Tiongkok Inisiasi Konferensi Langka di Tengah Ekonomi Lesu dan Tekanan Politik

Untuk ketiga kalinya dalam lebih dari empat dekade, Tiongkok menggelar Konferensi Kerja Perkotaan tingkat tinggi. Pertemuan di Beijing ini dihadiri pejabat senior Partai Komunis dan pemerintah, menandai urgensi stabilisasi tata kelola kota di tengah perlambatan ekonomi, kesenjangan desa–kota, dan tekanan politik yang meningkat. Konferensi terakhir semacam itu diadakan pada tahun 2015.
Konferensi dihidupkan kembali sekarang, pada tahun 2025, di tengah kemerosotan ekonomi yang semakin dalam dan meningkatnya pertanyaan tentang efisiensi tata kelola, mengirimkan sinyal yang kuat, bahwa Beijing memprioritaskan kebijakan perkotaan bukan hanya sebagai alat untuk perencanaan ekonomi, tetapi sebagai komponen penting dalam menjaga kontrol politik dan ketertiban sosial.
Konferensi Kota dan Kontrol Pusat

Presiden China Xi Jinping (kiri)
Pasca pandemi, ekonomi perkotaan Tiongkok terpukul oleh pengangguran tinggi di kalangan muda (di atas 20% pada 2024), deflasi, dan krisis sektor properti. Banyak proyek perumahan terbengkalai akibat kebangkrutan pengembang karena terlilit utang, menggerus kepercayaan konsumen dan kekayaan rumah tangga.
Banyak penduduk perkotaan kelas menengah di Tiongkok, yang telah lama menikmati manfaat dari ekspansi ekonomi yang pesat, kini menghadapi tekanan yang semakin besar, ketidakamanan pekerjaan, penurunan nilai properti, dan menurunnya daya beli.
Walau pernyataan resmi menekankan perencanaan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan reformasi perumahan, namun subyeknya jelas-jelas bersifat politis
Menjaga stabilitas di kota-kota besar Tiongkok—yang banyak di antaranya menjadi rumah bagi jutaan migran internal dan populasi pemuda yang gelisah—menjadi semakin penting bagi legitimasi jangka panjang Partai Komunis.
Wilayah perkotaan secara historis telah menjadi pusat kemakmuran dan protes dalam sejarah Tiongkok modern. Dari protes Lapangan Tiananmen tahun 1989 hingga demonstrasi lokal baru-baru ini menentang penguncian wilayah akibat COVID dan kegagalan perbankan, kota-kota telah berulang kali menjadi titik nyala bagi perbedaan pendapat.
Para pemimpin tampaknya sangat menyadari bahwa kesulitan ekonomi yang berkepanjangan di daerah perkotaan dapat mengancam bukan hanya hasil ekonomi tetapi juga tatanan politik.
Konferensi terjadi beberapa bulan setelah pembersihan antikorupsi besar-besaran di pemerintahan daerah, khususnya di departemen perencanaan perkotaan dan infrastruktur, yang menurut banyak analis lebih ditujukan untuk mengekang perbedaan pendapat dan ketidaksetiaan internal partai daripada untuk mengatasi korupsi yang sebenarnya.
Dalam konteks itu, Konferensi Kerja Perkotaan berfungsi sebagai pertemuan puncak perencanaan sekaligus pengaturan ulang politik, yang bertujuan untuk mengingatkan kader lokal tentang prioritas dan kewenangan pemerintah pusat.
Efek Berantai Sektor Properti Lesu
Penekanan pada kota-kota besar yang terus berkembang dan infrastruktur berskala besar sebagai pendorong utama pertumbuhan telah sirna. Alih-alih, para pejabat justru berbicara tentang pembangunan yang "berpusat pada rakyat", sebuah frasa yang semakin populer dalam pidato-pidato Presiden Xi Jinping dan para pemimpin senior lainnya baru-baru ini.
Namun kritikus berpendapat bahwa slogan tersebut menutupi lebih banyak hal daripada yang diungkapkannya.
Meskipun berjanji untuk meningkatkan layanan publik, memperluas perumahan sosial, dan mengatasi ketimpangan, partai tersebut terus mempertahankan kontrol ketat atas migrasi internal melalui sistem hukou (pendaftaran rumah tangga), yang membatasi akses ke pendidikan dan perawatan kesehatan bagi jutaan migran pedesaan yang tinggal di kota.
Terlebih lagi, meskipun para pemimpin menyerukan "integrasi perkotaan-pedesaan," belum ada kejelasan mengenai bagaimana sumber daya akan didistribusikan kembali antara kota-kota pesisir Tiongkok yang makmur dan wilayah pedalamannya yang terbelakang, atau apakah pemerintah daerah—yang banyak di antaranya sudah terlilit utang—akan mampu memenuhi janji ambisius yang disampaikan pada konferensi tersebut.
Meskipun kebijakan perkotaan secara resmi bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor real estate, hal itu masih belum teratasi. Industri terkait properti menyumbang sekitar 25–30% PDB Tiongkok, dan pecahnya gelembung real estate telah menimbulkan efek berantai di seluruh perekonomian.
Turunnya harga rumah telah menggerus kekayaan rumah tangga, sementara perlambatan konstruksi telah menyebabkan hilangnya pekerjaan dan menurunnya pendapatan pemerintah daerah, yang sangat bergantung pada penjualan tanah.
Dalam lingkungan ini, setiap kebijakan pembangunan perkotaan harus berhadapan dengan kelemahan struktural sektor properti yang belum terselesaikan.
Namun konferensi tersebut hanya memberikan sedikit perincian konkret tentang bagaimana Beijing berencana untuk menghidupkan kembali atau menggunakan kembali persediaan perumahan yang menganggur, atau bagaimana hal itu akan mencegah gagal bayar lebih lanjut oleh pengembang yang terlilit utang.
Sementara para pejabat menekankan pembangunan lebih banyak unit berbiaya rendah, upaya-upaya sebelumnya sering kali gagal karena buruknya kualitas, terbatasnya akses ke layanan, dan keterlambatan birokrasi.
Pertanyaannya adalah apakah pemerintah pusat dapat menerapkan strategi perumahan yang efektif tanpa memicu kembali gelembung spekulatif atau memicu ketidakpuasan lebih lanjut.
Optimisme Teknokratis Vs Realitas Lapangan
Pernyataan resmi setelah konferensi memproyeksikan keyakinan, menekankan perlunya perencanaan ilmiah, pembangunan hijau, dan transformasi digital di kota-kota. Namun, rekam jejak perencanaan perkotaan teknokratis di Tiongkok beragam.
Banyak proyek “kota pintar” dan “kota ramah lingkungan” yang diluncurkan selama dekade terakhir masih kurang dimanfaatkan atau terbengkalai, akibat perencanaan yang terlalu ketat dan tidak memperhitungkan kebutuhan lokal dan realitas ekonomi.
Lebih jauh lagi, model tata kelola Beijing yang semakin tersentralisasi berarti bahwa pejabat setempat mungkin tidak memiliki otonomi dan fleksibilitas keuangan untuk bereksperimen dengan pendekatan baru.
Risikonya adalah kota-kota akan terus bergantung pada model pertumbuhan yang sudah ketinggalan zaman—real estat, infrastruktur, dan investasi yang dipimpin negara—sambil hanya mengumbar retorika reformis.
Pada akhirnya, keputusan untuk menyelenggarakan Konferensi Kerja Perkotaan nasional mencerminkan meningkatnya kecemasan para pemimpin Tiongkok atas dampak ekonomi dan sosial dari kebijakannya sendiri.
Hal ini juga menandakan pengakuan bahwa pengelolaan perkotaan, yang dulu dipandang sebagai perhatian sekunder di balik hasil industri dan pertumbuhan ekspor, kini menjadi pusat masa depan politik dan ekonomi negara tersebut.
Namun tidak adanya pengumuman kebijakan baru yang besar atau reformasi yang berani dari konferensi tersebut menunjukkan bahwa Beijing masih bergelut dengan cara mengelola transisi.
Dengan pemerintah daerah yang kekurangan uang, kaum muda semakin kecewa, dan mesin pertumbuhan tradisional tersendat, stabilitas perkotaan bukan lagi sekadar masalah tata kelola—melainkan keharusan nasional.
Saat Tiongkok memetakan arah pascapandemi melalui ketidakpastian ekonomi dan perubahan realitas geopolitik, kota-kotanya akan berfungsi sebagai barometer sekaligus medan pertempuran bagi ambisi negara yang lebih luas.