Tarsius, Primata Terkecil Dunia yang Terancam Punah: 13 Spesies Ada di Sulawesi

tarsius, Sulawesi, Tarsius, terancam punah, Tarsius, Primata Terkecil Dunia yang Terancam Punah: 13 Spesies Ada di Sulawesi, Ciri unik Tarsius, Ancaman deforestasi dan fragmentasi habitat, Penangkaran belum efektif, Perkembangan taksonomi dan tantangan baru, Perlindungan kawasan dan kebijakan spesifik

Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas yang kaya akan flora dan fauna unik.

Salah satu satwa endemik yang menjadi kebanggaan nasional adalah tarsius, primata terkecil di dunia yang sebagian besar hanya ditemukan di Indonesia.

Menurut Dr Abdul Haris Mustari, Pakar Ekologi Satwa Liar dari IPB University, Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati tarsius di dunia.

Ia menegaskan bahwa konservasi habitat alami menjadi kunci utama dalam menjaga kelestarian spesies langka ini.

“Dari lima belas spesies tarsius di dunia, empat belas berada di Indonesia. Sebanyak tiga belas di antaranya hidup di Sulawesi. Artinya, Sulawesi adalah pusat biodiversitas tarsius global,” kata Dr Haris yang juga dosen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB, dikutip dari laman IPB University, Rabu (9/7/2025).

Ciri unik Tarsius

Tarsius dikenal sebagai primata nokturnal atau aktif di malam hari. Tubuhnya mungil, hanya berbobot 50–100 gram.

Matanya sangat besar dan terlihat tidak proporsional dibandingkan tubuhnya. Tarsius juga memiliki kemampuan unik untuk memutar kepala hingga 180 derajat.

Secara perilaku, tarsius hidup dalam kelompok kecil yang monogami, biasanya terdiri dari sepasang induk dan anak-anak mereka. Habitat aslinya mencakup hutan sekunder, rumpun bambu, hingga kebun yang berdekatan dengan hutan.

Ancaman deforestasi dan fragmentasi habitat

Keberadaan tarsius kini menghadapi ancaman serius, terutama akibat aktivitas manusia. Deforestasi akibat tambang, kebakaran hutan, serta alih fungsi lahan menjadi penyebab utama menyusutnya habitat tarsius.

“Deforestasi berarti mengubah hutan menjadi bukan hutan. Ditambah lagi fragmentasi hutan karena pembangunan dan aktivitas manusia membuat habitat tarsius menjadi terpecah dan tidak utuh,” jelas Haris.

Ia juga menyoroti bahwa kebijakan konservasi di Indonesia masih terlalu umum, dan belum secara spesifik melindungi spesies-spesies kunci seperti tarsius.

Sebagian besar kebijakan masih berfokus pada pengelolaan ekosistem secara keseluruhan, bukan pada perlindungan spesies tertentu.

Penangkaran belum efektif

Upaya penangkaran tarsius yang pernah dilakukan, misalnya di Sulawesi Selatan, dinilai belum berhasil.

Menurut Haris, tarsius sangat sulit bertahan hidup di penangkaran karena memiliki kebiasaan makan yang rumit dan membutuhkan pengajaran bertahan hidup dari induknya secara langsung.

“Tarsius tidak cocok hidup di kandang. Mereka butuh lingkungan alami, makanannya variatif, dan perilaku bertahan hidupnya diajarkan langsung oleh induknya,” jelasnya.

Oleh karena itu, konservasi in-situ atau perlindungan langsung di habitat aslinya menjadi solusi yang paling efektif dan efisien.

“Kalau habitatnya dilindungi, bukan hanya tarsius yang selamat. Satwa endemik lain seperti anoa, babi rusa, dan monyet hitam Sulawesi juga ikut terlindungi. Termasuk keberagaman tumbuhan, sumber air, dan udara yang bersih,” imbuhnya.

Perkembangan taksonomi dan tantangan baru

Ilmu taksonomi yang terus berkembang memperlihatkan bahwa jumlah spesies tarsius kemungkinan akan terus bertambah. Hal ini bukan karena munculnya spesies baru dalam waktu singkat, melainkan karena adanya kemajuan dalam analisis DNA molekuler yang mampu membedakan populasi berdasarkan wilayah geografis.

“Dulu kita kira Sulawesi hanya punya satu jenis tarsius. Tapi sekarang terbukti berbeda-beda, tergantung wilayahnya—Sulawesi Utara, Tengah, Selatan, Tenggara, hingga Pulau Buton,” ujar Dr Haris.

Perlindungan kawasan dan kebijakan spesifik

Menurutnya, hal paling mendesak saat ini adalah memperkuat kawasan konservasi yang sudah ditetapkan pemerintah, serta membuat kebijakan yang lebih spesifik dan fokus pada satwa endemik seperti tarsius.

“Lebih baik lindungi rumahnya dulu sebelum memperbanyak populasinya. Kalau habitatnya rusak, hasil penangkaran mau dilepas ke mana?” katanya.

Dr Haris juga menegaskan bahwa predator alami seperti elang atau ular piton bukan ancaman utama bagi tarsius. Ancaman terbesar justru berasal dari manusia.

“Tambang, kebakaran, dan perkebunan sawit adalah faktor terbesar penyebab hilangnya habitat tarsius. Perkebunan sawit skala besar dengan sistem monokultur telah menggantikan hutan-hutan di Sulawesi,” ungkapnya.