Tren De-Influencing Ajak Masyarakat Belanja Cerdas Bukan Ikut-Ikutan

Ilustrasi Stop Belanja Konsumtif, Apa Itu De-Influencing?, Faktor De-Influencing Populer, Dampak De-Influencing pada Perilaku Belanja, Kritik terhadap De-Influencing, Cara Menerapkan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Ilustrasi Stop Belanja Konsumtif

 Selama bertahun-tahun, media sosial dipenuhi dengan konten influencing, yakni ajakan membeli produk tertentu yang digadang-gadang akan membuat hidup lebih mudah, cantik, atau bergaya. Tren tersebut justru dapat menjadi pintu gerbang menjadi konsumtif sehingga muncul , gerakan yang kini mulai ramai dibicarka yaitu de-influencing.

De-influencing adalah tren di mana kreator konten justru mendorong audiens untuk tidak membeli produk-produk yang dianggap berlebihan, tidak berguna, atau sekadar hasil gimik pemasaran. Gerakan ini lahir dari kesadaran bahwa tidak semua tren harus diikuti, dan bahwa gaya hidup konsumtif sering kali hanya membuat dompet tipis tanpa benar-benar meningkatkan kualitas hidup.

Apa Itu De-Influencing?

Secara sederhana, de-influencing adalah kebalikan dari influencing. Jika influencer biasanya merekomendasikan produk agar dibeli maka de-influencer justru mengkritisi tren tersebut dan mengajak audiens berpikir dua kali sebelum mengeluarkan uang. 

Kaum de-influencer menyoroti sisi realistis, apakah barang ini benar-benar bermanfaat? Apakah kualitasnya sepadan dengan harga? Atau sekadar tren sesaat yang cepat dilupakan?

Gerakan ini tidak melarang konsumsi sama sekali, tetapi mengedepankan sikap kritis, bijak, dan sadar finansial. Alih-alih mendorong belanja impulsif, de-influencing menekankan pada mindful spending, yaitu membeli sesuai kebutuhan dan prioritas, bukan sekadar ikut-ikutan.

Faktor De-Influencing Populer

Ada beberapa faktor yang membuat tren de-influencing semakin mendapat perhatian:

1. Kesadaran Finansial Meningkat

Banyak orang, terutama generasi muda, mulai sadar bahwa mengikuti tren belanja viral hanya membuat pengeluaran membengkak. De-influencing hadir sebagai penyelamat dompet.

2. Kritik terhadap Konsumerisme

Konsumsi berlebihan tidak hanya berdampak pada finansial, tetapi juga lingkungan. Produk sekali pakai, fast fashion, hingga barang yang cepat rusak menjadi sorotan para de-influencer.

3. Kejenuhan pada Konten Promosi

 Audiens semakin jenuh dengan konten yang terasa hanya sebagai iklan terselubung. De-influencing memberikan “angin segar” dengan konten jujur dan apa adanya.

Dampak De-Influencing pada Perilaku Belanja

Gerakan de-influencing mulai mengubah pola pikir konsumen. Jika sebelumnya media sosial identik dengan belanja impulsif, kini muncul keseimbangan. Orang-orang lebih berani berkata “tidak” pada tren yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka.

Gerakan ini membawa sejumlah dampak positif bagi masyarakat. Salah satunya adalah membuat pengeluaran lebih terkendali, karena konsumen mulai belajar membedakan mana yang benar-benar menjadi kebutuhan dan mana yang hanya keinginan sesaat. 

Selain itu, tren ini juga meningkatkan kesadaran lingkungan, terutama dalam mengurangi limbah konsumtif seperti fast fashion yang sering kali mendorong orang untuk membeli tanpa perhitungan. Lebih jauh lagi, de-influencing mengajak masyarakat kembali menghargai nilai kualitas, bukan sekadar ikut-ikutan tren viral yang cepat berganti.

Kritik terhadap De-Influencing

Meski membawa pesan positif, de-influencing juga mendapat kritik. Beberapa pihak menilai gerakan ini hanya “tren baru” yang bisa kehilangan makna jika akhirnya menjadi konten sensasional semata. Ada juga yang berpendapat bahwa beberapa de-influencer tetap memonetisasi konten dengan merekomendasikan “alternatif produk” yang tetap mendorong konsumsi, hanya dengan label lebih murah atau lebih bermanfaat.

Namun demikian, tren ini tetap memberi kontribusi positif dengan mengajak audiens lebih kritis terhadap pola konsumsi dan promosi yang mereka hadapi setiap hari di dunia digital.

Cara Menerapkan dalam Kehidupan Sehari-Hari

Gerakan ini bisa Anda terapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan langkah sederhana:

  • Buat daftar kebutuhan sehingga tidak mudah tergoda iklan atau tren viral.
  • Terapkan jeda belanja, misalnya menunggu 24 jam sebelum memutuskan membeli barang non-esensial.
  • Cari ulasan independen bukan hanya dari influencer yang bekerja sama dengan brand.
  • Evaluasi barang yang sudah dimiliki karena sering kali Anda sudah punya alternatif yang sama fungsional.

De-influencing hadir sebagai gerakan perlawanan terhadap budaya konsumtif yang selama ini mendominasi media sosial. Alih-alih mendorong belanja impulsif, gerakan ini mengajak kita lebih bijak mengelola uang dan lebih sadar akan dampaknya pada diri sendiri maupun lingkungan. Dengan mengadopsi prinsip de-influencing, kita bisa tetap menikmati tren digital tanpa harus mengorbankan kesehatan finansial.