Tersesat Dalam Sentuhan Digital: Han, Lanier, dan Krisis Kemanusiaan Baru

media sosial, kecanduan media digital, Tersesat Dalam Sentuhan Digital: Han, Lanier, dan Krisis Kemanusiaan Baru

BAYANGKAN seorang remaja berusia 17 tahun, duduk di sudut kamarnya, ponsel di tangan, layar menyala seperti jendela ke semesta maya—tapi juga seperti jeruji tak kasat mata.

Ia tersenyum pada kamera, tetapi tidak pada ibunya. Ia rajin membalas komentar, tapi jarang menjawab panggilan makan malam dari keluarganya.

Dalam sehari, ia bisa tertawa, marah, iri, dan puas. Semuanya hanya dengan menggerakkan ibu jari. Saat layar dimatikan, ia merasa kosong, tak berarti, tak diinginkan. Fenomena ini bukan sekadar anekdot.

Survei yang kami, Sharing Vision, laksanakan pada Juni tahun 2025 mengungkapkan, sebanyak 72 persen Gen Z, 40 persen Gen Y, dan 25 persen Gen X di Indonesia mengaku alami gejala adiksi internet mild, moderate, dan severe.

Sekitar 40 persen merasa gelisah, bahkan tak berdaya ketika terputus dari gawai.

Lebih dari sekadar teknologi yang canggih, kita sedang berhadapan dengan ruang baru yang menyergap hidup! Sudah bukan lagi hanya mengisi waktu.

Data UNICEF Indonesia (2024) memperkuat kenyataan ini. Satu dari lima puluh dalam kelompok usia 15-24 tahun di Indonesia mengalami depresi berat.

Sebanyak 61 persen dari mereka yang depresi mempertimbangkan bunuh diri dalam periode satu bulan sebelum studi dilaksanakan.

Penyebab utamanya? Paparan digital yang tak terbendung, tekanan media sosial, dan kehilangan ruang untuk menjadi manusia.

Suara Kritis dari Korea yang membongkar jeruji transparan

Chul Han, filsuf kelahiran Seoul tahun 1959, menempuh pendidikan S1 dan S2 dalam bidang metalurgi di Korea Selatan.

Seperti besi yang ditempa, pikirannya terus mencari bentuk lebih mendalam. Ia kemudian memutuskan hijrah ke Jerman, banting setir mempelajari filsafat. Di Jerman, ia belajar filsafat dan teologi di Universitas Freiburg dan Basel.

"Orang bilang saya gila," katanya suatu hari. "Tapi justru di dunia yang terlalu cepat ini, kita butuh berhenti sejenak dan bertanya: Untuk apa semua ini?"

Ia menyelesaikan disertasi doktoralnya tentang Heidegger di Universitas Freiburg, dan kini menjadi dosen tetap di Universität der Künste, Berlin.

Pemikiran Han bagai pisau bedah yang membedah zaman kita. Dalam bukunya, The Burnout Society (2010), ia menggambarkan kita seperti hamster di roda. Lari terus, tapi tak pernah sampai ke mana-mana.

Dulu, tekanan datang dari luar: "Kamu harus kerja keras!" Sekarang, kita menghukum diri sendiri: "Aku bisa lebih! Aku harus eksis!"

Hasilnya? Generasi yang bangun pagi langsung cek notifikasi, makan siang sambil live IG, dan tidur larut karena takut ketinggalan tren.

Lalu ada The Transparency Society (2012), di mana Han mengkritik obsesi kita terhadap keterbukaan digital.

Bayangkan seorang remaja 17 tahun yang membagikan setiap detik hidupnya: bangun tidur di story, sarapan difoto, bad mood di-tweet.

Han bertanya: "Apa yang tersisa untuk dirinya sendiri?" Dunia kini seperti rumah kaca, semua transparan, tapi justru kehilangan kehangatan.

Yang paling mengerikan mungkin Psychopolitics (2017). Apa itu psychopolitics? Tidak lain adalah kontrol psikologis melalui algoritma yang tak tampak berbahaya.

Pernahkah Anda baru terpikir ingin beli sepatu, lalu tiba-tiba iklannya muncul? Atau sedang sedih, lalu feed media sosial dipenuhi konten motivasi?

Han memperingatkan: "Ini bukan kebetulan. Ini penjara modern di mana kita dengan sukarela memasukkan data diri."

Han punya banyak metafora indah untuk menggambarkan kondisi kita. Kita seperti batu karang yang terkikis pelan ombak data.

Seperti hamster yang lari di roda produktivitas tanpa tujuan. Atau seperti kupu-kupu malam yang terbang mendekati cahaya layar sampai kelelahan.

Lalu, apa resep Han untuk zaman edan ini? Dalam wawancara dengan Der Spiegel, ia pernah berujar: "Matikan notifikasi. Nikmati kopi tanpa difoto. Baca buku sampai habis, bukan sekadar highlight."

Kedengarannya sederhana, tapi coba lakukan... ini lebih sulit daripada diet!

Han menyebut generasi digital ini sebagai batu karang yang digerus pelan-pelan oleh ombak data. Mereka bukan lagi pembentuk dunia, tapi bentukan dari dunia yang tak bisa disentuh, tapi bisa membuat luka.

Sentuhan kemanusiaan dari dunia mesin

Di kutub berbeda, tapi seirama dalam keresahan, hadir Jaron Lanier. Lahir tahun 1960, di New York.

Lanier adalah salah satu bapak virtual reality. Ironisnya, justru ia yang paling keras memperingatkan kita tentang bahaya kehilangan realitas.

Ia belajar ilmu komputer dan matematika di New Mexico State University, karenanya dikenal luas Bapak virtual reality. Dan pada saat yang sama, ia menjadi kritikus utama media sosial.

"Teknologi itu seperti pisau," katanya suatu hari.

"Bisa untuk memotong sayuran, bisa juga untuk melukai. Tapi bedanya, pisau digital ini bisa membentuk kembali pikiran kita tanpa kita sadari."

Dalam bukunya, Ten Arguments for Deleting Your Social Media Accounts Right Now, Lanier bercerita seperti seorang teman lama yang bijak. Ia tak menyuruh kita membenci teknologi, tapi mengajak kita lebih sadar.

"Pernahkah kalian merasa bahwa setelah menghabiskan waktu di media sosial, bukannya terhubung, malah merasa lebih kosong?" tanyanya,

Itulah yang ia sebut "efek bayangan", kita mengira sedang bersosialisasi, padahal hanya menatap pantulan diri sendiri.

Lanier menceritakan pengalamannya sendiri. Suatu hari, ia menyadari telah menghabiskan 30 menit hanya untuk memilih filter yang tepat untuk foto makan malamnya.

"Apa benar ini yang ingin kita lakukan dengan waktu hidup kita?"

Ia menawarkan cara-cara sederhana untuk tetap manusiawi di dunia digital:

  • Coba satu hari tanpa like, karena itu seperti tepuk tangan palsu. Kita mulai hidup untuk menyenangkan algoritma, bukan diri sendiri.
  • Bicaralah dengan tukang kebun. Percakapan nyata dengan orang asing sering lebih bermakna dari ribuan komentar di medsos.
  • Tulis surat tangan. Tidak untuk dikirim, tapi untuk mengingat betapa indahnya guratan tinta yang nyata di atas kertas.

"Kita sedang melupakan seni menjadi manusia," katanya. "Kita jadi lebih peduli pada penampilan di layar daripada bau hujan di tanah, lebih khawatir pada jumlah follower daripada suara teman yang sedang sedih."

Lanier bukan anti-teknologi. Ia masih bekerja di Microsoft Research. Ia mengingatkan kita, "Ketika kau mematikan ponsel dan memandang mata anakmu, ketika kau merasakan hangatnya cahaya matahari tanpa buru-buru memotretnya —di saat itulah kau benar-benar hidup."

Mungkin itulah pelajaran terbesarnya: teknologi terbaik adalah yang membantu kita melupakan teknologi itu sendiri, dan kembali menjadi manusia.

Dengan segala ketidaksempurnaan, kehangatan, dan keajaiban kontak fisik yang tak tergantikan emoji apa pun.

"Kita bukan data. Kita adalah cerita yang ditulis oleh tatapan mata, tawa yang pecah, dan pelukan yang tak sempat diunggah."

Kita hidup dalam zaman yang menyamarkan jeruji sebagai kebebasan, dan memoles keterasingan sebagai koneksi.

Dalam gelombang data yang tak kunjung reda, Han dan Lanier mengajak kita menyelam. Bukan untuk tenggelam, tapi untuk menemukan dasar dari keberadaan.

Han menyalakan obor kontemplasi dalam lorong refleksi, sedangkan Lanier membangun jembatan keluar dari labirin digital. Keduanya mengingatkan: hidup bukanlah konten. Dan eksistensi diri bukanlah statistik.

Mungkin saatnya kita meletakkan ponsel, menutup laptop, dan keluar menemui angin sore. Mungkin di sela-sela percakapan dengan ibu, di sela tawa yang tidak diunggah, atau dalam diam di bawah pohon tua, kita bisa kembali menjadi manusia.

Manusia yang tak bisa dipetakan oleh algoritma. Manusia yang menangis dan tertawa bukan untuk dilihat, tapi untuk merasakan.

Sebab seperti kata Han, “Kebebasan sejati dimulai ketika kita berani mematikan notifikasi.” Dan seperti yang disiratkan Lanier, “Kita bukan kode. Kita adalah kisah.”