Berusia 100 Tahun, Batik Oey Soe Tjoen Ajak Masyarakat Napak Tilas Lewat Pameran di TIM

Resmi berusia 100 tahun, batik Oey Soe Tjoen (OST) mengajak masyarakat mengikuti napak tilas perjalanan mereka lewat sebuah pameran di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pameran bertajuk "Keteguhan Hati Merawat Warisan" berlangsung pada 25 Juli sampai 3 Agustus 2025, menghadirkan lebih dari 90 lembar kain batik mereka.
Oey Kiem Lian alias Widianti Widjaja, pemilik batik Oey Soe Tjoen generasi ketiga, ingin masyarakat awam lebih mengenal batik mereka, yang disebut sebagai batik tulis halus tertua di kalangan para kolektor.
Dengan lebih banyak masyarakat mengetahui tentang batik Oey Soe Tjoen, cerita tentang keindahan dan terciptanya batik ini bisa berlanjut ke generasi berikutnya.
“Warisan bukan sekadar benda, tetapi juga dapat berupa kisah perjuangan, pengabdian, cinta, dan kehormatan yang dapat menginspirasi generasi berikutnya,” ujar Widianti di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (16/7/2025).
Pameran ini akan memperlihatkan kain batik dari generasi pertama sampai generasi Widianti.
Karya dari generasi pertama dan kedua di lantai satu, sedangkan karya Widianti di lantai dua.
Para pengunjung juga bisa melihat alat produksi yang digunakan oleh Widianti beserta 12 karyawannya dalam menciptakan batik tulis.
Di sana, pengunjung juga bisa melihat silsilah keluarga Oey Soe Tjoen yang semuanya adalah pembatik.
Batik Oey Soe Tjoen adalah batik peranakan Tionghoa yang didirikan oleh Oey Soe Tjoen dan Kwee Tjoen Giok Nioberdiri di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Barat, pada tahun 1925.
Melalui batik, Oey Soe Tjoen merekam sejarah Indonesia lewat motif yang dipengaruhi oleh budaya Jawa, peranakan Tionghoa, Eropa, Asia, dan Arab.
Hal tersebut juga berkaitan dengan lokasi pesisir Jawa yang merupakan pusat perdagangan di masa lalu.
Pakem batik Oey Soe Tjoen tidak pernah berubah sejak didirikan oleh Oey Soe Tjoen.
Awalnya, corak batik Oey Soe Tjoen terinspirasi oleh corak buketan dengan bunga khas Belanda.
Selanjutnya, corak batik Oeoy Soe Tjoe beradaptasi dengan corak khas peranakan Tionghoa, yakni lotus, seruni, dan anggrek.

Batik Oey Soe Tjoen diproduksi pertama kali tahun 1925.
Pakem ini kemudian diturunkan kepada generasi kedua, yaitu Oey Kam Long alias Muljadi Widjaja dan Lie Tjien Nio alias Istijanti Setiono pada tahun 1976.
Mereka adalah orang tua Widianti.
Memasuki tahun 2002, Rumah Batik Oey Soe Tjoen diwariskan kepada Widianti, meskipun saat itu ia minim pengetahuan dan pengalaman membatik.
Namun, seiring berjalannya waktu, ia berhasil meneruskan batik Oey Soe Tjoen.
Bahkan, Widianti memperkaya motif klasik, tanpa meninggalkan pakem.
Batik Oey Soe Tjoen memiliki keunikan tersendiri, yang terletak pada teknik pembuatan yang ditulis di dua sisi kain.
Selain itu, coraknya juga kaya akan nilai budaya dan sejarah, serta memiliki komposisi gradasi warna yang rumit.
Proses pembuatan batik Oey Soe Tjoen cukup rumit, sampai mencakup 22 langkah.
Untuk mendapatkan hasil yang sempurna, rata-rata waktu pengerjaan setiap helai kain batik mencapai tiga tahun, bahkan lebih.
Peter Carey, sejarawan sekaligus penulis buku batik pesisir "Fabric of Enchantment: Batik from the North Coast of Java", menuturkan bahwa beragam keunggulan tersebut membuat batik Oey Soe Tjoen lebih dari sekadar kain.
Carey menganggap batik Oey Soe Tjoen sebagai sebuah mahakarya seni.
“Batik Oey Soe Tjoen mampu menceritakan sejarah budaya peranakan Tionghoa dan Pantai Utara Jawa yang berkembang pesat sebagai tempat pertemuan bagi para pelancong, pedagang, dan pemuka agama,” ucap dia.