Lulusan Ilmu Komputer Menjerit karena Susah Cari Kerja, Gara-gara AI?

Ilustrasi wisuda/lulus kuliah.
Ilustrasi wisuda/lulus kuliah.

 Di era digital yang semakin maju, banyak orang beranggapan lulusan ilmu komputer pasti gampang mendapatkan pekerjaan. Dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri yang begitu besar, wajar jika jurusan ini dianggap sebagai salah satu pilihan terbaik bagi mahasiswa. 

Namun, kenyataan di lapangan justru berbeda. Banyak fresh graduate yang mengaku kesulitan menembus dunia kerja, terutama di sektor teknologi.

Salah satu faktor yang memicu masalah ini adalah kemajuan kecerdasan buatan (AI). Teknologi yang awalnya diciptakan untuk membantu pekerjaan manusia kini justru dianggap menggerus peluang kerja bagi para lulusan baru. 

Bukannya memperluas kesempatan, kehadiran AI dinilai membuat lowongan entry-level semakin sedikit, sementara perusahaan lebih banyak mencari kandidat dengan pengalaman kerja yang panjang.

Mengutip dari BBC, berikut fakta-fakta tentang sulitnya lulusan ilmu komputer mencari kerja di era AI:

Ilustrasi Sedang Kuliah

Ilustrasi Sedang Kuliah

1. Junior Job Sulit Didapat karena AI

Eddie Hart, lulusan Newcastle University jurusan ilmu komputer dan keamanan siber tahun 2024, mengaku kaget dengan kondisi pasar kerja. Meski melamar posisi junior, sebagian besar lowongan tetap menuntut pengalaman kerja minimal dua tahun. Hart menyebut hal ini tidak realistis karena seharusnya posisi entry-level memberi kesempatan untuk belajar.

2. Lowongan Turun Hingga 50 Persen

Sebuah laporan dari National Foundation for Education Research (NFER) di Inggris mencatat adanya penurunan iklan lowongan kerja di sektor teknologi hingga 50% antara 2019/20 dan 2024/25. Posisi pemula menjadi yang paling terdampak, salah satunya akibat ekspektasi perusahaan terhadap efisiensi AI.

3. Perusahaan Mengandalkan AI untuk Seleksi Kandidat

Bukan hanya dalam pekerjaan, proses rekrutmen juga makin dipengaruhi oleh AI. Hart menuturkan pernah mengikuti proses lamaran dengan delapan tahap, dimulai dari menjawab 20 soal ujian tentang dirinya. Temannya bahkan diminta merekam jawaban wawancara yang kemudian dinilai oleh AI, tanpa interaksi langsung dengan manusia. Hal ini membuat kandidat merasa kurang dihargai.

4. CV Harus "AI Friendly"

Colin, lulusan ilmu komputer 2024 lainnya, mengatakan hampir semua perusahaan besar maupun kecil kini menggunakan AI untuk menyaring CV. Akibatnya, banyak kandidat gagal bukan karena kemampuan, melainkan karena dokumen mereka tidak sesuai dengan format yang dibaca mesin. Ia mengaku sering diwawancarai oleh orang yang bahkan tidak membaca CV-nya.

5. Risiko Hilangnya Regenerasi Developer

Paul Dix, CTO sekaligus co-founder InfluxData, menilai dampak terbesar akan terasa dalam jangka panjang. Jika junior developer tidak diberi kesempatan, maka tidak akan ada pipeline untuk menghasilkan developer senior di masa depan. Menurutnya, industri justru berisiko kehilangan tenaga ahli berkualitas.

Tidak Semua Buruk, Ada Sisi Positif AI

Meski begitu, ada juga optimisme dari beberapa pemimpin perusahaan. Rajiv Ramaswami, CEO Nutanix, menilai generasi baru justru lebih terbiasa menggunakan AI tools dibanding cara tradisional. Hal ini bisa menjadi nilai tambah karena mereka lebih adaptif dengan teknologi terbaru.

Masa Depan Masih Menjanjikan

Sejarah menunjukkan, setiap kali ada disrupsi teknologi, awalnya selalu ada ketakutan kehilangan pekerjaan. Namun, dalam jangka panjang, justru muncul lebih banyak pekerjaan baru. Tantangannya adalah bagaimana lulusan baru bisa bertahan melewati masa transisi ini.

Seperti halnya Eddie Hart yang akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai security engineer di perusahaan Threatspike melalui proses rekrutmen yang lebih manusiawi.

Halaman Selanjutnya
2. Lowongan Turun Hingga 50 Persen
Halaman Selanjutnya