Menata Kota Tua sebagai Ruang Hidup dan Warisan

Senja di Hoi An: Cosplay Masa Silam
Senja di Hoi An: Cosplay Masa Silam

(Artikel ini ditulis oleh Eli Jamilah Mihardjadosen Magister Ilmu Komunikasi U Bakrie yang aktif meneliti komunikasi warisan, geoturisme, dan strategi pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara. Tulisan ini berdasarkan catatan lapangan di Hoi An, Vietnam, Agustus 2025, dalam rangka ekskursi dengan FPT University Da Nang, Vietnam)

VIVA – Menyusuri Kota Tua Hoi An di Vietnam menjelang senja adalah pengalaman yang menyenangkan sekaligus penuh pelajaran. Jalanan dipadati wisatawan dari berbagai negara. Terlalu padat, sehingga kami tak bisa sekadar berhenti sejenak untuk menikmati detail arsitektur atau memotret suasana. Namun di balik kerumunan itu, Hoi An menyimpan satu pelajaran penting: bagaimana sebuah kota tua bisa dikelola secara strategis, lestari, dan tetap hidup tanpa kehilangan identitasnya.

Hoi An bukan sekadar “kota tua yang penuh bangunan kuno.” Ia adalah ruang hidup. Sebuah situs warisan dunia UNESCO yang tak hanya dilestarikan, tapi dihidupkan dengan narasi yang kuat, ekonomi lokal yang tumbuh, dan pengalaman wisata yang diatur dengan cermat. Tiket masuk diberlakukan untuk area inti, tapi ini bukan sekadar soal pungutan. Ini adalah mekanisme perlindungan ruang, menjaga agar tidak semua ruang publik menjadi ruang konsumsi semata.

Senja di Hoi An: Cosplay Masa Silam

Senja di Hoi An: Cosplay Masa Silam

Di Indonesia, banyak kawasan kota tua mengalami nasib sebaliknya. Mulai dari Kota Tua Jakarta, Semarang Lama, hingga kawasan tua di Surabaya dan Makassar. Beberapa sudah dipugar, beberapa ditinggalkan. Tapi umumnya menghadapi tantangan serupa: revitalisasi yang setengah hati, narasi yang tidak terhubung dengan publik, dan ruang yang lebih banyak menampung bisnis instan ketimbang pengalaman kultural yang otentik.

Hoi An menunjukkan bahwa revitalisasi tidak harus identik dengan gentrifikasi. Toko-toko menjual lampion, topi caping, dan kerajinan tangan, sambil tetap mempertahankan fungsi rumah ibadah, museum, dan balai komunitas. Ritual budaya seperti melepas lampion di Sungai Thu Bon tetap dilestarikan bukan hanya sebagai atraksi wisata, tapi juga sebagai wujud spiritualitas masyarakat lokal. Bahkan kafe seperti Hoi An Roastery pun tidak sekadar menjual kopi, tapi juga menjadi perpanjangan narasi tempat: kopi dari Quảng Trị, rumah kayu tradisional, suasana damai yang menyatu dengan arsitektur bersejarah.

Pertanyaannya: bisakah kota tua kita di Indonesia menghidupkan warisan seperti ini?

Kita terlalu sering berpikir dalam logika “event tourism” sesaat, bukan ekosistem komunikasi warisan jangka panjang. Kota tua hanya ramai saat festival atau kegiatan budaya, lalu kembali sunyi. Kita lupa membangun narasi simbolik yang terus berjalan—sebuah identitas ruang yang bisa dirasakan, didengar, disentuh, dan diceritakan kembali. Padahal, seperti yang ditunjukkan Hoi An, narasi itulah yang membuat pengunjung rela berjalan kaki menelusuri gang sempit, membeli karya tangan lokal, dan membawa pulang cerita, bukan sekadar oleh-oleh.

Kita juga perlu belajar mengatur arus wisatawan. Hoi An membatasi akses kendaraan bermotor di pusat kota, menata alur jalan kaki, menandai titik-titik heritage, dan mengintegrasikan wisata sejarah, kuliner, spiritual, hingga kriya secara harmonis. Bahkan pembuatan lampion diajarkan dalam workshop kepada turis, menjadikan wisata sebagai peristiwa belajar, bukan hanya konsumsi. Hal seperti ini belum menjadi prioritas di pengelolaan kota tua kita. Padahal, bila dikelola dengan benar, kota tua bisa menjadi kurikulum terbuka bagi warganya sendiri.

Kota tua adalah ruang negosiasi antara masa lalu dan masa depan. Ia bukan sekadar museum terbuka, tapi ruang hidup yang bisa dirasakan, dibanggakan, dan diwariskan. Kita tidak hanya butuh anggaran restorasi, tapi strategi komunikasi warisan, tata kelola kolaboratif, dan keberanian untuk menata ulang kota sebagai ruang belajar dan rasa.

Dari Hoi An, kita belajar bahwa kota tua tidak harus sunyi dan sendu. Ia bisa berdenyut, bercerita, dan berdaya. Tentu saja, bukan dengan membanjirinya dengan turis tanpa arah, tapi dengan membingkai pengalaman, menghargai sejarah, dan menghidupkan kearifan lokal dalam bahasa yang dimengerti generasi kini.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.