Batik Oey Soe Tjoen Pernah Wajib Jadi Mahar Pernikahan Peranakan

Rumah Batik Oey Soe Tjoen atau Batik OST dikenal telah memproduksi batik tulis alus berkualitas tinggi sejak tahun 1925.
Bahkan, karya dari rumah batik yang berlokasi di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah, ini sempat diwajibkan sebagai mahar, atau pemberian dari calon pengantin laki-laki ke calon pengantin perempuan dalam budaya peranakan.
Oey Kiem Lian alias Widianti Widjaja, pemilik Batik Oey Soe Tjoen generasi ketiga, mengatakan, ada anggapan bahwa batiknya menandakan kemapanan calon pengantin laki-laki.
“Semakin banyak batik yang ada di nampan, secara tidak langsung dan tanpa kata-kata, calon pengantin pria menunjukkan kepada keluarga perempuan bahwa dia dari keluarga yang mapan,” tutur Widia di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Hal tersebut diketahui oleh Widia berdasarkan cerita turun-temurun dari generasi pertama alias pendiri Batik OST yakni Oey Soe Tjoen dan istrinya Kwee Tjoen Giok Nio.
Salah satu kain batik tulis halus yang diproduksi oleh Rumah Batik Oey Soe Tjoen di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Barat.
Disebutkan bahwa kualitas batik mereka dikagumi oleh banyak orang, terutama dari masyarakat peranakan, sampai mereka mewajibkannya untuk dijadikan sebagai mahar.
“Di kebudayaan peranakan, ada semacam memberikan baju kepada pasangannya. Kalau perempuan, akan diberikan oleh laki-laki. Pihak laki-laki menunjukkan kepada keluarga perempuan bahwa mereka mapan,” kata Widia.
Karena batik dari keluarganya bernilai tinggi, banyak yang menganggap bahwa memiliki Batik Oey Soe Tjoen dapat membantu meningkatkan derajat seseorang.
“Mempunyai Batik OST dianggap bahwa dia di atas rata-rata. Pihak laki-laki memberikan untuk menunjukkan bahwa mereka mapan dan bisa menghidupi calon pengantin wanita,” tutur dia.
Rumah Batik Oey Soe Tjoen
Apa keunikan Batik Oey Soe Tjoen?
Salah satu kain batik tulis halus yang diproduksi oleh Rumah Batik Oey Soe Tjoen di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Barat.
Widia mengatakan, batik yang dijual dengan harga Rp 40 jutaan ini diproduksi secara manual menggunakan tangan. Pengerjaannya juga bolak-balik pada satu kain.
Sistem pewarnaannya pun dengan cara dicelup, bukan dicolet atau dengan kuas. Apabila ada empat warna dalam satu kain, artinya kain mengalami empat kali perebusan.
Prosesnya yang panjang membuat proses pembuatan satu kain batik memakan waktu sampai sekitar tiga tahun, bahkan lebih.
“Ada satu kain yang pembuatannya sampai tujuh tahun karena sampai di tengah-tengah, ternyata kainnya sobek dan warnanya juga saya kurang cocok. Saya ulang dari pertama, padahal sudah masuk tahun ketiga,” ucap Widia.
Faktor lainnya yang membuat proses pembuatan batik mereka lama adalah musim. Memasuki musim hujan, mereka menghentikan produksi karena membutuhkan cahaya matahari untuk pewarnaan.
“Pada musim tanam dan panen, banyak pembatik yang suaminya petani. Mereka akan meninggalkan batiknya dan terjun ke sawah untuk membantu,” kata Widia.
Batik Oey Soe Tjoen terancam punah?
Oey Kiem Lian alias Widianti Widjaja selaku pemilik Rumah Batik Oey Soe Tjoen generasi ketiga dalam konferensi pers Pameran 100 Tahun Batik Oey Soe Tjoen di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (16/7/2025).
Rumah Batik Oey Soe Tjoen terancam punah. Sebab, tidak ada yang bisa melanjutkannya ke generasi selanjutnya.
Suami Widia tidak datang dari keluarga pembatik. Alhasil, ia tidak bisa membatik dan tidak berminat terjun ke dunia batik. Ia memiliki usaha sendiri berupa toko sembako.
Widia memiliki dua anak laki-laki. Mereka pun tidak bisa membatik.
“Aku pernah ngomong ke anakku, ‘Kamu bisa pegang batik OST kalau membuat batiknya minimal sama dengan yang aku buat’. Itu langsung dijawab ,‘Enggak usah lama-lama. Aku enggak sanggup kalau harus persis seperti ini. Mendingan enggak’,” terang Widia.
Hanya boleh ada satu pembatik di setiap generasi
Meskipun anak-anaknya bisa membatik, generasi mereka alias generasi keempat hanya diperbolehkan memiliki satu pembatik. Ini merupakan aturan mutlak sejak generasi pertama.
“Dalam satu keluarga, di setiap generasi, cuma satu yang diperbolehkan. Alasannya untuk menghindari persaingan dan perpecahan keluarga,” ujar Widia.
Apabila anak-anaknya belajar membatik demi meneruskan Rumah Batik Oey Soe Tjoen, hanya ada satu yang diizinkan.
Sementara itu, anak satunya lagi harus keluar dari dunia batik. Artinya, usaha apa pun yang dijalani tidak boleh berkaitan dengan batik.
Batik Oey Soe Tjoen diproduksi pertama kali tahun 1925.
Terkait persiapan untuk regenerasi Rumah Batik Oey Soe Tjoen ke generasi selanjutnya, Widia tidak menyiapkan apa pun.
Ia menyerahkan seluruhnya ke semesta, sembari berusaha untuk menyelesaikan pesanan batik yang menumpuk sejak tahun 2015, ditambah dengan waiting list 150 orang, karena proses pembuatan satu kain batik mencapai lebih dari tiga tahun.
“Kalau memang semesta akan memilih, dia akan memilih. Dan yang dipilih siapa, saya enggak tahu. Kalau enggak ada yang dipilih, ya sudah. Berarti saya pegang janji saya, bahwa batik OST tidak hancur di tanganku. Tutup iya, tapi tidak hancur,” jelas Widia.
“Komitmen saya, batik ini jangan sampai hancur di tanganku. Dia boleh berhenti, tapi tidak hancur. Kalau hancur, saya merusak. Kalau berhenti, karena memang takdir. Tidak ada yang meneruskan, tidak punya pembatik,” sambung dia.
Untuk meninggalkan jejak digital sekaligus mengajak masyarakat awam lebih mengenal Rumah Batik Oey Soe Tjoen, Widia menggelar sebuah pameran di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, dari Jumat (25/7/2025) sampai Minggu (3/8/2025).
Mengusung tema “Keteguhan Hati Merawat Warisan”, Widia mengajak masyarakat mengikuti tapak tilas perjalanan Rumah Batik Oey Soe Tjoen.
Di pameran itu, ada lebih dari 90 lembar kain batik tulis alus akan dipamerkan.
Pengunjung juga bisa melihat kain batik dari generasi pertama dan kedua di lantai satu, dan generasi ketiga alias karya Widia di lantai dua.
Ada pula alat produksi yang digunakan oleh Widia dan 12 karyawannya dalam menciptakan batik tulis, serta silsilah keluarga Oey Soe Tjoen.