Top 20+ Tahun Perjanjian Damai Aceh, SBY Ungkap Tantangan Terberat saat Itu

Presiden ke-6 RI sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Presiden ke-6 RI sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

 Dua dekade silam, dentuman senjata di Aceh akhirnya berganti menjadi suara rakyat di kotak suara. Momen bersejarah itu mengubah arah perjalanan bangsa dan menjadi titik balik perdamaian yang kini diakui dunia.

Peringatan 20 tahun Perjanjian Damai Aceh (yang digelar oleh ERIA School of Government (SoG) menghadirkan kembali sejumlah tokoh penting yang terlibat langsung dalam proses perdamaian. Salah satunya Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memimpin jalannya negosiasi hingga implementasi kesepakatan pada 15 Agustus 2005 silam.

Perjanjian Damai yang Jadi Sorotan Dunia

Perjanjian Damai Aceh atau Perjanjian Helsinki dianggap sebagai salah satu kesepakatan paling inklusif, transparan, sekaligus cepat dalam sejarah penyelesaian konflik bersenjata. Hanya dalam hitungan bulan setelah perjanjian diteken, pasukan ditarik, gencatan senjata dipantau, dan para mantan kombatan kembali ke tengah masyarakat.

Salah satu kunci suksesnya adalah pembentukan mekanisme bersama antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pengawasan Aceh Monitoring Mission (AMM). 

Pola ini menciptakan keseimbangan yang efektif. Sementara itu, keberadaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang melibatkan masyarakat Aceh secara langsung menumbuhkan rasa percaya, yang kemudian menjadi fondasi perdamaian jangka panjang.

SBY: Menjaga Gencatan Senjata adalah Tantangan Terbesar

SBY dalam refleksinya menekankan bahwa tantangan terbesar pascaperjanjian adalah memastikan semua pihak patuh pada gencatan senjata. 

“Kami membentuk mekanisme bersama yang melibatkan pemantau internasional dan menggabungkan koordinasi sipil serta militer. Keberhasilan ini membuktikan bahwa pelaksanaan yang dirancang dengan baik sama pentingnya dengan proses perundingan itu sendiri,” ucap SBY dalam keterangan tertulis, diterima di Jakarta Kamis, 21 Agustus 2025.

Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana transisi dari konflik bersenjata menuju demokrasi berjalan dengan penuh kehati-hatian. Dari “peluru” menuju “kotak suara,” rakyat Aceh akhirnya bisa menyalurkan aspirasi secara damai.

Perdamaian Aceh Jadi Inspirasi Dunia

Presiden ERIA, Tetsuya Watanabe, menegaskan bahwa pengalaman Aceh tidak hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi dunia internasional. 

“Kita tidak boleh lupa bahwa perdamaian adalah kunci untuk maju, berinovasi, dan meraih mimpi masa depan. Perdamaian Aceh telah menjadi fondasi bagi seluruh kawasan. Banyak negara bisa belajar bahwa menjaga perdamaian memerlukan komitmen semua pihak, jauh setelah tinta perjanjian mengering,” ujarnya.

Senada dengan itu, Dekan ERIA School of Government, Prof. Nobuhiro Aizawa, menilai pengalaman Aceh relevan untuk generasi mendatang. Menurutnya, perjalanan Aceh membuktikan bahwa perdamaian tetap mungkin dicapai meski puluhan tahun dihantui konflik dan bencana. 

“Ada cara untuk mengubah kebencian menjadi kepercayaan, dan hal ini telah dibuktikan oleh para pemimpin besar serta masyarakat Indonesia dan Aceh. Namun, pekerjaan kita belum selesai. Pertanyaannya, bagaimana perdamaian ini bisa terus terjaga hingga 20 tahun ke depan?” katanya.

Prof. Aizawa menambahkan bahwa pengalaman Aceh harus dihargai dan dipelajari secara serius, agar bisa menjadi bekal dalam menjaga perdamaian di masa depan.