Eskalasi Militer Tiongkok di Laut China Selatan: Strategi Berani atau Kesalahan Fatal?

Ketegangan di Laut China Selatan kembali meningkat setelah Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) China dikerahkan untuk menghadapi kapal Penjaga Pantai Filipina (PCG) di sekitar Beting Scarborough.
Langkah ini dinilai sebagai eskalasi signifikan, karena sebelumnya Beijing lebih banyak mengandalkan penjaga pantai dan milisi maritim dalam menghadapi Manila.
Namun, strategi baru itu justru berujung insiden memalukan. Pada 11 Agustus lalu, sebuah kapal perang China bertabrakan dengan kapal Penjaga Pantai Tiongkok sendiri saat mengejar BRP Suluan—kapal kecil PCG yang tengah menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi nelayan lokal.
Panglima Angkatan Bersenjata Filipina, Jenderal Romeo Brawner, menyebut peristiwa itu sebagai bukti “agresivitas” China yang justru membuka rapuhnya strategi maritim Beijing dan semakin rentannya negara tersebut terhadap pengawasan internasional.

Kapal AL China dan penjaga pantai China tabrakan di perairan Filipina
Dari Zona Abu-Abu ke Intimidasi Militer
Selama bertahun-tahun, China mengandalkan strategi “zona abu-abu” dengan mengerahkan Penjaga Pantai dan milisi sipilnya untuk mengganggu kapal Filipina di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Taktik ini memungkinkan Beijing menekan Manila tanpa melibatkan kekuatan militer secara langsung.
Namun, keterlibatan Angkatan Laut resmi mengubah situasi. “Mereka sekarang mengerahkan Angkatan Laut PLA. Ini melambangkan agresivitas Tiongkok,” tegas Jenderal Brawner.
Filipina, yang didukung oleh putusan arbitrase tahun 2016 berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), memiliki kedudukan hukum untuk menegaskan haknya atas Beting Scarborough.
Keputusan Tiongkok untuk melakukan eskalasi meskipun tidak memiliki dasar hukum menunjukkan pertaruhan yang terencana untuk menguji batas respons regional dan internasional.
Beting Scarborough, atau Bajo de Masinloc, terletak hanya 125 mil laut dari Luzon dan telah lama menjadi daerah penangkapan ikan yang vital bagi masyarakat Filipina. Lokasinya yang strategis dan nilai simbolisnya menjadikannya titik api dalam perebutan dominasi maritim yang lebih luas.
Meskipun putusan arbitrase tahun 2016 membatalkan klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok yang luas, Beijing menolak untuk mematuhinya, mempertahankan kendali de facto sejak 2012.
Status beting tersebut bukan sekadar sengketa teritorial, melainkan ujian lakmus bagi kredibilitas hukum internasional dan ketahanan negara-negara kecil terhadap paksaan kekuatan besar. Penolakan Filipina untuk mundur, meskipun telah berulang kali diganggu, mencerminkan perjuangan yang lebih luas untuk menegakkan norma-norma hukum dalam menghadapi kekerasan.
Risiko Strategis Beijing
Insiden tabrakan kapal pada 11 Agustus bukan hanya masalah taktis, tetapi juga memperlihatkan risiko operasional ketika banyak aset agresif dikerahkan dalam jarak dekat. PCG disebut berhasil menghindari tembakan meriam air dan bermanuver tanpa memicu bentrokan lebih lanjut.
Jenderal Brawner berpendapat bahwa kapal-kapal Tiongkok tampaknya sengaja menargetkan kapal Filipina, tetapi tindakan agresif mereka sendiri justru mengakibatkan tabrakan kapal mereka sendiri.
Ia menyiratkan bahwa respons cepat Penjaga Pantai Filipina telah mencegah dampak langsung. Peristiwa ini menimbulkan keraguan atas klaim Tiongkok sebagai korban dan menyoroti risiko yang melekat dalam eskalasi taktik maritimnya.
Posisi Filipina diperkuat tidak hanya oleh hukum internasional tetapi juga oleh aliansi strategisnya dengan Amerika Serikat. Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951, yang baru-baru ini diperjelas untuk mencakup permusuhan di Laut China Selatan, menambah instrumen pencegahan terhadap tindakan Tiongkok. Meskipun Manila belum menggunakan perjanjian tersebut, kemungkinannya tampak besar, terutama karena provokasi Beijing semakin berani.
Brawner menekankan bahwa Filipina "didukung oleh hukum," merujuk pada putusan arbitrase yang menyatakan klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok tidak berdasar. Kejelasan hukum ini sangat kontras dengan klaim Tiongkok yang ambigu dan meragukan secara historis, yang mengandalkan peta dan narasi yang ditolak oleh standar hukum global.
Ancaman Stabilitas Kawasan
Menyusul ketegangan baru-baru ini, para pejabat pertahanan Filipina tampaknya sedang mengevaluasi kembali posisi strategis mereka. Laporan menunjukkan bahwa pengerahan angkatan laut di dekat Beting Scarborough mungkin sedang ditinjau untuk mengamankan upaya kemanusiaan.
Para pengamat mencatat bahwa Laksamana Muda Roy Vincent Trinidad telah menyuarakan kekhawatiran atas kemungkinan konfrontasi lebih lanjut jika Tiongkok terus melakukan manuver ICAD (ilegal, koersif, agresif, menipu).
Terlepas dari risiko-risiko ini, Manila tampaknya berkomitmen pada pendekatan yang terkendali. Operasi militer dilaporkan tetap terikat oleh protokol keterlibatan yang ketat, yang hanya mengizinkan penggunaan kekuatan untuk membela diri. Sikap terukur ini dipandang sebagai upaya untuk menegakkan kedaulatan tanpa memicu eskalasi di kawasan yang sudah bergejolak.
Keputusan Tiongkok untuk melibatkan Angkatan Lautnya dalam konfrontasi langsung dengan kapal-kapal Filipina menandai titik balik. Hal ini menandakan kesediaan Tiongkok untuk mengambil risiko kecelakaan, dampak diplomatik, dan kerusakan reputasi demi mengejar dominasi maritim.
Namun, hal ini juga membuat Beijing menghadapi pengawasan yang lebih ketat dan potensi reaksi keras dari negara-negara tetangga ASEAN, badan hukum internasional, dan rival strategis.
Insiden di dekat Scarborough Shoal bukanlah peristiwa yang terisolasi; melainkan bagian dari pola eskalasi yang lebih luas yang mengancam stabilitas regional. Jika Tiongkok terus mengaburkan batas antara penegakan hukum sipil dan agresi militer, Tiongkok mungkin akan semakin terisolasi, menghadapi tidak hanya kemunduran taktis tetapi juga konsekuensi strategis.