Asal Croissant Bukan dari Prancis? Fakta Unik yang Mengejutkan!

Croissant, pastry berbentuk bulan sabit yang renyah di luar dan lembut di dalam, telah menjadi simbol kuliner Prancis yang mendunia. Aroma mentega yang harum dan tekstur berlapis-lapis membuatnya menjadi favorit sarapan atau camilan di berbagai belahan dunia.
Namun, tahukah Anda bahwa croissant yang identik dengan kafe-kafe di Paris ini sebenarnya bukan berasal dari Prancis? Kisah asal-usul croissant menyimpan fakta mengejutkan yang melibatkan sejarah panjang, pengaruh lintas budaya, dan inovasi kuliner yang menarik.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai sejarah croissant, dari akarnya di Austria hingga transformasinya menjadi ikon kuliner modern.
Kipferl: Nenek Moyang Croissant dari Austria
Sejarah croissant berawal dari Austria, tepatnya dari roti berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai kipferl. Menurut catatan sejarah, kipferl telah ada sejak abad ke-13 di Wina, jauh sebelum croissant dikenal di Prancis. Kipferl, yang dalam bahasa Jerman berarti "bulan sabit," awalnya dibuat dengan adonan sederhana berbahan tepung terigu, mentega, telur, dan ragi, menghasilkan tekstur yang lebih mirip roti daripada pastry modern.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kipferl dibuat untuk merayakan kemenangan Austria atas pasukan Ottoman pada Pertempuran Wina tahun 1683. Bentuk bulan sabitnya konon terinspirasi dari simbol bendera Ottoman, sebagai simbol kemenangan.
Namun, dokumen lain, seperti puisi kuno Austria, menunjukkan bahwa kipferl sudah ada sejak abad ke-13, jauh sebelum perang tersebut, sebagai bagian dari tradisi Natal.
Perjalanan Croissant ke Prancis
Kipferl mulai dikenal di Prancis pada abad ke-18, dan salah satu versi populer menyebutkan bahwa Ratu Marie Antoinette, putri Austria yang menikah dengan Raja Louis XVI, memperkenalkan roti ini ke istana Versailles sekitar tahun 1770.
Karena kerinduannya akan kuliner kampung halamannya, koki kerajaan membuat kipferl yang kemudian dinamai "croissant" dalam bahasa Prancis, yang juga berarti "bulan sabit." Meski cerita ini menarik, beberapa sejarawan meragukan kebenarannya karena hanya berdasarkan legenda tanpa bukti tertulis yang kuat.
Catatan sejarah yang lebih terverifikasi menyebutkan bahwa croissant modern mulai muncul di Prancis pada tahun 1838, ketika August Zang, seorang pengusaha Austria, membuka toko roti La Boulangerie Viennoise di Paris.
Zang memperkenalkan kipferl dan roti khas Wina lainnya, yang langsung memikat warga Paris. Ia menggunakan oven uap untuk menghasilkan tekstur yang lebih renyah dan memasarkan produknya dengan iklan di surat kabar, strategi yang inovatif pada masanya.
Popularitas kipferl mendorong toko-toko roti lokal untuk meniru resepnya, dan nama "croissant" mulai digunakan untuk merujuk pada roti berbentuk bulan sabit ini.
Inovasi Prancis: Teknik Laminasi dan Puff Pastry
Meski kipferl menjadi cikal bakal croissant, inovasi Prancislah yang mengubahnya menjadi pastry berlapis seperti yang kita kenal hari ini. Pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1915, Sylvain Claudius Goy mencatatkan resep croissant pertama yang menggunakan teknik laminasi, yaitu melipat adonan dengan lapisan mentega berulang kali untuk menciptakan tekstur berlapis dan renyah.
Berbeda dengan adonan kipferl yang mirip brioche, croissant Prancis menggunakan puff pastry, menghasilkan tekstur yang lebih ringan dan berongga. Teknik laminasi ini, menurut sejarawan kuliner Jim Chevallier, kemungkinan terinspirasi dari tradisi kuliner Arab abad ke-13, yang kemudian disempurnakan di Prancis dengan penggunaan lempengan marmer untuk menjaga suhu adonan.
Perbedaan bahan juga menjadi penanda penting. Di Prancis, croissant dibedakan berdasarkan bentuknya: croissant lurus biasanya terbuat dari mentega murni (full butter), sedangkan croissant berbentuk bulan sabit sering menggunakan margarin atau campuran mentega dan margarin.
Aturan ini menjadi standar tidak tertulis di kalangan pembuat roti Prancis untuk menunjukkan kualitas bahan. Croissant bermentega murni dikenal memiliki aroma dan rasa yang lebih kaya, menjadi favorit para pecinta kuliner.
Evolusi Croissant: Dari Tradisional ke Modern
Croissant tidak hanya bertahan sebagai ikon kuliner Prancis, tetapi juga berevolusi dengan berbagai inovasi. Pada abad ke-20, croissant menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, di mana pastry ini disajikan dengan isian seperti cokelat, keju, atau green tea untuk menyesuaikan selera lokal.
Kreasi modern seperti cronut (perpaduan croissant dan donat), cruffin (croissant dan muffin), croffle (croissant dan waffle), hingga cromboloni (croissant dan bomboloni) menunjukkan fleksibilitas croissant dalam dunia kuliner.
Di Paris, crookie, kombinasi croissant dan adonan cookie, menjadi tren baru yang viral, dengan koki seperti Stéphane Louvard mengisi croissant dengan cokelat premium untuk menciptakan tekstur lengket yang unik.
Kontes tahunan di Prancis, seperti yang diadakan oleh konfederasi pembuat roti, juga menunjukkan betapa seriusnya negara ini memandang croissant.
Pada tahun 2023, Alexis Douine dari Lyon memenangkan gelar croissant mentega terbaik, mengalahkan pesaing dari 101 departemen di Prancis. Kompetisi ini tidak hanya menilai rasa, tetapi juga tekstur, aroma, dan teknik pembuatan, menegaskan standar tinggi croissant sebagai warisan kuliner.
Fakta Unik: Simbol Perlawanan dan Kemenangan
Selain asal-usulnya yang menarik, croissant juga memiliki kaitan dengan sejarah perlawanan. Konon, pada akhir abad ke-18, para pekerja yang membangun terowongan bawah tanah untuk melawan pasukan Prusia sering menikmati croissant sebagai camilan.
Hal ini menjadikan croissant simbol perlawanan dan kebebasan di Prancis. Selain itu, Croissant Day diperingati setiap 30 Januari, merayakan kelezatan pastry ini yang telah mendunia.
Proses Pembuatan yang Rumit
Membuat croissant bukanlah tugas mudah. Proses laminasi membutuhkan ketelitian dan waktu berjam-jam, sering kali hingga dua hari, untuk menghasilkan lapisan yang sempurna.
Adonan harus didinginkan secara berkala agar mentega tidak meleleh, dan teknik pelipatan yang tepat menciptakan ratusan lapisan tipis yang memberikan tekstur khas croissant. Bahan-bahan seperti tepung protein tinggi, ragi, dan mentega berkualitas tinggi menjadi kunci keberhasilan.
Di Prancis, croissant klasik biasanya disajikan tanpa isian, hanya dengan olesan selai atau mentega, sementara di negara lain, variasi isian seperti cokelat atau daging menjadi populer.