Ekspansi Militer Tiongkok di Tibet Ancam Ekologi Himalaya dan Keamanan Air di Asia

VIVA Militer: Pasukan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA)
VIVA Militer: Pasukan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA)

Ekspansi militer China di Tibet sangat merusak ekosistem Himalaya yang rapuh dan menimbulkan risiko terhadap keamanan iklim dan air di Asia Selatan dan Tenggara, menurut laporan baru yang dirilis pada hari Senin oleh Institut Kebijakan Keamanan dan Pembangunan (ISDP) yang berbasis di Stockholm.

Dalam laporan berjudul “Biaya Ekologis Keamanan: Pembangunan Militer dan Perubahan Lingkungan di Tibet”, ISDP menyoroti bahwa militerisasi yang pesat di Dataran Tinggi Tibet — rumah bagi cadangan gletser dan permafrost terbesar di Asia — telah memicu gangguan lingkungan yang dampaknya jauh melampaui zona militer.

ISDP memperingatkan bahwa perubahan ini mengancam keanekaragaman hayati dan ketahanan air jutaan penduduk di hilir.

"Kehadiran militer Tiongkok di Tibet telah berevolusi dari pengerahan awal pada tahun 1950-an menjadi jaringan militer kompleks yang terkait dengan strategi pertahanan dan kerangka ekonomi Tiongkok," tulis laporan tersebut dilansir portal berita Tibet, Phayul, Jumat, 22 Agustus 2025.

Kehadiran Militer Skala Besar

Menurut Institut Internasional untuk Studi Strategis, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) telah mengerahkan antara 70.000 hingga 120.000 tentara di Dataran Tinggi Tibet, dengan sekitar 40.000–50.000 ditempatkan di Distrik Militer Tibet.

Citra satelit dan studi lapangan yang dikutip dalam laporan menunjukkan bahwa pembangunan jalan, terowongan, landasan udara, dan pangkalan yang ekstensif di wilayah permafrost mempercepat degradasi lahan.

Dataran Tinggi Tibet memiliki sekitar 1,06 juta km persegi permafrost, zona beku dataran tinggi terbesar di dunia dan merupakan penyerap karbon yang penting. Suhu tanah di sana telah meningkat antara 0,1°C dan 0,5°C setiap tahun selama 30 tahun terakhir, yang menyebabkan permafrost tidak stabil.

Laporan tersebut memperingatkan bahwa aktivitas militer memperburuk degradasi ini, melepaskan gas rumah kaca yang tersimpan, dan mengganggu sistem air yang rapuh.

ISDP menekankan bahwa "penempatan fasilitas militer di seluruh Tibet merupakan langkah-langkah pertahanan dan proyeksi kekuatan, tetapi masing-masing memiliki dampak ekologis." ISDP menambahkan, "Degradasi ini tidak hanya berdampak pada ekosistem lokal tetapi juga berkontribusi pada ketidakstabilan iklim global."

Studi ini mengidentifikasi sekitar 35.000 km persegi wilayah yang sangat rentan yang perlu dilindungi dari aktivitas militer yang besar. Rekomendasi yang diajukan antara lain: Membentuk zona pelestarian ekologi di sekitar gletser dan sumber air. Menerapkan standar konstruksi ketat.

Memulihkan ekosistem pasca-latihan militer. Mengembangkan infrastruktur berkelanjutan, termasuk pengolahan limbah dan perlindungan permafrost.

Laporan tersebut juga mendesak Beijing untuk meningkatkan transparansi dan bekerja sama dengan LSM internasional, serta memperingatkan bahwa militerisasi Tibet memiliki “dampak lintas batas yang luas.”

Stabilitas ekologi Tibet, terutama dalam menjaga keamanan air di Asia, bergantung pada keseimbangan antara ekspansi militer dan pelestarian lingkungan. "Meskipun beberapa inisiatif lingkungan menunjukkan kemajuan, kecepatan dan skala perubahan yang didorong oleh militer masih mengkhawatirkan," tulis ISDP

Para analis berpendapat bahwa peningkatan kekuatan militer Beijing di Tibet didorong oleh pertimbangan eksternal dan internal. Secara eksternal, Tibet berfungsi sebagai penyangga strategis di tengah memburuknya hubungan dengan India, termasuk sengketa perbatasan dan konfrontasi seperti bentrokan mematikan di Lembah Galwan tahun 2020.

Sementara secara internal, penguatan kehadiran militer membantu Beijing menegaskan kontrol yang lebih ketat atas warga Tibet, yang kebebasan budaya dan agamanya telah lama dibatasi, lapor Phayul.