Pertarungan Satelit di Orbit Rendah

MAKIN hari, angkasa luar kita makin penuh oleh satelit, terutama sejak dekade 2020-an, ketika nafsu manusia menguasai teknologi telekomunikasi makin bergairah.
Mayoritas satelit tersisa tadi berada di orbit GEO (geostationer earth orbit) yang ditempatkan di posisi setinggi sekitar 36.500 Km di atas Bumi.
Namun, tren satelit komunikasi saat ini adalah satelit LEO (low earth orbit) yang ditempatkan di ketinggian antara 500 Km hingga 2.000 Km di atas Bumi.
Satelit GEO, seperti satelit FSS (fixed satellite service) atau HTS (high throughput satellite) Satria-1 milik Kemkomdigi (Kementerian Komunikasi Digital), atau milik PSN (Pasifik Satelit Nusantara) adalah satelit raksasa, beratnya sekitar 5 ton.
Usia operasionalnya sekitar 15 tahun hingga 20 tahun tergantung “kebinalannya”. Semakin dia sering melenceng dari orbit, makin pendek usianya, karena bahan bakar cepat habis akibat banyak digunakan untuk menggerakkan satelit kembali ke orbit.
Satelit LEO seperti Starlink milik Elon Musk atau satelit milik Amazon dari Proyek Kuiper, juga satelit milik OneWebb, Eutelsat atau milik China, yang sudah berjumlah puluhan ribu yang mengorbit di angkasa, adalah satelit “mungil”. Beratnya bisa hanya 1 kilogram, hingga Starlink yang 227-260 kiloan.
Satelit LEO membuat nafsu pemilik modal menggelontorkan dana untuk menguasai layanan internet selebar hamparan Bumi, yang cakupannya seluas permukaan, bahkan mencapai tengah samudera dan hutan belantara.
Elon Musk siap menggelontorkan dana hingga 10 miliar dollas AS, sekitar Rp 165 triliun untuk meluncurkan sekitar 42.000 satelit LEO dengan roket SpaceX Falcon9 miliknya sendiri, hingga 2027.
Roket bolak-balik
Starlink unggul karena satelitnya bikinan sendiri, diluncurkan roket sendiri di lahan mereka sendiri. Bahkan roket yang usai melepaskan satelit di ruang angkasa balik lagi sendiri ke tempat peluncuran, mengangkasa lagi bawa satelit, balik, dan seterusnya.
Namun pada 16 Februari 2021, roket Falcon9 gagal mendarat di kapal drone-nya dan jatuh ke laut. Sementara roket milik perusahaan peluncuran roket umumnya jatuh ke Bumi sebagai sampah.
Sementara sepanjang tahun 2024, ia meraup pendapatan tidak kurang dari 6,6 miliar dollar AS, jumlah yang belum teraih semua pesaingnya, bahkan pun jika disatukan.
Apalagi beda dengan layanan satelit LEO umumnya, Starlink sudah bisa memberi layanan langsung dari ponsel ke satelit. Dari permukaan Bumi mana saja, perkotaan, permukiman, samudera atau hutan belantara.
Persaingan bisnis satelit komunikasi LEO terasa makin gencar, yang membuat langit makin padat, bahkan sudah membuat pencemaran langit yang merisaukan para pengamat astronomi.
Satelit-satelit orbit rendah itu tampil sambil memantulkan cahaya matahari atau bulan sehingga menghalangi pengamatan ke obyek luar angkasa yang lebih tinggi.
Tidak semua satelit selamat sampai orbitnya, baik satelit GEO, MEO (medium earth orbit) yang ditaruh di ketinggian antara 2.000 Km hingga 20.500 Km di atas Bumi, apalagi satelit LEO.
Satelit Palapa-N1 atau Satelit Nusantara 2 gagal diluncurkan Xichang Satellite Launch Center (XLSC) dari Xichang, China, hancur berkeping seusai roket tahap dua sukses. Juga satelit Landsat 6 milik NASA, satelit Korea Utara pada 2023, atau satelit Astra Space pada 2022.
Masih banyak lagi satelit yang gagal diluncurkan, meledak dan hancur. Namun ada juga satelit Indonesia yang gagal sampai ke orbit, tetapi tidak hancur.
Pihak asuransi yang sudah membayar kerugian kepada pemilik satelit kemudian berhasil mengambil satelit gagal yang masih utuh itu, dibawa turun dan dijual lagi.
Angkasa luar kawasan rendah makin penuh dengan satelit yang hingga 4 Mei 2025 ada 12.149 di berbagai orbit. Starlink terbanyak hingga 7.135 buah, tapi hanya 7.105 satelit yang beroperasi.
Latensi rendah
Tabrakan antarsatelit bukan tidak mungkin, apalagi di tataran LEO walaupun kawasan operasi mereka ada di antara 200 Km hingga 2.000 Km di atas permukaan Bumi.
Tabrakan yang tercatat, di ketinggian 789 Km pada kecepatan 11,7 Km/detik antara satelit Iridium milik AS dan Kosmos (Rusia) tahun 2009, merupakan tabrakan pertama.
Tabrakan antar-satelit bisa menyebabkan adanya sebaran serpihan angkasa yang ikut mengelilingi Bumi. Namun dalam kasus Iridium, serpihan tadi terbakar saat memasuki atmosfer dan hancur.
Ketika usia teknis atelit-satelit GEO habis, tenaga terakhirnya mendorong satelit ke posisi lebih tinggi sebagai “kuburan” dan selamanya ada di sana. Sementara satelit-satelit LEO atau MEO yang mati atau tidak berfungsi akan hancur saat memasuki atmosfer.
Pada Juli 2024, ada 20 satelit Starlink gagal diorbitkan, jatuh dan terbakar, 73 balik ke atmosfer, sementara sekitar 100 satelit lainnya akan disingkirkan dari langit karena cacat desain.
Satelit GEO yang beratnya sekitar 5 ton itu harus berkecepatan sekitar 2,6 km/detik atau 9.360 km/jam agar tetap berada di orbitnya. Sementara Starlink berkecepatan sekitar 27.000 km/jam.
Kecepatan Starlink harus tinggi untuk melawan gravitasi karena lebih dekat ke bumi yang juga mengakibatkannya “binal” dan harus sering mengoreksi posisinya. Satelit seberat 250-an kg itu usianya hanya lima tahun karena bahan bakar yang bisa diangkutnya hanya sedikit.
Layanan internet lewat satelit LEO menjadi dambaan, karena jarak yang singkat antara satelit dan Bumi membuat latensi (masa antara titik pengiriman data ke titik tujuan) paling singkat saat ini.
Pertarungan berkelanjutan memperebutkan pelanggan ponsel yang bisa berhubungan dengan satelit sudah makin seru, walau bisa dikatakan Starlink sudah melaju di depan.
Bukan tidak mungkin teknologi yang berkembang bisa saja membuat Starlink terlibas oleh Amazon, atau satelit LEO China, pada satu-dua dekade ke depan. *