Mengapa Orang Kaya dan Bergelimang Harta Masih Korupsi?

Ilustrasi korupsi, Korupsi Bukan Sekadar Soal Uang, Kekuasaan, Diskresi, dan Kurangnya Akuntabilitas, Psikologi ‘Never Enough’ dan Adiksi Kekuasaan, Lingkungan dan Norma Sosial, Hedonisme, Status, dan Simbolisme Kekayaan
Ilustrasi korupsi

Kasus korupsi di Indonesia terus mendapat perhatian publik. Tindakan korupsi yang biasanya menjerat pejabat publik selalu membuat kita bertanya-tanya.

Mengapa sebagian orang tetap korup padahal gaji mereka sudah sangat tinggi dan jabatan mereka prestisius? Fenomena ini jelas terlihat di Indonesia, di mana beberapa kasus korupsi melibatkan pejabat dan pengusaha kaya yang seharusnya sudah hidup nyaman secara finansial.

Misalnya, kasus dugaan korupsi proyek infrastruktur bernilai miliaran rupiah yang menyeret pejabat tinggi pemerintah, atau pengusaha yang memanfaatkan fasilitas negara untuk keuntungan pribadi. Paradoks ini mengejutkan, memiliki cukup uang dan posisi prestisius seharusnya cukup untuk hidup nyaman, tetapi godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan tetap muncul.

Artikel ini membongkar alasan psikologis, struktural, dan sosial di balik perilaku korupsi orang kaya, dengan perspektif para ahli internasional seperti Dan Ariely dan Robert Klitgaard, sehingga pembaca mendapatkan analisis berbasis riset, bukan sekadar opini.

Korupsi Bukan Sekadar Soal Uang

Sering kali orang berpikir bahwa korupsi terjadi karena kebutuhan finansial. Namun bagi banyak orang kaya, uang bukanlah motivasi utama.

Menurut profesor psikologi dan ekonomi perilaku di Duke University, Dan Ariely, perilaku curang muncul bukan karena kekurangan, tetapi karena adanya kesempatan dan justifikasi diri.

“Orang-orang cenderung berbuat curang ketika mereka bisa membenarkan tindakan itu di dalam pikiran mereka,” tulis Ariely alam bukunya yang berjudul The Honest Truth About Dishonesty.

Artinya, pejabat atau eksekutif kaya tetap bisa melakukan korupsi karena mereka mampu membuat alasan internal seperti “Saya berhak karena pekerjaan saya berat” atau “Ini hanya sedikit, tidak akan ketahuan.” Kesempatan untuk korupsi dan kemampuan membenarkan tindakan membuat orang tetap terdorong meski kebutuhan materi mereka sudah terpenuhi.

Contoh kasus internasional dan Indonesia mendukung pandangan ini. CEO perusahaan besar atau pejabat publik dengan gaji miliaran rupiah tetap terjerat korupsi untuk proyek-proyek yang seharusnya mereka awasi, meski secara finansial mereka sudah cukup.

Kekuasaan, Diskresi, dan Kurangnya Akuntabilitas

Untuk memahami korupsi secara sistemik, kita bisa merujuk pada rumus Robert Klitgaard, pakar korupsi dari Claremont Graduate University:

Korupsi = Kekuasaan + Diskresi – Akuntabilitas

Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi terjadi ketika seseorang memiliki kekuasaan besar, kebebasan mengambil keputusan (diskresi), dan pengawasan yang lemah.

Dalam praktiknya, pejabat atau eksekutif dengan jabatan tinggi memiliki kombinasi sempurna dari tiga faktor ini yakni mereka bisa membuat keputusan signifikan tanpa diawasi secara ketat, memiliki ruang diskresi yang luas, dan jarang menghadapi konsekuensi langsung jika menyalahgunakannya. Sistem birokrasi yang kompleks atau celah hukum semakin mempermudah korupsi, bahkan bagi mereka yang secara finansial tidak membutuhkan uang tambahan.

Psikologi ‘Never Enough’ dan Adiksi Kekuasaan

Fenomena never enough menjelaskan mengapa kekayaan tidak membuat orang puas. Psikologi manusia cenderung membandingkan diri dengan orang lain dan merasa selalu kurang, meski sudah memiliki banyak.

Dan Ariely menunjukkan melalui risetnya bahwa kesempatan untuk mendapatkan keuntungan tambahan mendorong perilaku curang, bahkan ketika kebutuhan materi sudah terpenuhi.

“Kita sering membenarkan tindakan curang karena melihat peluang yang seolah tidak merugikan orang lain,” kata dia menekankan.

Selain itu, kekuasaan sendiri bisa menjadi adiktif. Perasaan memiliki kontrol dan kemampuan mempengaruhi keputusan orang lain memberikan kepuasan psikologis yang mendorong perilaku korup berulang. Adiksi kekuasaan ini membuat seseorang terus mencari cara untuk memperluas kontrol dan keuntungan, meski gaji dan harta sudah lebih dari cukup.

Lingkungan dan Norma Sosial

Selain faktor individu, lingkungan dan budaya organisasi memainkan peran penting. Dalam banyak kasus, korupsi dianggap ’normal’ karena sistem atau norma sosial di sekitar individu membiarkannya terjadi.

Di perusahaan atau lembaga pemerintah dengan sejarah ketidaktransparanan, karyawan sering melihat atasan melakukan penyalahgunaan kekuasaan tanpa konsekuensi. Tekanan kelompok dan rasa aman karena banyak orang lain juga melakukan hal serupa membuat perilaku curang terasa wajar.

Laporan dari Transparency International menunjukkan bahwa budaya toleransi terhadap korupsi meningkatkan peluang individu untuk mengikuti pola yang sama. Artinya, orang kaya tidak selalu tergerak oleh kebutuhan, tetapi oleh kebiasaan dan norma sosial di sekitarnya.

Hedonisme, Status, dan Simbolisme Kekayaan

Tidak kalah penting, faktor hedonisme dan kebutuhan pengakuan sosial juga mendorong korupsi. Banyak orang kaya menggunakan uang curian untuk mempertahankan citra mewah, membeli mobil eksklusif, properti mahal, atau gaya hidup yang simbolik.

Kebutuhan akan status dan pengakuan sosial menjadi motivasi yang kuat. Korupsi bukan hanya soal menambah kekayaan, tetapi juga untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi sosial. Dengan kata lain, korupsi menjadi sarana simbolis untuk ’menampilkan’ kekayaan dan kekuasaan kepada lingkungan sosial mereka.