Usulan Rumah Subsidi Minimalis: Solusi atau Tantangan bagi Generasi Muda?

— Usulan pemerintah mengenai pengaturan baru untuk rumah subsidi, dengan ukuran bangunan inti sebesar 18 meter persegi di atas lahan seluas 25 meter persegi, telah memicu reaksi beragam dari berbagai pihak di sektor perumahan.
Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah positif untuk memenuhi kebutuhan hunian generasi muda yang tinggal di kawasan perkotaan.
Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran mengenai standar kelayakan hunian yang ditawarkan.
Rencana tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Sri Haryati, setelah pertemuan dengan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan beberapa pengembang di Jakarta pada Rabu (11/6/2025).
Ia menekankan pentingnya melakukan kajian mendalam sebelum rencana ini diimplementasikan dalam bentuk regulasi.
"Kami tidak bisa terburu-buru; banyak aspek regulasi yang perlu dipertimbangkan," tambahnya.
Sri juga menegaskan bahwa desain rumah subsidi minimalis ini akan tetap merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-X/2012, yang telah mencabut ketentuan minimal 36 meter persegi untuk luas bangunan rumah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011.
Keputusan ini dianggap menghambat pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Dengan demikian, hal ini memberikan kesempatan untuk merancang rumah subsidi yang lebih terjangkau, namun tetap memenuhi syarat kelayakan hunian," ucapnya.
Penjelasan James Riady Terkait Usulan Rumah Subsidi Minimalis
Isu mengenai CEO Lippo Group, James Riady, yang dikabarkan mengusulkan perubahan batas minimal untuk rumah subsidi juga mencuat.
Namun, James dengan tegas membantah tuduhan tersebut.
"Itu bukan saya, bukan saya yang mengusulkan," ungkapnya saat ditemui di Gedung Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, Jakarta Pusat, pada Rabu (11/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa justru pemerintah yang meminta adanya opsi rumah subsidi dengan ukuran lebih kecil untuk menciptakan hunian yang lebih terjangkau.
"Itu adalah permintaan dari kementerian untuk menyediakan pilihan yang lebih terjangkau," katanya.
Saran BP Tapera Mengenai Luas Lahan Minimal
Sementara itu, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) memiliki pandangan berbeda.
Mereka merekomendasikan agar luas lahan minimal untuk rumah subsidi tetap dipertahankan pada 30 meter persegi.
Heru berpendapat bahwa rumah dengan tipe 18/30 sudah memenuhi standar teknis bagi MBR, terutama bagi mereka yang belum berkeluarga.
Namun, ia juga menekankan pentingnya mempertimbangkan ruang untuk pertumbuhan di masa depan.
"Skema rumah kecil yang berada di lokasi strategis bisa menjadi solusi efektif bagi generasi muda yang mencari hunian pertama mereka di kota," tambahnya.
Sri Haryati melengkapi penjelasan tersebut dengan menekankan bahwa skema rumah minimalis di perkotaan merupakan bagian dari inovasi yang diharapkan dapat memberikan alternatif bagi MBR.
"Dengan adanya opsi ini, masyarakat dapat memilih antara rumah subsidi standar di pinggiran atau rumah kecil yang dekat dengan pusat aktivitas. Kami berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan hunian yang layak dengan cara yang adil, cepat, dan realistis," tegasnya.
Inisiatif ini juga merupakan upaya untuk mengurangi backlog kebutuhan rumah nasional yang saat ini mencapai 9,9 juta unit, dengan sebagian besar berada di daerah perkotaan.