Mengapa HP dan Laptop "Dibebaskan" Trump tapi Tetap Mahal di Indonesia?

Dinamika kebijakan tarif Trump, Dampak tarif Trump yang tinggi untuk China, Kabar baik untuk gadget, Efek domino ke Indonesia: kurs jadi masalah lebih nyata, Indonesia masih jadi pasar, bukan produsen

Hal ini dipicu oleh kebijakan yang dikenal sebagai "tarif Trump". Ini merupakan perintah eksekutif dari Presiden AS Donald Trump berupa persentase pajak yang dikenakan terhadap nilai suatu barang yang diimpor dari negara lain ke AS.

Ini menjadi kabar buruk bagi perusahaan elektronik global, mengingat China merupakan salah satu negara pusat yang memproduksi berbagai macam komponen gadget dan laptop serta merakit smartphone dan PC.

Meski ada pengecualian tarif impor untuk sejumlah produk elektronik dari China selama 90 hari ke depan, analis menilai hal tersebut belum menjamin stabilitas harga di pasar global, termasuk Indonesia.

Dinamika kebijakan tarif Trump

Dinamika kebijakan tarif Trump, Dampak tarif Trump yang tinggi untuk China, Kabar baik untuk gadget, Efek domino ke Indonesia: kurs jadi masalah lebih nyata, Indonesia masih jadi pasar, bukan produsen

Presiden Amerika Serikat Donald Trump membawa daftar negara yang dikenakan tarif impor dalam acara di Rose Garden bertajuk Make America Wealthy Again, di Gedung Putih, Washington DC, 2 April 2025.

Dalam dua pekan terakhir, kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi pusat perhatian karena menciptakan gejolak baru di pasar global. Kebijakan ini secara khusus menandai eskalasi terbaru dalam perang dagang antara AS dan China.

Saat itu, China dikenai tarif tambahan sebesar 34 persen, di luar pajak impor 20 persen yang telah lebih dulu diterapkan, sehingga total beban tarif terhadap barang impor dari China menjadi 54 persen.

Selain China, beberapa negara lain juga terkena imbas kebijakan ini. Misalnya, Korea Selatan dikenai tarif sebesar 25 persen, Jepang 24 persen, Vietnam 46 persen, India 27 persen, dan Indonesia 32 persen.

Pada 4 April, China justru memilih untuk membalas kebijakan Trump dengan memberlakukan tarif balasan sebesar 34 persen untuk produk impor asal AS, yang berlaku mulai 10 April.

Masih pada 9 April, Trump menyatakan bahwa tarif impor untuk sebagian besar negara akan ditangguhkan selama 90 hari. Selama masa tenggang tersebut, hanya tarif sebesar 10 persen yang akan dikenakan sebagai bentuk “tarif timbal balik”.

Namun, kebijakan ini tidak berlaku bagi China, yang tetap dikenai tarif penuh sebesar 145 persen. China pun kembali merespons dengan memberlakukan tarif impor balasan sebesar 125 persen untuk produk-produk asal AS.

Dampak tarif Trump yang tinggi untuk China

Tarif yang tinggi ini diyakini bakal berdampak pada perusahaan elektronik yang bergantung pada rantai pasokan global (terutama China), seperti Apple, misalnya.

Khusus iPhone, 85-90 persen produksinya mengandalkan fasilitas di China serta menggunakan komponen yang bersumber dari berbagai negara seperti kamera dari Jepang, prosesor dari Taiwan, layar dari Korea Selatan, dan memori dari Amerika Serikat.

Vendor-vendor tersebut memiliki beberapa fasilitas perakitan, di mana kebanyakan berada di China. Ada pula beberapa fasilitas yang tersebar di Brasil dan India.

Foxconn misalnya, diketahui memiliki fasilitas perakitan produk Apple di Kota Zhengzhou dan Shenzen yang sering disebut sebagai "Kota iPhone", dilansir KompasTekno dari SCW Mag.

Fasilitas itu mempekerjakan ratusan ribu pekerja yang mampu memproduksi jutaan perangkat dalam waktu singkat dan kualitas yang unggul dibanding negara lain.

Saat memasarkan produknya, Apple berarti harus membayar tarif impor hingga 145 persen saat membawa iPhone hasil rakitan di China ke kampung halamannya.

Ini akan menekan biaya produksi iPhone ke angka yang lebih tinggi, yang pada akhirnya juga diyakini akan membuat harga eceran iPhone lebih mahal di AS.

Dinamika kebijakan tarif Trump, Dampak tarif Trump yang tinggi untuk China, Kabar baik untuk gadget, Efek domino ke Indonesia: kurs jadi masalah lebih nyata, Indonesia masih jadi pasar, bukan produsen

Tarif baru Trump menargetkan biaya masuk sebesar 54 persen untuk berbagai produk impor dari China, termasuk iPhone yang sebagian besar diproduksi di sana.

Beberapa orang di kabinet Trump ini juga sempat mengusulkan agar Apple memproduksi iPhone langsung di dalam negeri (AS), agar perusahaan asal Cupertino ini tak perlu membayar tarif Trump.

Namun, analis dari perusahaan riset dan investasi Wedbush Securities, Dan Ives berpendapat, melakukan hal itu akan memakan waktu bertahun-tahun dan menyebabkan harga iPhone meroket.

Menurut perkiraan Wedbush, butuh waktu 3 tahun dan 30 miliar dollar AS untuk memindahkan bahkan hanya 10 persen dari rantai pasokan Apple dari Asia ke AS dengan gangguan besar dalam prosesnya.

"Kalau konsumen ingin iPhone seharga 3.500 dollar AS (sekitar Rp 56 juta), silakan buat di New Jersey atau Texas," tulis Ives dalam catatan investor pada tanggal 3 April.

Kabar baik untuk gadget

Kabar baiknya, per 11 April, Trump membebaskan barang-barang seperti smartphone, laptop, hard drive, monitor layar datar, beberapa chip, hingga mesin yang memproduksi semikonduktor, dibebaskan dari beban pajak impor, termasuk yang diimpor dari China.

Alhasil, ponsel pintar, laptop, dkk tidak akan dibebankan pajak 145 persen yang diberlakukan untuk negara China saat ini, ataupun tarif dasar 10 persen dari negara lain.

Pelonggaran ini tidak serta-merta menenangkan pasar. Setidaknya begitulah menurut analis Kiranjeet Kaur selaku Direktur Riset Asosiasi, Riset Perangkat di firma riset global International Data Corporation (IDC) untuk wilayah Asia-Pasifik

"Ada ketidakpastian besar tentang bagaimana tarif ini akan berubah dalam waktu dekat, dan bagaimana masing-masing negara meresponsnya," ujar Kaur melalui keterangan tertulis kepada KompasTekno.

Industri smartphone, semikonduktor, dan perangkat keras lainnya juga masih berada dalam radar investigasi keamanan nasional pemerintah AS. Artinya, meskipun ada jeda, industri-industri tersebut belum bisa bernapas lega

Efek domino ke Indonesia: kurs jadi masalah lebih nyata

Bagi Indonesia, dampak tarif tersebut tidak bersifat langsung. Sebagian besar perangkat elektronik di Indonesia, termasuk iPhone dan produk Apple lainnya, memang diimpor dari China dan Vietnam. Namun, pelemahan rupiah terhadap dollar AS menjadi faktor utama yang memperbesar potensi kenaikan harga.

"Indonesia mengimpor sebagian besar iPhone dari China, dan beberapa komponennya berasal dari AS. Jadi, walaupun tidak terkena tarif langsung, fluktuasi global dan kurs membuat harga bisa naik," jelas Kaur.

Namun, dalam lebih dari tiga bulan terakhir, rupiah terus melemah terhadap dollar AS, bahkan sempat menyentuh Rp 17.171 per Senin (7/4/2025) menurut kontrak rupiah NonDeliverable Forward (NDF) yang diperdagangkan di bursa offshore.

Pantauan KompasTekno, kini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS saat berita ini ditulis pada Selasa (15/4/2025) siang, adalah sekitar Rp 16.800 per 1 dollar AS.

Dengan tekanan dari sisi tarif dan nilai tukar, konsumen di Indonesia mungkin akan semakin berhati-hati dalam melakukan pembelian. Kaur memperkirakan bahwa banyak konsumen akan menunda pembelian atau berpindah ke perangkat yang lebih terjangkau jika harga naik signifikan.

Di sisi lain, perusahaan teknologi berada dalam posisi dilematis. Jika mereka tidak ingin kehilangan pasar, mereka mungkin harus menyerap sebagian beban biaya tambahan. Namun jika tidak, kenaikan harga tak terhindarkan.

Dalam kondisi seperti ini, IDC menyarankan konsumen yang berencana membeli perangkat elektronik untuk mempertimbangkan membeli lebih awal sebelum potensi kenaikan harga benar-benar terjadi.

"Probabilitas harga naik lebih besar daripada turun, kecuali perusahaan memilih untuk menyerap kenaikan biaya. Tapi itu tidak bisa dijamin," lanjut Kaur

KompasTekno melihat hal ini sudah terjadi pada Apple Fanboy di Indonesia baru-baru ini.

Pada saat penjualan perdana iPhone 16 series pada 11 April lalu, beberapa konsumen menyebut faktor ekonomi global sebagai pertimbangan utama untuk tetap membeli iPhone 16 series walau telat 7 bulan masuk ke Tanah Air.

Misalnya seperti Sheila, pengguna iPhone asal Gading Serpong, awalnya berniat menunggu iPhone 17. Namun, ia berubah pikiran karena adanya potensi kenaikan harga. “Jadi saya putuskan beli iPhone 16 Pro Max sekarang,” kata Sheila.

Desvia, pembeli iPhone 16 Pro, menambahkan bahwa ketidakpastian masuknya iPhone 17 ke Indonesia juga menjadi pertimbangannya. “iPhone 16 kemarin kan sempat keganjal aturan TKDN. Kita belum tahu juga nasib iPhone 17 nanti. Takutnya malah masuknya tahun depan lagi,” ujar dia.

Indonesia masih jadi pasar, bukan produsen

"Indonesia mengimpor sebagian besar ponsel dari China dan Vietnam. Ini termasuk perangkat CKD (completely knocked down) atau SKD (semi knocked down) kit yang dirakit di dalam negeri," kata Kaur.

Peluang mungkin muncul dari relokasi manufaktur global keluar dari China, tapi Indonesia masih harus bersaing dengan negara lain yang lebih siap dalam infrastruktur dan kebijakan industri.

“Sebagian besar smartphone yang dikonsumsi di Indonesia dirakit di dalam negeri, tapi belum ada kontribusi signifikan untuk ekspor,” jelas Kaur.