Sosok Marsma Fajar Adriyanto, Pilot F-16 yang Pernah "Duel Udara" dengan Pesawat AS

Peristiwa Bawean, kecelakaan pesawat, wrap  up, Marsma Fadjar Adriyanto meninggal dunia, Marsma Fajar Adriyanto, Sosok Marsma Fajar Adriyanto, Pilot F-16 yang Pernah

Marsekal Pertama (Marsma) Fajar Adriyanto, meninggal dunia akibat pesawat latih yang dikendarainya jatuh di Ciampea, Bogor, Jawa Barat, Minggu (3/8/2025) pagi.

Sosok Marsma Fajar tidak asing karena pernah dipercaya menjadi Kepala Dinas Penerangan TNI (AU) atau Kadispenau.

Kadispenau Marsma I Nyoman Suadnyana mengatakan, Fajar merupakan penerbang jet tempur F-16, salah satu jet tempur produksi Amerika Serikat (AS).

“(Marsma Fajar) penerbang tempur F-16 dengan call sign ‘Red Wolf’,” ujar Suadnyana, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/8/2025).

Fajar merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 1992.

Selama perjalanan kariernya, ia pernah dipercaya menjadi Komandan Skadron Udara 3, Komandan Landasan Udara (Danlanud) Manuhua, Kadispenau, Kapuspotdirga, Aspotdirga Kaskoopsudnas, dan Kapoksahli Kodiklatau.

Pelaku dalam Insiden Bawean

Peristiwa Bawean, kecelakaan pesawat, wrap  up, Marsma Fadjar Adriyanto meninggal dunia, Marsma Fajar Adriyanto, Sosok Marsma Fajar Adriyanto, Pilot F-16 yang Pernah

Latihan Cakra A 2025, F-16 TNI AU Paksa Mendarat Pesawat Asing (Kadispenau)

Dikutip dari , Fajar termasuk salah satu pilot F-16 TNI AU yang pernah terlibat dalam peristiwa "duel udara" dengan pesawat-pesawat F/A-18 Hornet, Angkatan Laut Amerika Serikat yang terjadi di wilayah udara Pulau Bawean, pada 3 Juli 2003.

Pada saat itu radar Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia dan Pusat Operasi Pertahanan Nasional menangkap ada lima titik mencurigakan yang terbang dalam formasi rapat dan tidak teridentifikasi.

Namun ketika satu flight pesawat tempur TNI AU dikirimkan untuk melakukan identifikasi, tidak ditemukan objeknya.

Dua jam kemudian, terlihat manuver-manuver pesawat terbang tanpa identitas dan ada laporan dari para penerbang pesawat Bouraq Indonesia Airlines, bahwa manuver-manuver mereka yang berkecepatan tinggi sudah membahayakan kesalamatan dan keamanan penerbangan sipil berjadual.

Pesawat-pesawat itu juga tidak melakukan komunikasi dengan menara pengatur lalu-lintas penerbangan nasional.

Mencegat pesawat AS

Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia, saat itu dijabat Marsekal Muda TNI Teddy Sumarno, mengirimkan dua F-16 B untuk melakukan misi mencegat, mengidentifikasi dan mengusir mereka dari wilayah udara nasional.

Penerbangan ini memiliki call sign Falcon Flight. Pemimpin penerbangan bersandikan Falcon 1, bernomor ekor TS-1603 yang diawaki oleh Ian Fuady dan Fajar Adriyanto yang masing-masing masih berpangkat kapten penerbang.

Sedangkan Falcon 2, bernomor ekor TS-1602, diawaki oleh Kapten PNB Mohamad Tonny Harjono dan Kapten PNB M. Satrio Utomo.

Dalam misinya, mereka bertugas untuk identifikasi visual dan menghindari konfrontasi, dengan cara tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam.

Ketika Falcon Flight tiba di lokasi, mereka langsung disambut oleh dua pesawat F/A-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat sehingga mereka terlibat dalam perang radar (radar jamming).

Dalam peristiwa itu, salah satu penerbang tempur TNI AU sudah dalam posisi terkunci secara radar oleh penerbang tempur AL AS.

Sedang pesawat lainnya sedang saling berkejaran dalam posisi dog fight cukup ketat. Pesawat TNI AU kemudian berinisiatif melakukan gerakan menggoyang sayap (rocking wing) yang menyatakan bahwa mereka tidak dalam posisi mengancam pesawat AL AS.

Ketika komunikasi berhasil dibuka, diketahui bahwa kedua pesawat AL AS dan jajaran kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Carl Vinson (CVN-70), merasa bahwa mereka berlayar di wilayah perairan internasional dan meminta agar kedua pesawat TNI AU untuk menjauh.

Namun disampaikan oleh pesawat TNI AU bahwa mereka, pesawat-pesawat AL AS berada dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia sesuai dengan Deklarasi Djuanda.

Falcon Flight meminta mereka untuk segera mengontak ke ATC setempat, Bali Control, yang hingga saat itu tidak mengetahui keberadaan mereka. Mengetaui adanya itu, pesawat-pesawat AL AS itu kemudian terbang menjauh. 

Indonesia protes keras

Setelah insiden itu, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menyampaikan nota protes kepada Pemerintah Amerika Serikat.

Pemerintah Indonesia menyatakan keberatan atas manuver yang dilakukan oleh pesawat tempur AS di utara Pulau Bawean.

Nota protes tersebut meminta Pemerintah AS menghargai dan menghormati kedaulatan wilayah Indonesia yang telah dikuatkan oleh Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982.

"Kita ini tidak selemah yang mereka (AS) duga. Kita memang tidak ingin membuat hubungan kedua negara menjadi buruk, tetapi kita juga tidak ingin mereka tidak mengakui kedaulatan kita," ujar Menteri Kehakiman dan HAM (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra saat itu, dikutip dari Harian Kompas edisi 9 Juli 2003.