Pengasuhan Responsif, Fondasi Ketangguhan Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Namun, kekuatan dan kualitasnya menentukan masa depan sebuah bangsa.
Di balik perannya yang krusial dalam tumbuh kembang anak, banyak keluarga di Indonesia masih berjibaku menghadapi ketimpangan ekonomi, akses layanan, rendahnya keterampilan pengasuhan, hingga lemahnya perlindungan terhadap anak dan perempuan.
“Kalau kita bicara kualitas bangsa, maka lihatlah kualitas keluarganya,” ujar psikolog sekaligus anggota Early Childhood Education and Development (ECED) Council dari Pusat Ketangguhan dan Pembangunan Keluarga Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Yohana Ratrin Hestyanti.
Menurutnya, fondasi karakter dan kapasitas individu terbentuk sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan.
“Apa yang dilakukan atau justru diabaikan orangtua dalam masa awal kehidupan anak akan berdampak seumur hidup,” jelas Yohana.
Ia menekankan, keterampilan pengasuhan seharusnya sudah dimiliki jauh sebelum anak lahir.
“Idealnya, dipersiapkan sejak pasangan memutuskan ingin punya anak,” ucap Yohana.
Persiapan tersebut termasuk memastikan kesiapan fisik dan mental orangtua, serta kesehatan ibu dan janin sejak masa kehamilan.
Pandangan Yohana sejalan dengan Nurturing Care Framework—kerangka global yang diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO), United Nations Children's Fund (UNICEF), dan Bank Dunia pada 2018.
Lima komponen yang menjadi pilar utama tumbuh kembang anak adalah kesehatan, gizi, pengasuhan responsif, pembelajaran awal, dan keamanan. Pengasuhan responsif menjadi penyangga utama keempat aspek lainnya.
Apa itu pengasuhan responsif?
Pengasuhan responsif adalah kemampuan orangtua untuk mengenali dan merespons kebutuhan anak secara tepat, konsisten, dan penuh kasih, bahkan sejak dalam kandungan.
Berikut sejumlah prinsip dan praktik pengasuhan responsif yang bisa diterapkan dalam keluarga.
1. Menciptakan lingkungan yang aman dan penuh cinta
Rumah harus menjadi ruang yang aman secara fisik dan emosional. Memberi kasih sayang, memperhatikan asupan gizi, menjaga kesehatan secara rutin, serta menjauhkan anak dari kekerasan dan pengabaian adalah syarat utama.
2. Mengadopsi pendekatan holistik
Pengasuhan tak cukup hanya dengan memberi makan atau menyekolahkan anak. Orangtua perlu memperhatikan aspek fisik, kognitif, sosial, emosional, dan spiritual anak secara utuh. Dengan demikian, anak akan menjadi pribadi yang resilien dan sehat secara mental.
3. Memberikan stimulasi sesuai usia
Stimulasi yang tepat pada setiap fase perkembangan akan membantu anak mengoptimalkan potensi fisik, mental, dan emosionalnya. Sebaliknya, kurangnya stimulasi atau perlakuan yang tidak sesuai dapat meninggalkan dampak jangka panjang.
- Pada usia 0–2 tahun: Anak mulai membangun rasa percaya terhadap orangtua dan lingkungan. Fase ini menjadi fondasi penting dalam membentuk rasa aman dan kepercayaan diri di masa depan.
- Pada usia 2–3 tahun: Anak mulai mengeksplorasi, belajar mandiri, dan menunjukkan keinginan untuk mengendalikan pilihannya sendiri. Dukungan orangtua pada fase ini akan memperkuat inisiatif dan daya juang anak.
- Pada usia 3–6 tahun: Anak mulai berani menyampaikan pendapat dan mengekspresikan emosi. Dengan stimulasi yang tepat, anak belajar mengenali perasaannya dan berinteraksi secara sehat dengan lingkungan sosial.
4. Menerapkan interaksi dan disiplin positif
Pengasuhan responsif menekankan pentingnya hubungan dua arah yang hangat antara anak dan orangtua. Salah satunya melalui interaksi berbalas (serve and return) dengan cara saling merespons secara positif saat salah satu pihak menunjukkan ekspresi atau aksi.
Pola tersebut dapat memperkuat keterikatan emosional dan mempercepat perkembangan kognitif anak.
Disiplin positif juga menjadi bagian penting. Misalnya, menetapkan rutinitas tidur dan makan tanpa ancaman atau hukuman, sehingga anak belajar mengenal batas dan konsistensi dalam suasana yang aman dan penuh kasih.
Selain itu, orangtua juga perlu membantu anak mengenali dan mengelola emosinya. Saat anak menangis atau kesal, beri nama emosinya, seperti “Adik marah, ya?”.
Pengenalan emosi seperti itu dapat membantu anak memahami perasaannya tanpa merasa dihakimi.
Tak kalah penting, yakni pengasuhan yang setara antara ayah dan ibu. Peran yang saling mendukung akan menciptakan iklim keluarga yang harmonis dan menjadi teladan nyata bagi anak dalam membangun relasi yang sehat.
Ketangguhan keluarga: mengenali risiko dan perlindungan
Yohana menekankan bahwa ketangguhan keluarga ditentukan oleh sejauh mana orangtua mampu mengenali faktor risiko, seperti stres berkepanjangan, konflik rumah tangga, dan ketergantungan gawai.
Di sisi lain, faktor pelindung seperti komunikasi hangat, dukungan keluarga besar, dan kemampuan mengelola stres bisa memperkuat daya tahan keluarga.
Namun, keluarga tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Dibutuhkan dukungan ekosistem sosial yang aktif dari tokoh masyarakat, kader kesehatan, komunitas, serta layanan dasar, seperti pos pelayanan terpadu (posyandu) dan pendidikan anak usia dini (PAUD).
Yohana juga mendorong penerapan pendekatan PAUD Holistik Integratif (HI) secara nyata dan lintas sektor.
“Kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan penguatan keluarga harus jalan bersama. Jangan lagi bekerja sendiri-sendiri,” tegasnya.
Membangun keluarga tangguh bukan perkara sepele. Namun, dengan pengasuhan yang responsif, lingkungan yang aman, dan dukungan sosial yang kuat, setiap rumah bisa menjadi tempat terbaik bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Sebab, bangsa yang kuat dimulai dari keluarga yang peduli.