Kelaparan Massal Melanda Gaza: Anak-Anak Tewas, Bantuan Dihancurkan, Dunia Terdiam

Lebih dari dua juta warga di Jalur Gaza kini menghadapi kelaparan akut di tengah konflik yang tak kunjung reda.
Kondisi ini kian memburuk seiring runtuhnya sistem kesehatan, kelangkaan bahan pangan, dan terbatasnya akses bantuan kemanusiaan.
Anak-anak menjadi korban paling rentan dalam krisis ini.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan Gaza, hingga saat ini setidaknya 122 warga telah meninggal dunia akibat kelaparan, mayoritas di antaranya adalah anak-anak.
Angka malnutrisi akut berat pada anak-anak mencapai 11,5 persen—angka yang menurut standar internasional sudah berada pada tingkat yang sangat kritis.
Warga Gaza Bertahan Hidup dengan Rumput dan Pakan Ternak
Laporan dari berbagai wilayah di Gaza menggambarkan situasi yang memilukan.
Banyak warga hanya bisa mengonsumsi rumput, pakan ternak, hingga kulit jagung kering untuk bertahan hidup.
Rumah sakit dan tempat pengungsian kewalahan menangani pasien yang mengalami malnutrisi parah.
Dokter di lapangan mengungkapkan lonjakan kasus kematian akibat kelaparan terutama menimpa anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis.
Di tengah minimnya pasokan dan fasilitas, mereka berjuang menyelamatkan nyawa dengan sumber daya yang hampir tidak ada.
Ribuan Ton Bantuan Tidak Pernah Sampai
Ironisnya, di tengah krisis ini, lebih dari 1.000 truk bantuan berisi makanan dan obat-obatan dilaporkan dihancurkan oleh militer Israel.
Bantuan itu semula ditujukan untuk warga Gaza yang sudah lebih dari 21 bulan hidup dalam pengepungan.
“Jika tidak segera diangkut ke Gaza, kami terpaksa menghancurkannya,” kata sumber militer Israel sebagaimana dilansir KAN. Pemerintah Israel berdalih bahwa kerusakan bantuan disebabkan oleh kegagalan distribusi di wilayah Gaza.
Namun, banyak pihak menilai tindakan itu sebagai penghalangan sistematis terhadap bantuan kemanusiaan, mengingat blokade Israel terhadap Gaza telah berlangsung selama hampir dua dekade dan diperketat sejak Oktober 2023.
PBB: Ini Adalah Hukuman Kolektif dan Genosida
Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Michael Fakhri, mengecam keras tindakan Israel dan menyerukan sanksi internasional.
“Kita membutuhkan sanksi sekarang. Kecaman saja tidak cukup. Israel menghalangi masuknya bantuan yang menumpuk di perbatasan di hadapan dunia,” tegasnya.
Ia menyebut bahwa krisis kelaparan di Gaza adalah bentuk hukuman kolektif yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari tindakan genosida.
Fakhri juga mendesak dunia Arab dan masyarakat internasional untuk melakukan tekanan nyata guna membuka jalur bantuan.
Bantuan Udara Tidak Efektif, Warga Tetap Terancam
Sebagai respons atas krisis ini, beberapa negara mulai mengirim bantuan melalui jalur udara.
Namun, langkah tersebut dinilai tidak memadai. Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, menyebut pengiriman bantuan melalui udara sebagai solusi yang tidak efektif dan berisiko tinggi.
“Bantuan udara itu mahal, tidak efisien, dan bahkan bisa membunuh warga sipil yang kelaparan,” katanya.
Jeda Taktis Tak Menjamin Keselamatan
Mesir dilaporkan mulai mengirimkan truk bantuan ke Gaza melalui perlintasan Rafah setelah pengumuman "jeda taktis" oleh militer Israel.
Namun, jeda tersebut terbatas pada wilayah tertentu dan hanya berlangsung dari pukul 10.00 hingga 20.00 waktu setempat.
Meski jalur aman dibuka untuk pergerakan bantuan, situasi di lapangan tetap tidak aman.
Pada Sabtu (26/7/2025), lebih dari 50 warga Palestina tewas dalam serangan pasukan Israel, sebagian di antaranya saat sedang menunggu bantuan.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul dan Truk Bantuan Kemanusiaan Mulai Masuk Gaza di Tengah Jeda Taktis Israel.