Pemerintahan Trump Bidik 10 Persen Saham Intel

Pemerintah Amerika Serikat (AS), melalui Presiden AS, Donald Trump mengatakan memiliki rencana membeli sebagian saham perusahaan semikonduktor dalam negeri, Intel.
Menurut laporan Bloomberg (via Reuters) yang mengutip "orang dalam" Gedung Putih dan sejumlah sumber industri, Trump mengincar sekitar 10 persen dari total keseluruhan saham Intel.
Kabarnya, pembelian saham ini tak akan menggunakan uang tunai, melainkan menggunakan sebagian atau semua dana hibah yang awalnya akan diberikan kepada Intel untuk "membantu" pertumbuhan bisnis perusahaan.
Sebelumnya pada September 2024 lalu, Intel mendapatkan dana hibah 3 miliar dollar AS (sekitar Rp 48,7 triliun) dari pemerintah AS dalam kebijakan Chips and Science Act for the Secure Enclave.
Dana hibah ini intinya ditujukan untuk meningkatkan fasilitas manufaktur Intel supaya bisa mendongkrak industri semikonduktor, kemajuan teknologi, serta pertumbuhan lapangan kerja dalam negeri.
Kemudian pada Desember 2024 lalu, dana hibah ini ditambah kira-kira 7,9 miliar dollar AS (sekitar Rp 128,4 triliun) lewat program anyar yang dinamai US Chips Act. Dengan begitu, total dana hibah Intel adalah 10,9 miliar dolar AS (sekitar Rp 177,2 triliun).
Nah, dana hibah inilah yang konon akan dikonversikan ke kepemilikan saham Intel. Kabarnya, sebagian atau total dana hibah ini setara dengan 10 persen saham perusahaan semikonduktor asal Santa Clara, California tersebut.
Menurut laporan TomsHardware, Intel sendiri saat ini baru mendapatkan sekitar 2,2 miliar dollar AS (sekitar Rp 35,7 triliun) dari total dana hibah yang ada dalam program US Chips Act.
Belum ada informasi apakah dana yang konon sudah cair ini akan turut dikonversikan ke pembelian 10 persen saham Intel oleh pemerintah AS tadi atau tidak.
Tak ada kejelasan juga apakah rencana Trump di atas memang benar merupakan rencana dia atau tidak. Pasalnya, Gedung Putih, begitu juga Intel belum memberikan pernyataan resmi terkait hal ini.
Namun yang jelas, jika rumor di atas akurat, maka AS akan dapat kepemilikan saham terbesar di Intel dengan 10 persen, sebagaimana dirangkum KompasTekno dari Reuters, Rabu (20/8/2025).
Sebab, menurut data MarketScreener, saham Intel terbesar saat ini dipegang oleh perusahaan investasi global asal AS, Vanguard Fiduciary Trust Company (Vanguard Group) dengan kepemilikan sekitar 8,9 persen.
Ambil saham lebih baik daripada jadi BUMN
Ilustrasi logo Intel
Nah, dukungan pemerintah AS ini tentunya bisa memberi "nafas" tambahan bagi Intel untuk menghidupkan kembali bisnis foundry yang terus merugi.
Namun, sejumlah analis menilai perusahaan chip itu tetap menghadapi persoalan serius, mulai dari lemahnya strategi dan roadmap produk, hingga potensi sulitnya menarik pelanggan baru ke pabrik anyar Intel.
“Fakta bahwa pemerintah AS turun tangan menyelamatkan Intel menunjukkan bahwa bisnis dan strategi Intel jauh lebih buruk dari apa yang dikhawatirkan siapapun," ujar Head of Equity Aptus Capital Advisor, David Wagner kepada Reuters.
Aptus Capital Advisor merupakan salah satu pemegang saham Intel dengan kepemilikan 80.581 lembar saham.
Wagner mengaku skeptis dengan keputusan pemerintah AS untuk membantu Intel. Namun, ia tetap percaya langkah ini tetap lebih baik dibanding Intel menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebab, jika jadi BUMN, maka segala inovasi dan strategi Intel berpotensi akan terhalang misi geopolitik AS.
Pandangan serupa juga datang dari Chief Market Strategist di CalBay Investments, Clark Geranen. Ia menyebut bahwa langkah AS ini bisa diiringi dengan isu politik dan konflik AS-China.
“Pemerintah AS sedang menjadikan China sebagai alasan untuk investasi dan mencoba memiliki kendali lebih atas sebagian produksi yang dilakukan perusahaan-perusahaan asal AS ini,” ucap Geranen.
Langkah AS ini, lanjut Geranen, mungkin cukup mengkhawatirkan apabila dilihat dari perspektif pasar bebas. Namun, ia menilai langkah AS ini masih tetap dapat berubah-ubah.
Sebab, semua langkah AS terhadap bisnis dalam negeri ini datang dari pemerintahan baru di bawah Trump.
Bisnis Intel di tangan Lip-Bu Tan
Ilustrasi logo Intel Core.
Intel sejatinya merupakan salah satu perusahaan global yang mampu mendominasi bisnis di Silicon Valley, khususnya di bidang manufaktur chip.
Namun, Intel kehilangan pamor dan kekuatan pasarnya akibat kompetisi pengembangan chip yang makin ketat, salah satunya dengan perusahaan semikonduktor TSMC.
Intel bahkan tidak turut berkecimpung di lini bisnis chip AI. Bisnis ini justru didominasi oleh Nvidia yang kini bersaing ketat dengan AMD.
Menurut berbagai laporan, saham Intel hampir stagnan di sepanjang tahun 2025, setelah merosot drastis lebih dari 60 persen di tahun lalu.
Nilai pasarnya juga mengalami penurunan senilai di bawah 100 miliar dollar AS, sedangkan nilai valuasi Nvidia kini mencapai 4 triliun dollar AS sebagai perusahaan paling bernilai di dunia.
Lalu, pada akhir 2024, Intel mencopot jabatan CEO sebelumnya, yaitu Pat Gelsinger.
Pemecatan itu dilakukan karena Intel disebut gagal memenuhi ambisinya dalam mengembangkan manufaktur dan teknologi AI.
Kegagalan tersebut juga menjadi penyebab batalnya kontrak karena pengeluarannya melebihi ekspektasi perusahaan.
Demi menghidupkan perusahaan, dewan direksi menunjuk mantan anggota dewan, Lip-Bu Tan sebagai CEO.
Tan diandalkan untuk kemampuannya membangkitkan perusahaan karena jejak kariernya sebagai investor lama di perusahaan teknologi.
Pria dengan gelar di bidang sains, teknik nuklir, dan administrasi bisnis ini pun resmi mengambil alih jabatan CEO Intel pada Maret 2025 dan berfokus pada efisiensi.
Upaya-upaya yang dilakukan mencakup PHK ribuan karyawan, membatalkan rencana pembangunan pabrik baru, hingga menjual anak perusahaan non-inti untuk mengembalikan fokus Intel pada rekayasa chip.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!