Soimah Akui Ospek Pacar Anaknya, Perlukah Calon Mertua Tunjukkan Sisi Terburuk?

Seniman Soimah Pancawati mengatakan, ia mengospek pacar anaknya untuk menguji apakah mereka bisa menerima calon mertuanya ini nanti apa adanya. Menurutnya, jika dari awal sudah mundur maka tidak akan tahan dengannya pada masa depan.
"Pokoknya dengan mulutku ini aku ospek. Sempat awal-awal tuh dia nangis. Pokoknya aku maki-maki, pokoknya aku ini dengan caraku lah, ‘Lu enggak ada cowok lain? Enggak ada laki-laki lain, macarin anak SMA?’. Kan dari SMA kan (pacaran),” kata Soimah, dikutip dari akun YouTube Raditya Dika, Senin (18/8/2025).
“Pokoknya banyak lah kata-kataku yang ketus yang enggak bisa tak omongin di sini. Akhirnya dia nangis,” tambahnya.
Malam harinya, Soimah bercerita, ia dibangunkan oleh putranya yang kemudian menanyakan apa saja yang sudah Soimah katakan ke pacarnya. Tak hanya itu, putra Soimah pun menuturkan bahwa kekasihnya minta putus.
Mendengar hal itu, Soimah mengatakan bahwa ia tak ingin putranya kerepotan dengan permintaan putus tersebut dan menyarankan untuk mencari kekasih baru.
Lantas, apakah orangtua perlu menunjukkan sisi terburuknya ke calon menantu demi mendapat penegasan tentang keseriusan mereka terhadap sang anak?
Calon mertua ospek calon menantu
Ospek untuk menunjukkan sisi terburuk calon mertua?
Menurut psikolog klinis Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., yang berpraktik di Rumah Sakit DR Oen Solo Baru, orangtua memang harus asertif.
“Menunjukkan sisi, ‘Ya inilah saya apa adanya’ juga enggak masalah. Tinggal cara menunjukkannya saja. Kan ada banyak cara,” tutur Joko saat dihubungi, Senin (18/8/2025).
Menurut Joko, cara menunjukkan diri apa adanya tidak perlu berlebihan. Ketika menunjukkan amarah kepada calon menantu, misalnya, orangtua tidak perlu membentak-bentak.
Cukup dengan berdiam diri pun sudah menunjukkan bahwa seseorang sedang marah, atau tidak suka dengan situasi yang dihadapinya.
Soimah mengaku pernah mengospek pacar anaknya. Psikolog menilai, orangtua boleh tampil apa adanya pada calon menantu, tapi..
Berdiam diri karena marah dan tidak suka bakal terasa beda dengan berdiam diri karena hal lain. Ada perasaan kurang mengenakkan yang dipancarkan dari orang tersebut.
“Sebenarnya kan ada banyak cara yang bisa dilakukan, yang ‘lebih beradab’. Enggak perlu marah-marah atau apa,” ucap Joko.
“Sama kayak orang yang ingin memberikan inspirasi, tapi sambil teriak-teriak apalagi memaki pihak lain, saya kira itu bukan sesuatu yang bijaksana. Masih banyak cara yang kita bisa lakukan, yang lebih beradab, daripada nanti memberi dampak bukan sesuatu yang bermanfaat,” sambung dia.
Boleh tunjukkan sisi terburuk calon mertua, tapi..
Ketika ingin menunjukkan sisi terburuk, bukan cuma perilaku saja yang perlu diperhatikan saat berhadapan dengan calon menantu, tetapi juga perkataan.
Setiap orang seharusnya berhati-hati saat berbicara. Joko menerangkan, kata-kata atau kalimat yang diucapkan oleh seseorang, bisa memengaruhi bagaimana diri sendiri atau orang lain bertindak.
Calon menantu sakit hati, sebaiknya berempati
Jangan sampai calon menantu alami tekanan batin
Soimah mengaku pernah mengospek pacar anaknya. Psikolog menilai, orangtua boleh tampil apa adanya pada calon menantu, tapi..
Ketika calon menantu sampai menangis karena diospek secara berlebihan, bahkan sampai ingin putus, artinya mereka sudah tidak kuat lagi secara mental.
“Kalau sampai calon menantu minta putus, artinya itu (perilaku mengospek) sudah menjadi sebuah masalah dalam hubungan calon menantu dengan calon mertua. Berarti kan dia mengalami tekanan batin,” jelas Joko.
Saat anak mengatakan hal tersebut kepada orangtua yang mengospek kekasihnya, entah itu ayah atau ibu, respons yang seharusnya diberikan adalah berempati.
Jujur boleh, tetapi pemilihan kata atau kalimatnya perlu diperhatikan karena tidak semua orang nyaman dengan apa yang kita ucapkan.
“‘Ngapain susah-susah, nyari pacar kan gampang’. Itu kata-kata yang menurut saya kurang empatik. Ini masalah rasa, afeksi. Afeksi itu tidak mudah untuk kemudian berpindah,” kata Joko.
Menurut dia, tidak semudah itu untuk langsung mencari pasangan baru karena beberapa faktor, seperti lama mereka berpacaran dan perasaan yang sudah lebih dalam.
Meskipun orangtua mengospek calon menantu dengan cara yang terlalu berlebihan, ketika anak mengatakan bahwa pasangannya ingin putus, mereka tidak sepatutnya menjadi kompor.
Joko menuturkan, ini adalah momen bagi orangtua untuk mengobrol dengan anaknya, sekaligus belajar menjadi sosok yang bijaksana.
Misalnya, anak mengungkapkan alasan pasangannya ingin putus adalah perilaku orangtua terhadap mereka.
“Kita harus berkaca, 'Oh kalau bersikap begini berarti bagi mereka kurang pas. Oke deh, ini jadi pembelajaran saya besok. Saya enggak kayak begini lagi’,” ucap dia.
“Saya kira itu juga bagian dari proses pendewasaannya orangtua sebagai ayah dan ibu, yang mana dia punya anak yang nanti juga akan punya anak dan menantu,” lanjut Joko.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!