memilih Ole Romeny, Rafael Struick atau Egy Maulana Fikri.

Misi penting Hokky adalah kembali merebut tempat di timnas senior itu. Dan itu dapat ia segel jika fokus kepada sepak bola, serta menomorseribukan media sosial.

Buat kita yang sibuk dengan media sosial, ingatlah selalu ucapan Tom Nichols ini. "Argumentasi yang berdasarkan prinsip dan data adalah tanda kesehatan intelektual, dan itu vital bagi sebuah demokrasi".

Percakapan publik memang niscaya, bagian dari partisipasi politik. Tapi rawatlah kesadaran bahwa rendah hati itu sumber kesejukan. Kita tak menguasai seluruh hal. Sisakan bagian-bagian yang tidak kita tahu, paham dan kuasai kepada pakar.