Catatan Para Pengacara Terhadap RUU KUHP, Desak Hapus Pasal Penyadapan Dan Penguatan Alat Bukti

Catatan Para Pengacara Terhadap RUU KUHP, Desak Hapus Pasal Penyadapan Dan Penguatan Alat Bukti

Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (17/6) menggelar rapat membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP karena khawatir akan disalahgunakan.

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengusulkan agar penyadapan dihapus dalam RUU KUHP.

Waketum Peradi Sapriyanto Refa mengatakan, mekanisme penyadapan dalam tindak pidana sudah diatur dalam sejumlah undang-undang lain, sehingga tak perlu lagi disebutkan dalam KUHAP yang baru.

"Dalam upaya paksa yang dimiliki ini untuk tindak pidana umum yang ada di dalam KUHAP ini, penyadapan harus dihilangkan," kata Supriyanto.

Penyadapan sudah diatur dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-Undang Kepolisian.

Ia mengusulkan, agar bentuk upaya paksa yang diatur dalam RUU KUHAP diubah, sehingga upaya paksa hanya meliputi penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan larangan bagi tersangka keluar wilayah Indonesia.

Selain soal penyadapan, dia juga mengusulkan agar keterangan ahli dan bukti petunjuk dihapus dalam RUU KUHAP karena dinilai sangat berbahaya untuk meyakini hakim.

Selain itu, alat bukti hanya meliputi empat jenis, yakni keterangan saksi, bukti surat, bukti elektronik, hingga keterangan terdakwa.

Di mana, penyidik harus mencari alat bukti sendiri untuk menemukan pelaku atau membuktikan tindak pidana. Menurut dia, penyidik tidak dapat hanya bergantung pada bukti petunjuk.

Mengenai keterangan ahli, dia menyayangkan bahwa selama ini keterangan ahli yang kerap dipertimbangkan hakim adalah yang diajukan dari jaksa penuntut umum. Sedangkan, keterangan ahli dari pihak penasehat hukum jarang dipertimbangkan.