Bertahan 100 Tahun, Rumah Batik Oey Soe Tjoen Ungkap Tantangan di Setiap Generasi

Mempertahankan sebuah usaha agar panjang umur tidaklah mudah. Rumah Batik Oey Soe Tjoen alias Batik OST, misalnya, menghadapi beragam tantangan di setiap generasi.
Oey Kiem Lian alias Widianti Widjaja, pemilik batik OST generasi ketiga, menerangkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh generasi pertama adalah masa penjajahan.
“Pada saat kakek, karena masa penjajahan, bahan baku dan pemasaran itu susah. Enggak semudah seperti sekarang, misalnya untuk mendapatkan bahan baku,” ungkap dia di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Tantangan generasi pertama
Penjarahan
Generasi pertama atau pendiri Batik OST adalah Oey Soe Tjoen dan istrinya Kwee Tjoen Giok Nio. Berasal dari keluarga pembatik, keduanya dijodohkan dan mendirikan Batik OST pada tahun 1925 di Kedungwuni, Pekalongan.
Keduanya pernah mengalami penjarahan pada tahun 1942. Penjarahan dipicu oleh tuduhan bahwa warga keturunan Tionghoa merupakan antek-antek Hindia Belanda.
Oey Soe Tjoen dan istrinya, Kwee Tjoen Giok (Kwee Nettie).
“Seluruh harta benda, termasuk piagam dan medali dari Gubernur A.L Tjarda, dijarah oleh massa,” kata Widia.
Adapun, Gubernur Jenderal terakhir Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, berkunjung ke Rumah Batik OST pada tahun 1939 untuk memberikan piagam dan medali sebagai bentuk apresiasi karena mengaguminya.
Penjarahan kedua terjadi pada tahun 1947, ketika Belanda mencoba mengambil alih kekuasaan, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
“Kakek dan nenek sempat menyimpan beberapa potong kain batik dan dikubur di halaman belakang rumah,” ucap Widia.
Sulit mendapatkan bahan baku
Pada tahun 1942, Oey Soe Tjoen dan istrinya mulai kesulitan mendapatkan bahan baku berupa kain mori dan obat warna.
Namun, untuk kain mori, mereka mengakalinya dengan barter kain batik siap jual dengan kain mori polos.
Salah satu kain batik tulis halus yang diproduksi oleh Rumah Batik Oey Soe Tjoen di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Barat.
Tantangan generasi kedua
Berhadapan dengan batik printing
Pada tahun 1976, Oey Soe Tjoen meninggal dunia karena serangan jantung. Rumah Batik OST pun diteruskan oleh generasi kedua, yaitu Oey Kam Long dan Lie Tjien Nio selaku orangtua Widia.
Baru berjalan beberapa tahun, mereka sudah diterpa dengan kehadiran batik printing yang langsung mendominasi pasar.
“Awal tahun 1980-an, batik printing mendominasi pasar karena murah, dan produksinya cepat. Banyak pebisnis batik tulis bangkrut karena ini,” ungkap Widia.
Motif dijiplak
Batik OST versi “kw” pun bermunculan. Motif batik Cuwiri, motif khas batik OST, dijiplak dan banyak digunakan sebagai motif batik printing.
Selang beberapa tahun, produksi batik motif Cuwiri akhirnya dihentikan. Sebab, pelanggan keberatan dengan popularitas motif tersebut di batik printing.
Salah satu kain batik tulis halus yang diproduksi oleh Rumah Batik Oey Soe Tjoen di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Barat.
“Hanya satu motif Cuwiri yang dipertahankan, yaitu motif Cuwiri Merak Ati, karena nilai historis dan eksistensinya di dunia internasional,” kata Widia.
Bom Bali
Pada tahun 2002, generasi kedua Rumah Batik OST kembali menghadapi tantangan. Tragedi Bom Bali membuat pembeli internasional membatalkan pesanan. Penjualan pun menurun.
Tantangan generasi ketiga
Pembatik semakin berkurang
Pada tahun yang sama, Oey Kam Long meninggal. Usaha dilanjutkan oleh Widia selaku generasi ketiga. Widia menuturkan, tantangan yang dihadapi adalah pembatik yang semakin berkurang.
Saat ini, karyawannya berjumlah 12. Jumlah tersebut sangat berbeda dibandingkan saat Batik OST dipegang oleh generasi kedua dan pertama yang karyawannya bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan.
Terkait apakah ia ingin menambah karyawan atau tidak, Widia mengaku bahwa ada banyak pembatik yang memang bisa membatik.
Oey Kiem Lian alias Widianti Widjaja selaku pemilik Rumah Batik Oey Soe Tjoen generasi ketiga dalam konferensi pers Pameran 100 Tahun Batik Oey Soe Tjoen di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (16/7/2025).
“Tapi, yang sesuai dengan standar Batik OS itu susah didapat. Dan biasanya, mereka yang muda-muda itu kurang telaten dan enggak sabar. Anak-anak dari pembatik yang saya pegagn sekarang, rata-rata tidak ada yang dikembangkan ke batik,” ucap dia.
Mereka lebih memilih menjahit di koneksi atau masuk ke pabrik celana jeans. Sebab, bekerja di dunia batik disebut “kuper” dan lingkungan tempat kerjanya tidak bisa untuk selfie kekinian.
“Kalau kerja di mal misalnya, mau selfie kan cantik. Kalau di dunia batik, kita sudah berkeringat dan segala macam. Tangan penuh dengan warna. Bagi mereka, itu kurang menarik,” ungkap Widia.
Terancam punah
Rumah Batik OST terancam punah. Sebab, tidak ada yang bisa melanjutkannya ke generasi selanjutnya.
Suami Widia tidak datang dari keluarga pembatik. Alhasil, ia tidak bisa membatik dan tidak berminat terjun ke dunia batik. Ia memiliki usaha sendiri berupa toko sembako.
Widia memiliki dua anak laki-laki. Mereka pun tidak bisa membatik.
“Aku pernah ngomong ke anakku, ‘kamu bisa pegang batik OST kalau membuat batiknya minimal sama dengan yang aku buat’. Itu langsung dijawab ‘Enggak usah lama-lama. Aku enggak sanggup kalau harus persis seperti ini. Mendingan enggak’,” ungkap dia.
Meskipun anak-anaknya bisa membatik, generasi mereka alias generasi keempat hanya diperbolehkan memiliki satu pembatik. Ini merupakan aturan mutlak sejak generasi pertama.
“Dalam satu keluarga, di setiap generasi, cuma satu yang diperbolehkan. Alasannya untuk menghindari persaingan dan perpecahan keluarga,” ujar Widia.
Salah satu kain batik tulis halus yang diproduksi oleh Rumah Batik Oey Soe Tjoen di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Barat.
Apabila anak-anaknya belajar membatik demi meneruskan Rumah Batik OST, hanya satu yang diizinkan. Sementara satunya lagi harus keluar dari dunia batik. Artinya, usaha apapun yang dijalani tidak boleh berkaitan dengan batik.
Terkait persiapan untuk regenerasi Rumah Batik OST ke generasi selanjutnya, Widia tidak menyiapkan apapun.
Ia menyerahkan seluruhnya ke semesta, sembari berusaha untuk menyelesaikan pesanan batik yang menumpuk sejak tahun 2015, ditambah dengan waiting list 150 orang, karena proses pembuatan satu kain batik mencapai lebih dari tiga tahun.
“Kalau memang semesta akan memilih, dia akan memilih. Dan yang dipilih siapa, saya enggak tahu. Kalau enggak ada yang dipilih, ya sudah. Berarti saya pegang janji saya, bahwa batik OST tidak hancur di tanganku. Tutup iya, tapi tidak hancur,” kata Widia.
“Komitmen saya, batik ini jangan sampai hancur di tanganku. Dia boleh berhenti, tapi tidak hancur. Kalau hancur, saya merusak. Kalau berhenti, karena memang takdir. Tidak ada yang meneruskan, tidak punya pembatik,” sambung dia.
Untuk meninggalkan jejak digital sekaligus mengajak masyarakat awam lebih mengenal Rumah Batik Oey Soe Tjoen, Widia menggelar sebuah pameran di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 25 Juli-3 Agustus 2025.
Mengusung tema “Keteguhan Hati Merawat Warisan”, Widia mengajak masyarakat mengikuti napak tilas perjalanan Rumah Batik OST. Di pameran itu, ada lebih dari 90 lembar kain batik tulis alus.
Pengunjung juga bisa melihat kain batik dari generasi pertama dan kedua di lantai satu, dan generasi ketiga alias karya Widia di lantai dua.
Ada pula alat produksi yang digunakan oleh Widia dan 12 karyawannya dalam menciptakan batik tulis, serta silsilah keluarga Oey Soe Tjoen.