Pasang Patok di Lahan Sendiri, Dua Orang Didakwa Jaksa

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang kasus pemasangan patok di lahan tambang nikel di Halmahera Timur, Maluku Utara.
Usai dakwaan dibacakan jaksa, pengacara dua terdakwa, Otto Cornelis Kaligis menilai kasus ini sarat rekayasa. “Ada mafia tambang yang bermain. Saya minta hakim membebaskan dua klien saya,” kata Otto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dua terdakwa, Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang, karyawan PT Wana Kencana Mineral atau WKM, didakwa jaksa atas laporan PT Position ke Bareskrim Mabes Polri. Perusahaan ini mengklaim patok tersebut menghalangi pekerjaan pertambangan mereka di Halmahera Timur.
Secara fakta, patok, yang jadi dasar laporan dan dakwaan jaksa berada di wilayah IUP PT WKM di Desa Ekor dan Sagea, Kecamatan Wasilo Selatan, dan Weda Utara, Halmahera Timur, Maluku Utatra. Sehingga justru PT Position yang melakukan pekerjaan ilegal pertambangan di wilayah IUP perusahaan lain. Maka, pengadilan yang terjadi karena ada rekayasa kasus. Otto menilai ada mafia peradilan yang membuat dua kliennya jadi terdakwa di Jakarta.
Menurut Otto, aroma kriminalisasi mulai tercium sejak kedua kliennya itu diperiksa penyidik Bareskrim Polri. Ia menyebut dua kliennya dituduh telah memasang patok di area IUP milik perusahaannya sendiri, PT. WKM.
“Tujuan pemasangan patok untuk mengamankan lokasinya, dari penyerobotan lahan oleh PT. Position, yang melakukan penambangan liar nikel. Jadi yang seharusnya dipidanakan dan dijadikan tersangka itu PT. Position karena melakukan penambangan liar nikel, dan bukan klien kami,” kata Otto.
Seperti diketahui, PT. Wana Kencana Mineral, adalah pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Desa Ekor dan Sagea, Kecamatan Wasilo Selatan, dan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Dua karyawan PT WKM dijadikan tersangka berdasarkan laporan Direktur PT Position, Hari Aryanto Dharma Putra, ke Bareskrim Polri.
Otto menilai kejanggalan tentang rekayasa kasus terjadi sejak penyidik menggunakan dua pasal berbeda saat penyelidikan dan penyidikan.
"Pada proses penyelidikan, kedua klien kami dituduh melanggar Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 3 huruf a dan huruf k UU Kehutanan, sedangkan di proses penyidikan, berubah pasalnya, dan dituduh melanggar Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 2 huruf a UU Kehutanan,” paparnya.
Kejanggalan lainnya, kata Otto, pasal yang disangkakan adalah pelanggaran Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara jo Pasal 50 ayat 2 huruf a UU Kehutanan, akan tetapi pertanyaan yang diajukan kepada tersangka dan saksi, bukan pertanyaan seputar pelanggaran atas ketentuan tersebut.
“Yang ditanyakan lain, justru seputar patok/pagar pembatas yang dilakukan klien kami di wilayah IUP milik klien kami sendiri, yang menurut penyidik, pemasangan patok tersebut, di jalan angkutan (logging) yang sedang dikerjakan PT. Position,” tandasnya.
Selain melanggar wilayah IUP milik perusahaan lain, PT Position sebetulnya juga melakukan perusakan hutan. “Karena pengerjaan PT Position, bukan membuka jalan angkutan atau logging. Tapi mengeruk tanah sehingga tanah hutan jadi rusak,” kata Otto.
Di dalam dakwaan yang dibacakan jaksa di Pengadilan Jakarta Pusat, Rabu 13 Agustus 2025, keduanya dijerat dengan Pasal 162 Jo Pasal 70, Jo Pasal 86F huruf b, Jo Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan/atau tindak pidana kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) Jo Pasal 50 ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.