SPMB 2025 Picu Kontroversi karena Jalur Domisili Rasa Prestasi, JPPI: Sungguh Ironis

SPMB 2025 Picu Kontroversi karena Jalur Domisili Rasa Prestasi, JPPI: Sungguh Ironis

Sistem Peneriman Murid Baru (SPMB) 2025 menuai polemik.

Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) No 3 Tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Murid baru dinilai membingungkan dan ambigu, terutama soal penerapan jalur penerimaan.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mencontohkan, pada pasal 43, terdapat penentuan penerimaan calon murid baru jalur domisili jenjang SMA didasarkan pada kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah.

Ia menambahkan, peraturan di daerah seperti Yogyakarta dan DKI Jakarta terkait semua jalur pada akhirnya tetap mengutamakan prestasi akademik, baik jalur prestasi, domisili, mutasi, dan afirmasi.

Empat model jalur yang diharapkan mampu membuka akses sekolah secara lebar menurut JPPI justru banyak menghadapi kebuntuan.

"Ironi memang, meski jarak domisili anak dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin pula, tidak menjamin akan bisa melenggang lolos seleksi bila tidak berprestasi," kata Ubaid dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (20/6).

Sebagai contoh, berdasarkan Keputusan Gubernur Jakarta No 414 Tahun 2025, penerimaan jenjang SMP, SMA, dan SMK tahap 2 hanya dapat diikuti calon murid cadangan yang berdomisili di DKI Jakarta.

Jika jumlah pendaftar SMP dan SMK melebihi daya tampung, seleksi dilakukan dengan urutan total pembobotan indeks prestasi akademik, urutan pilihan sekolah, kemudian waktu mendaftar.

Sementara itu, jika pendaftar SMA melebihi daya tampung, seleksi dilakukan dengan urutan kemampuan akademik, urutan pilihan sekolah, kemudian waktu mendaftar.

Sedangkan pada jalur afirmasi prioritas kedua dan jalur mutasi jenjang SMP, pendaftar yang melebihi daya tampung diseleksi dengan urutan langkah wilayah penerimaan murid baru prioritas, total pembobotan indeks prestasi akademik, urutan pilihan sekolah, kemudian waktu mendaftar.

JPPI menilai SPMB 2025 masih diskriminatif dan belum sepenuhnya memenuhi prinsip perlindungan 'hak semua anak' atas pendidikan.

Ia menekankan, hak semua anak atas pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara dan dijamin oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1, "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan."

Ubaid mengatakan SPMB 2025 masih terjebak dalam masalah klasik perebutan kursi di sekolah negeri, tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung.

Sebagai contoh, rata-rata daya tampung SMA negeri di berbagai provinsi sekitar 30 persen.

Maka, pemenuhan hak pendidikan 70 persen anak yang tidak tertampung perlu dipikirkan agar tidak menambah angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah.

Inilah pintu masuk kasus jual beli kursi, pungli, dan manipulasi yang susah diberantas.

“Ada permintaan yang sangat tinggi (demand), sementara penyediaan (supply) yang sangat minim," ucapnya. (Knu)