Pasal Penyadapan di UU Kejaksaan Dipaksa Jalan Tanpa Aturan Jelas, DPR Segera Panggil Kejagung

Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, menyuarakan keprihatinan seriusnya terhadap langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menjalin kerja sama (MoU) penyadapan dengan empat operator telekomunikasi besar yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk.
Menurutnya, MoU ini berpotensi melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang secara tegas menyatakan bahwa penyadapan wajib diatur dalam undang-undang khusus.
"Sampai hari ini, beleid itu belum juga dibentuk, baik oleh pemerintah maupun DPR,” ujar Nasir.
Nasir Djamil menyoroti Pasal 30C Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan yang memang memberikan kewenangan penyadapan kepada Kejaksaan.
Namun, ia menegaskan bahwa pasal tersebut seharusnya baru dapat diimplementasikan setelah adanya UU khusus tentang penyadapan.
"Ada kesepahaman antara pemerintah dan DPR saat itu bahwa pelaksanaan Pasal 30C baru bisa dilakukan jika UU Penyadapan sudah terbentuk," tegas politisi Fraksi PKS ini.
Menanggapi MoU ini, Nasir Djamil mengungkapkan keterkejutannya dan berjanji akan mendorong Komisi III DPR RI untuk segera memanggil Kejaksaan Agung guna meminta klarifikasi resmi.
"Mudah-mudahan awal Juli ini kami bisa mengundang Kejaksaan Agung. Salah satu agendanya tentu untuk meminta penjelasan terkait nota kesepahaman ini. Kami tidak ingin ada kesalahpahaman dalam memahami Pasal 30C," pungkasnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (JAM-Intel) Reda Manthovani menjelaskan bahwa kerja sama ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data serta informasi untuk kepentingan penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan.
Reda menyatakan bahwa kolaborasi ini adalah langkah penting bagi intelijen Kejaksaan, mengingat adanya pembaruan tugas dan fungsi intelijen dalam UU Kejaksaan terbaru.