Sejarah Soto di Nusantara, dari Jejak Tionghoa hingga Jadi Ikon Kuliner Indonesia

soto, asal usul soto, sejarah soto, sejarah Soto di nusantara, sejarah Soto di indonesia, asal usul soto di indonesia, Sejarah Soto di Nusantara, dari Jejak Tionghoa hingga Jadi Ikon Kuliner Indonesia, Jejak Asal-Usul Kata Soto, Peran Jeroan dalam Resep Awal Soto, Soto Sebagai Makanan Rakyat, Soto Masuk ke Buku Masak dan Rijsttafel

Soto telah lama dikenal sebagai salah satu makanan rakyat paling populer di Indonesia. Hampir setiap daerah memiliki varian soto dengan ciri khas masing-masing. Namun, di balik popularitasnya, sejarah soto di Nusantara ternyata tidak sepenuhnya berasal dari Indonesia.

Menurut sejumlah catatan, soto merupakan hasil akulturasi budaya yang dipengaruhi kuliner Tionghoa sejak abad ke-19, khususnya di Semarang, Jawa Tengah.

Jejak Asal-Usul Kata Soto

Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996:488) menyebut bahwa kata “soto” merupakan derivasi dari kosakata Tionghoa cao du (atau chau tu), dalam bahasa Hokkian disebut chau to.

Pandangan ini diperkuat oleh Russel Jones dalam Loanwords in Indonesian-Malay (2008:295) yang menggunakan istilah sao du (atau sio to dalam Hokkian) sebagai asal-usul kata “soto”.

Aji “Chen” Bromokusumo, penulis Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (2013:72), menjelaskan makna kata tersebut:

  • cao berarti rumput,
  • shao berarti memasak,
  • du berarti perut atau jeroan sapi/babat.

Menurut Aji Chen, penyerapan istilah ini mulai populer di Semarang pada abad ke-19, ketika kota itu menjadi pusat pemukiman peranakan Tionghoa.

“Tidak heran jika para imigran Tionghoa turut andil memopulerkan makanan berkuah kaldu ini ke lingkungan masyarakat asli Jawa,” tulisnya.

Kata cao yang berarti “rumput” oleh orang Tionghoa sejatinya merujuk pada rempah-rempah Nusantara. Para imigran Tionghoa sejak abad ke-13 M sudah mengenal rempah-rempah Indonesia melalui jalur perdagangan.

Turner (2011:47) mencatat bahwa para pedagang Tiongkok selain Arab mulai ikut dalam perdagangan rempah-rempah. Kaldu berempah kemudian dianggap bermanfaat sebagai penghangat badan atau pemulih stamina, sehingga kuliner ini semakin disukai kalangan peranakan Tionghoa.

Peran Jeroan dalam Resep Awal Soto

soto, asal usul soto, sejarah soto, sejarah Soto di nusantara, sejarah Soto di indonesia, asal usul soto di indonesia, Sejarah Soto di Nusantara, dari Jejak Tionghoa hingga Jadi Ikon Kuliner Indonesia, Jejak Asal-Usul Kata Soto, Peran Jeroan dalam Resep Awal Soto, Soto Sebagai Makanan Rakyat, Soto Masuk ke Buku Masak dan Rijsttafel

Ilustrasi soto babat kuah bening yang menyegarkan.

C. L. van der Burg, dalam catatannya tahun 1904, menyebut bahwa orang Jawa kerap membuat kaldu “soto", menggunakan babat sapi yang direndam air panas. Namun, sebagai ahli kesehatan, ia menilai jeroan kurang layak dikonsumsi karena dianggap tidak higienis.

Pandangan inilah yang diduga menjadi alasan soto jarang muncul dalam buku-buku masak kolonial Belanda pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Sebagai bukti, Oost Indisch Kookboek (1870) yang memuat 570 resep tidak menyebutkan soto sama sekali. Begitu pula Groot Nieuw Volledig Indisch Kookboek (1925) karya Catenius-van der Meijden yang berisi 1.381 resep, juga tidak memuat soto.

Namun, van der Burg justru menulis, “Orang-orang Jawa asli sering membuat sejenis kaldu, soto namanya,” menandakan bahwa soto telah populer di kalangan masyarakat lokal meskipun diabaikan dalam catatan kolonial.

Soto Sebagai Makanan Rakyat

Pada masa Hindia Belanda, soto lebih dikenal sebagai makanan rakyat. Banyak pedagang keliling atau soto verkoper yang menjualnya dengan pikulan atau gerobak. Bahan yang dipakai umumnya babat sapi yang direndam air, menghasilkan kuah kaldu khas.

Meski dianggap kurang higienis oleh orang Eropa, masyarakat Jawa dan Madura justru menerima soto dengan antusias. Foto-foto kolonial bahkan menunjukkan pedagang dan pembeli soto berasal dari kalangan pribumi.

Hal ini menegaskan bahwa soto awalnya identik sebagai makanan rakyat (volksvoedsel), berbeda dengan citra makanan elite kolonial.

Soto Masuk ke Buku Masak dan Rijsttafel

soto, asal usul soto, sejarah soto, sejarah Soto di nusantara, sejarah Soto di indonesia, asal usul soto di indonesia, Sejarah Soto di Nusantara, dari Jejak Tionghoa hingga Jadi Ikon Kuliner Indonesia, Jejak Asal-Usul Kata Soto, Peran Jeroan dalam Resep Awal Soto, Soto Sebagai Makanan Rakyat, Soto Masuk ke Buku Masak dan Rijsttafel

Ilustrasi soto ambengan surabaya.

Perubahan citra soto terjadi ketika mulai masuk dalam buku masak awal abad ke-20. Salah satunya melalui E.W.K. Steinmetz dalam Onze Rijsttafel yang menuliskan resep “soto ajam”.

Steinmetz memodifikasi soto dengan mengganti jeroan sapi menjadi daging ayam, sehingga soto lebih bisa diterima kalangan Eropa. Soto kemudian masuk dalam hidangan rijsttafel, sajian khas masa kolonial berupa perpaduan kuliner Jawa, Belanda, dan Tionghoa.

Buku masak Masakan djeung Amis-Amis (1934, terbitan Balai Pustaka) juga memuat resep “soto hajam” atau soto ayam dalam dua variasi. Pada edisi cetakan keempat tahun 1950, buku ini bahkan sudah menandai soto sebagai “masakan urang” atau masakan Indonesia.

Sejarah soto di Nusantara kemudian berkembang dengan kekayaan variasi di tiap daerah. Daging ayam menjadi bahan paling populer karena mudah diternakkan. Daging sapi juga banyak digunakan, terutama di Jawa Timur, dengan varian soto sulung.

Di Makassar, coto dibuat dari daging sapi berkualitas, sementara di daerah lain terdapat soto Betawi, soto Madura, hingga soto Kudus yang masing-masing punya ciri khas.

Keragaman bumbu juga menunjukkan akulturasi budaya:

  • Pengaruh India tampak dari penggunaan bumbu kari pada soto Betawi, soto Madura, dan soto sulung.
  • Pengaruh Barat terlihat dari bahan seperti tomat, kentang, kol, dan perkedel.
  • Tradisi Jawa terasa dalam penggunaan emping, kerupuk rambak, koya, santan, tempe goreng, kunyit, hingga bawang goreng.

Awalnya dipopulerkan oleh pedagang keliling di Semarang, soto kini telah menjadi bagian dari identitas kuliner Indonesia. Meski sempat dipandang rendah oleh kolonial Belanda, soto justru berkembang menjadi hidangan rakyat yang diterima lintas kelas sosial.

Dari soto verkoper yang berkeliling kampung, soto kini bisa ditemukan di rumah makan modern, restoran besar, hingga menjadi salah satu ikon kuliner Indonesia yang mendunia.

Artikel ini ditulis berdasarkan kutipan dari buku “Soto: Nikmat dari Indonesia untuk Dunia” yang tersedia di aplikasi iPusnas (akses 21 Agustus 2025

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!