Perjalanan Panjang Rumah Batik Oey Soe Tjoen yang Terancam Punah

- Rumah Batik Oey Soe Tjoen, juga dikenal sebagai Batik OST, merayakan hari jadinya yang ke-100 tahun.
Perjalanan panjang batik peranakan asal Kedungwuni, Pekalongan ini terancam punah di generasi ketiga.
Oey Kiem Lian alias Widianti Widjaja, pemilik batik OST generasi ketiga, mengungkapkan bahwa saat ini dirinya belum menemukan orang yang tepat untuk meneruskan usaha keluarganya.
Ia menceritakan, dua anak lelakinya tidak memiliki keterampilan untuk membatik. Begitu pula dengan para menantunya yang berasal dari luar pulau.
“Aku pernah ngomong ke anakku, ‘kamu bisa pegang batik OST kalau membuat batiknya minimal sama dengan yang aku buat’. Itu langsung dijawab ‘Enggak usah lama-lama. Aku enggak sanggup kalau harus persis seperti ini. Mendingan enggak’,” ungkap Widia di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Batik Oey Soe Tjoen diproduksi pertama kali tahun 1925.
Perjalanan Rumah Batik OST
Bermula dari keluarga pembatik
Generasi pertama batik OST adalah Oey Soe Tjoen dan istrinya Kwee Tjoen Giok Nio. Oey Soe Tjoen adalah anak kedua dari pengusaha batik cap dan batik tulis di Kedungwuni, yaitu Oey Kie Boen dan Sauw Giok Nio.
Sementara itu, Kwee Tjoen Giok Nio adalah anak keenam dari pembatik asal Batang bernama Kwee Gwan Siang dan Tan Swie Nio.
Sama-sama datang dari keluarga pembatik, keduanya dijodohkan. Setelah menikah, mereka diizinkan untuk melanjutkan usaha membatik dengan menuliskan nama sendiri.
“Sebelum menikah, mereka membuat batik, tapi nama yang dicantumkan adalah nama orangtua mereka. Saat mereka diperbolehkan mencantumkan nama, karena pada saat itu yang diperbolehkan adalah nama laki-laki, yang dicantumkan adalah ‘Oey Soe Tjoen’,” jelas Widia.
Pada tahun 1925, Oey Soe Tjoen dan Kwee Tjoen Giok Nio pun mendirikan Rumah Batik OST di sebuah rumah dengan pekarangan yang luas di Kedungwuni.
Salah satu kain batik tulis halus yang diproduksi oleh Rumah Batik Oey Soe Tjoen di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Barat.
Pada tahun 1976, Oey Soe Tjoen meninggal dunia karena serangan jantung. Rumah Batik OST pun diteruskan oleh generasi kedua, yaitu Oey Kam Long dan Lie Tjien Nio selaku orangtua Widia.
“Awal tahun 1980-an, batik printing mendominasi pasar karena murah, dan produksinya cepat. Banyak pebisnis batik tulis bangkrut karena ini,” ungkap Widia.
Beruntung, Rumah Batik OST bertahan lama, sampai diteruskan oleh generasi ketiga yaitu Widia karena sang ayah meninggal pada tahun 2002.
Mahir membatik karena terpaksa
Widia mengaku, ia tidak pernah belajar membatik. Bahkan, tertarik pun tidak. Pada tahun 2002, ia ditunjuk secara tidak langsung untuk meneruskan Rumah Batik OST.
“Diserahin megang batik itu sebulan setelah menikah, waktu umur 26 tahun. Papa meninggal, kami di rumah duka. Keluarga datang semua. Sepupu papa nanya, ‘Yang nerusin batik siapa?’,” kata dia.
Kala itu, tidak ada yang berbicara maupun mengangkat tangan. Namun, semua mata langsung tertuju pada Widia.
Salah satu kain batik tulis halus yang diproduksi oleh Rumah Batik Oey Soe Tjoen di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Barat.
“Saya terima batik OST ini bukan karena rasa suka. Saya memang tidak suka batik, tapi terpaksa menerima karena ini adalah salah satu cara untuk membalas budi orangtua. Jadi, kalau seandainya boleh milih, saya sih enggak mau kalau diputar kembali,” ungkap Widia.
Belajar secara otodidak
Sang ibunda masih menjadi pembatik. Namun, ia tidak bisa melanjutkannya lantaran bagian yang sering dikerjakan oleh mendiang ayahnya, yaitu pewarnaan, tidak ada yang melanjutkan.
Widia pun mempelajarinya dari karyawan. Sebab, bekal membatiknya hanya tertuang pada catatan milik sang ayah. Rumus pewarnaan yang tertera pun cukup ambigu.
Adapun, warna yang muncul dalam membantik berdasarkan jumlah kain dicelup. Untuk mencapai warna tertentu yang tertera dalam catatan tersebut, tidak ada keterangan tentang berapa kali kain harus dicelup.
“Kita enggak ngerti warna merahnya dia sepreti apa. Cuma ditulis, ini dicampur dengan ini jadinya merah bata, sedangkan merah bata menurut saya dengan orang lain bisa beda,” ungkap Widia.
Ketika belajar dari karyawan, Widia baru tahu berapa kali sebuah kain harus dicelup untuk menghasilkan warna yang diinginkan.
Seiring berjalannya waktu, Widia semakin mahir mewarnai batik. Ia mulai merambah ke bagian lain dengan belajar ke ibunya.
Widia menunjukkan kain batik dengan dua motif.
Rumah Batik OST terancam punah
Rumah Batik OST bisa dikatakan terancam punah. Sebab, saat ini tidak ada orang yang tepat untuk melanjutkan usaha keluarga ini ke generasi selanjutnya.
“Suami enggak bisa membatik, dan dia enggak terjun ke dunia batik. Dia punya toko sendiri, toko sembako. Anak dua, laki-laki semua, enggak bisa membatik,” kata Widia.
Meskipun anak-anaknya bisa membatik, generasi mereka alias generasi keempat hanya diperbolehkan memiliki satu pembatik. Ini merupakan aturan mutlak sejak generasi pertama.
“Dalam satu keluarga, di setiap generasi, cuma satu yang diperbolehkan. Alasannya untuk menghindari persaingan dan perpecahan keluarga,” ujar Widia.
Apabila anak-anaknya belajar membatik demi meneruskan Rumah Batik OST, hanya satu yang diizinkan. Sementara satunya lagi harus keluar dari dunia batik. Artinya, usaha apapun yang dijalani tidak boleh berkaitan dengan batik.
Terkait persiapan untuk regenerasi Rumah Batik OST ke generasi selanjutnya, Widia tidak menyiapkan apapun.
Ia menyerahkan seluruhnya ke semesta, sembari berusaha untuk menyelesaikan pesanan batik yang menumpuk sejak tahun 2015, ditambah dengan waiting list 150 orang, karena proses pembuatan satu kain batik mencapai lebih dari tiga tahun.
“Kalau memang semesta akan memilih, dia akan memilih. Dan yang dipilih siapa, saya enggak tahu. Kalau enggak ada yang dipilih, ya sudah. Berarti saya pegang janji saya, bahwa batik OST tidak hancur di tanganku. Tutup iya, tapi tidak hancur,” kata Widia.
“Komitmen saya, batik ini jangan sampai hancur di tanganku. Dia boleh berhenti, tapi tidak hancur. Kalau hancur, saya merusak. Kalau berhenti, karena memang takdir. Tidak ada yang meneruskan, tidak punya pembatik,” sambung dia.
Untuk meninggalkan jejak digital sekaligus mengajak masyarakat awam lebih mengenal Rumah Batik OST, Widia menggelar sebuah pameran di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 25 Juli-3 Agustus 2025.
Mengusung tema “Keteguhan Hati Merawat Warisan”, Widia mengajak masyarakat mengikuti napak tilas perjalanan Rumah Bati OST. Di pameran itu, ada lebih dari 90 lembar kain batik tulis alus.
Pengunjung juga bisa melihat kain batik dari generasi pertama dan kedua di lantai satu, dan generasi ketiga alias karya Widia di lantai dua.
Ada pula alat produksi yang digunakan oleh Widia dan 12 karyawannya dalam menciptakan batik tulis, serta silsilah keluarga Oey Soe Tjoen.