Muak Sama Kerjaan Tapi Tetap Ngerjain? Ini Penjelasan Psikologinya

Pernah merasa benar-benar jenuh, muak, bahkan ingin berhenti kerja, tapi tetap saja bangun pagi dan mengerjakan tugas kantor seperti biasa? Kondisi ini ternyata bukan hal aneh. Banyak orang yang meski tidak lagi punya gairah, tetap menunaikan kewajiban pekerjaannya. Kenapa bisa begitu?
Untuk menjawabnya, mari kita lihat dari sisi psikologi. Dr. Christina Maslach, profesor emeritus psikologi di University of California, Berkeley, yang dikenal luas dengan risetnya soal burnout, menjelaskan bahwa manusia bisa terus melakukan pekerjaan meskipun jenuh karena adanya faktor kewajiban, kebutuhan finansial, hingga tekanan sosial.
“Banyak orang tetap bertahan dalam pekerjaan yang membuat mereka lelah secara emosional karena merasa tidak punya pilihan lain, baik karena faktor ekonomi, rasa tanggung jawab, atau tekanan budaya kerja,” jelas Dr. Maslach.
Antara Muak dan Tanggung Jawab
Merasa muak bukan berarti seseorang bisa langsung meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak faktor eksternal yang membuat orang tetap bertahan. Misalnya, tagihan bulanan, cicilan rumah, atau kebutuhan anak. Otak secara otomatis menempatkan tanggung jawab itu sebagai prioritas lebih tinggi daripada keinginan pribadi.
Dalam psikologi, kondisi ini disebut cognitive dissonance yaitu ketika seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perasaannya, tapi tetap dijalani karena dianggap perlu.
Fenomena “Auto-Pilot Mode”
Ketika rasa muak sudah menumpuk, banyak orang menjalani pekerjaan dengan mode autopilot. Artinya, mereka melakukan tugas tanpa benar-benar melibatkan emosi. Seperti robot, hanya menyelesaikan kewajiban agar tidak kena masalah.
Dr. Maslach menyebut kondisi ini sebagai tanda awal burnout emosional, di mana seseorang merasa terpisah dari pekerjaannya tapi tetap menjalaninya karena kewajiban.
Tekanan Sosial dan Budaya Kerja
Di banyak tempat kerja, ada budaya yang menuntut karyawan untuk selalu “kuat” dan tidak boleh terlihat lemah. Bahkan ketika sudah muak, seseorang bisa merasa bersalah jika berhenti bekerja.
Ada juga faktor social comparison, di mana orang melihat teman-teman atau keluarga lain juga tetap bekerja keras, sehingga muncul perasaan “kalau orang lain bisa, saya juga harus bisa.”
Kebutuhan Finansial yang Jadi Penahan Terbesar
Tak bisa dipungkiri, alasan utama orang bertahan meski muak adalah uang. Gaji bulanan seringkali menjadi satu-satunya sumber penghasilan. Karena itu, meski perasaan sudah menolak, tubuh tetap bergerak untuk bekerja.
Menurut Dr. Maslach, inilah salah satu alasan mengapa burnout begitu berbahaya: karena orang cenderung mengabaikan tanda-tanda awalnya demi bertahan hidup.
Dampak Psikologis Jika Terus Dipaksa
Memaksakan diri untuk terus bekerja meski sudah muak bisa berdampak buruk:
- Stres kronis: perasaan mudah marah, gelisah, sulit tidur.
- Depersonalisasi: merasa terasing dari pekerjaan dan orang-orang sekitar.
- Penurunan motivasi: pekerjaan dilakukan sekadar menggugurkan kewajiban.
- Risiko burnout penuh: kondisi mental dan fisik bisa drop sekaligus.
Cara Menghadapinya dengan Sehat
Meski tidak mudah, ada beberapa langkah psikologis untuk menghadapi kondisi ini:
- Sadari perasaan: akui bahwa Anda sedang muak, jangan pura-pura baik-baik saja.
- Cari makna kecil: temukan hal positif, sekecil apapun, dalam pekerjaan Anda.
- Atur batasan: jangan bawa pekerjaan ke rumah, pisahkan waktu kerja dan istirahat.
- Bangun coping mechanism: olahraga, journaling, atau hobi untuk melepas stres.
- Evaluasi jangka panjang: jika rasa muak tak kunjung hilang, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan perubahan karier.
Dr. Maslach menegaskan bahwa penting untuk mengenali tanda-tanda burnout sejak awal.
“Semakin cepat kita menyadari bahwa kita sedang kelelahan emosional, semakin besar peluang untuk mencegah dampak buruk jangka panjang,” katanya.