Benarkah Lebih Mudah Cari Uang di Australia? Ini Kisah Lulusan S2 UGM yang Jadi Cleaner di Melbourne

Australia, kerja di Australia, Melbourne, Working Holiday Visa, melbourne, working holiday visa, kerja di australia, Benarkah Lebih Mudah Cari Uang di Australia? Ini Kisah Lulusan S2 UGM yang Jadi Cleaner di Melbourne, Bukan Pakai Working Holiday Visa, tapi Dependent Visa, Tidak Semudah yang Dibayangkan, Berapa Gaji Kerja di Australia?, Dibandingkan UMP di Indonesia, Apakah Lebih Worthy Kerja di Australia?, Bagaimana dengan Biaya Hidup di Australia?, Tantangan Kerja di Australia: Koneksi dan Batasan Visa

Bekerja di Australia seringkali dianggap sebagai jalan menuju hidup mapan bagi banyak Warga Negara Indonesia (WNI).

Namun, benarkah kerja di Australia selalu berarti gaji besar dan tabungan melimpah?

Untuk menjawabnya, KOMPAS.com berbincang dengan Icha Latifa Hanum, perempuan 29 tahun asal Solo, Jawa Tengah, yang kini tinggal dan bekerja sebagai cleaner di Melbourne.

Hanum adalah lulusan S2 Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mendampingi suami menempuh studi S2 di Australia sambil bekerja.

Sebelum pindah ke Australia, ibu satu anak ini sempat berkarier sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta ternama di Jakarta.

Bukan Pakai Working Holiday Visa, tapi Dependent Visa

Berbeda dengan sebagian besar pekerja Indonesia yang datang menggunakan Working Holiday Visa (WHV), Hanum berada di Australia menggunakan dependent visa.

“Suami saya kuliah di sini dengan student visa, dan saya ikut dengan dependent visa,” ujarnya.

Menurut Hanum, WHV dan dependent visa punya jalur berbeda.

Jika WHV harus melalui kuota dan seleksi, dependent visa didapat sebagai pasangan dari pemegang student visa.

Jenis pekerjaan yang biasa dikerjakan pemegang dependent visa dan WHV pun berbeda.

“Biasanya WHV kerjanya di farm-farm, sementara saya kerja di Airbnb dan rumah sakit sebagai cleaner, juga sempat jadi customer service,” tuturnya.

Tidak Semudah yang Dibayangkan

Banyak yang mengira bekerja di Australia itu mudah. Namun, Hanum membantahnya.

“Kalau skemanya seperti saya, setidaknya kami sudah dapat stipend (tunjangan dari suami), jadi enggak mikirin akomodasi. Tapi kalau WHV harus pintar-pintar ngatur, karena meskipun gaji besar, biaya hidup juga besar,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya punya jaringan untuk mendapatkan pekerjaan di Australia.

“Harus punya komunitas. Kerjaan di sini kalau enggak pakai koneksi agak susah masuknya. Kalau WHV biasanya lewat agen, sementara kalau kayak saya malah susah karena mereka lebih memprioritaskan WHV yang masih butuh uang cepat,” katanya.

Hanum mengatakan, musim juga memengaruhi peluang mencari kerja di Australia.

“Nyari kerja pas winter itu lebih susah, jadi harus benar-benar jaga koneksi,” tambahnya.

Berapa Gaji Kerja di Australia?

Menurut Hanum, upah minimum kerja di Australia rata-rata sekitar AUD 21 per jam.

Jika dikonversi dengan kurs saat ini (sekitar Rp 10.700 per AUD), itu setara dengan Rp 224.700 per jam.

Dalam sehari, jika bekerja penuh selama 8 jam, seseorang bisa mendapatkan sekitar Rp 1,7 juta per hari.

Sementara itu, pekerjaan seperti menjadi kurir makanan Uber bisa menghasilkan AUD 100 per hari, atau setara sekitar Rp 1,07 juta.

Biasanya, gaji dibayarkan mingguan atau dua mingguan.

Namun, Hanum menekankan, upah yang tampak besar itu hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari.

“Kalau cuma satu pekerjaan nonformal, gaji itu biasanya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Kalau mau bisa nabung lebih, ya harus kerja lebih dari satu pekerjaan atau punya side hustle (pekerjaan sampingan,” kata Hanum.

Dibandingkan UMP di Indonesia, Apakah Lebih Worthy Kerja di Australia?

Meskipun biaya hidup di Australia tergolong tinggi, Hanum yang juga pernah bekerja formal di Indonesia, mengakui upah pekerja nonformal di Negeri Kanguru jauh lebih layak ketimbang di Tanah Air.

"Lebih cucuk (layak) di sini banget," kata Hanum sembari tertawa. 

Sebagai perbandingan, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2025 tercatat sekitar Rp 5,2 juta per bulan.

Itu artinya, gaji bekerja sehari penuh di Australia bisa setara dengan hampir sepertiga UMP Jakarta hanya dalam satu hari kerja.

Dalam sebulan, seorang pekerja di Australia dengan jam kerja penuh bisa meraup sekitar AUD 3.300 atau setara Rp 35,3 juta, lebih dari 6 kali lipat UMP Jakarta.

Bagaimana dengan Biaya Hidup di Australia?

Meski begitu, gaji besar di Australia tidak serta merta berarti bisa dengan mudah menjadi “kaya raya”.

Biaya hidup di Australia, terutama di kota besar seperti Melbourne atau Sydney, juga sangat tinggi. Beberapa contoh biaya rata-rata per bulan di Melbourne:

  • Sewa kamar: AUD 800–1.500 (Rp 8,5 juta–16 juta)
  • Makanan dan kebutuhan pokok: AUD 300–600 (Rp 3,2 juta–6,4 juta)
  • Transportasi: AUD 150–250 (Rp 1,6 juta–2,7 juta)

Hanum mengakui, keberadaannya sebagai dependent dengan stipend dari suami meringankan beban biaya akomodasi.

Namun, untuk WNI lain yang datang dengan program WHV, pengelolaan keuangan menjadi tantangan besar.

“Gaji besar, tapi biaya juga gede,” ujarnya.

"Kalau mau worthy banget harus ngoyo holds 2-3 jobs, kayak misal part time di resto, disambi jadi kurir, disambi di mana lagi gitu dan itu capek banget," tutur dia.

Tantangan Kerja di Australia: Koneksi dan Batasan Visa

Menurut Hanum, tak mudah mendapat pekerjaan di Australia, terutama bagi pemegang visa non-permanent resident.

Sebab, ada batasan jam kerja per minggu yang harus ditaati, yakni:

  • Student visa: maksimal 30 jam kerja per minggu
  • Dependent visa: maksimal 48 jam kerja per minggu

Sementara itu, untuk mendapatkan pekerjaan nonformal seperti di restoran, hotel, atau layanan kebersihan kerap mengandalkan jaringan atau rekomendasi.

“Kalau enggak punya komunitas, agak susah masuk. Biasanya orang dalam tetap berperan,” ujarnya jujur.

Sementara itu, untuk pekerjaan formal seperti kantoran, peluang biasanya hanya terbuka bagi yang sudah memiliki Permanent Resident (PR) dengan keahlian spesifik.