Alasan Robert Prevost Pilih Nama Paus Leo XIV, Singgung soal AI

Robert Francis Prevost resmi dinobatkan menjadi pemimpin baru Gereja Katolik dunia pada Kamis (8/5/2025) waktu Vatikan. Dalam sejarah Gereja Katolik, dia merupakan paus ke-267.
Robert Francis Prevost memilih "Paus Leo XIV" sebagai nama kepausannya. Dalam pidato perdananya di hadapan Dewan Kardinal, dia menjelaskan alasan di balik penamaan tersebut.
Paus Leo XIV mengatakan bahwa nama kepausannya dipilih sebagai bentuk penghormatan kepada Paus Leo XIII yang memimpin gereja pada awal revolusi industri.
"Ada berbagai alasan, tetapi yang utama karena Paus Leo XIII dalam Ensiklik (edaran) Rerum Novarum membahas masalah sosial dalam konteks revolusi industri pertama," kata Paus Leo XIV.
"Di zaman sekarang, ajaran sosial Gereja dibutuhkan sebagai respons terhadap revolusi industri lainnya dan pekermbangan di bidang kecerdasan buatan yang menimbulkan tantangan baru bagi pembelaan martabat manusia, keadilan dan tenaga kerja," jelas paus pertama asal Amerika Serikat itu.
Menurut dokumen yang diterbitkan Vatikan pada Januari 2025 lalu, Gereja merefleksikan AI, memaparkan pandangan Gereja terkait AI dengan hal/produk sesungguhnya, batasannya, serta etika dalam mengembangkan dan menggunakan AI.
Dokumen itu juga menegaskan peringatan Paus Fransiskus tentang pontensi AI dalam menciptakan "narasi yang sebagian atau sepenuhnya salah, yang dipercaya dan disiarkan seolah-olah itu benar."
Dalam pidatonya, Paus Leo XIV juga menyampaikan komitmen untuk melanjutkan warisan pendahulunya, Paus Fransiskus, terutama dalam hal pelayanan sosial dan kesederhanaan.
"Marilah kita ambil warisan yang berharga ini dan teruskan perjalanan, terinspirasi oleh harapan yang sama yang lahir dari iman," ujar Paus Leo XIV, sebagaimana tertulis dalam transkrip pidatonya yang dirilis oleh Vatikan.
Sebelumnya, dalam homili pertamanya pada Jumat (9/5/2025), Paus Leo XIV menyerukan agar Gereja aktif memulihkan iman umat. Ia menyoroti bahwa krisis iman kerap berkaitan dengan berbagai persoalan sosial.
"Turunnya iman sering kali berjalan seiring dengan hilangnya makna hidup, pengabaian belas kasihan, pelanggaran martabat manusia yang mengerikan, krisis keluarga, dan begitu banyak luka lain yang menimpa masyarakat kita," ungkapnya.