Kerja Bisa Bikin Cepat Mati? Fakta Mengejutkan Tentang Budaya Overwork!

Ilustrasi kerja remote / digital nomad, Bagaimana tempat kerja bisa “membunuh” seseorang?, Mengapa karyawan tetap bertahan di tempat kerja yang toxic?, Kenapa manajemen puncak harus peduli?, Bagaimana cara menghentikan ini?
Ilustrasi kerja remote / digital nomad

Dalam kehidupan bermasyarakat, saat dua orang bertemu untuk pertama kali, biasanya setelah bertukar nama, pertanyaan berikutnya adalah “Kerja di mana?” atau “Apa pekerjaanmu?”

Pekerjaan memang sering menjadi identitas sosial, sumber penghasilan, sekaligus penentu reputasi kita di mata keluarga, teman, maupun kenalan baru. Kalau pekerjaan dan tempat kerja memberi begitu banyak hal, termasuk duka yang akhirnya membuat mereka memutuskan untuk berhenti.

Riset yang dipublikasikan oleh Stanford Graduate School of Business menemukan bahwa orang berhenti bekerja ketika tempat kerja mulai membahayakan kesehatan mereka.

Studi tersebut menunjukkan, perusahaan-perusahaan di AS dikelola dengan cara yang berkontribusi pada 120.000 kematian per tahun dan menyumbang sekitar 5 hingga 8% biaya kesehatan tahunan. Mengejutkan, bukan?

Bagaimana tempat kerja bisa “membunuh” seseorang?

Melansir laman Times of India, ada dua faktor utama yang dapat menciptakan budaya kerja beracun:

  1. Lingkungan manusia – dengan siapa karyawan berinteraksi? Bagaimana perilaku mereka? Aktivitas apa yang berlangsung di sekitar? Dan apa dampaknya terhadap mental maupun fisik karyawan?
  2. Lingkungan sosial – suasana kerja sehari-hari, termasuk budaya perusahaan, tradisi, dan norma komunitas.

Jika salah satu dari lingkungan ini bermasalah, karyawan pasti akan menderita. Dari sisi medis, jam kerja panjang terbukti meningkatkan tekanan darah secara sistematis yang memicu berbagai penyakit serius. Tekanan kerja dan depresi juga mendorong karyawan mencari pelarian lewat alkohol, rokok, atau makan berlebihan kebiasaan yang jelas mempersingkat usia.

Selain itu, stres dan depresi merusak sistem saraf pusat dengan mengacaukan hormon seperti kortisol. Jadi, kerugian yang muncul bukan hanya soal perilaku, tapi juga gangguan fisiologis.

Mengapa karyawan tetap bertahan di tempat kerja yang toxic?

Setiap orang berharap punya kendali atas pekerjaan alias otonomi dalam tugas sehari-hari. Sayangnya, kenyataannya sering berbeda. Lalu, kenapa banyak orang tetap bertahan bahkan bangga dengan kerja berlebihan?

Ada dua alasan utama:

  • Gaji tinggi. Banyak orang memilih diam dan menanggung stres karena takut kehilangan stabilitas finansial jika melawan atasan.
  • Harapan masa depan. Ada juga yang rela menjadi workaholic karena percaya pekerjaannya bisa membuka peluang lebih besar di kemudian hari. Sayangnya, pengorbanan kesehatan demi “masa depan cerah” sering justru berbalik merugikan.

Kenapa manajemen puncak harus peduli?

Profesor Perilaku Organisasi di Stanford Graduate School of Business, Jeffrey Pfeffer mengungkap sebagian manajemen percaya bahwa tekanan tinggi bisa memaksimalkan potensi karyawan. Padahal, kenyataannya sering berlawanan, karyawan mengalami burnout, kehilangan motivasi, dan produktivitas menurun. Pekerjaan akhirnya sekadar jadi beban, bukan sesuatu yang ingin diselesaikan dengan baik.

“Saya menunggu ada jaksa yang berani menangkap seorang CEO karena pada dasarnya melakukan pembunuhan,” kata dia.

Jeffrey mengungkap manajemen perlu sadar bahwa mencegah lebih murah daripada mengobati. Jika jumlah karyawan sakit bertambah, biaya kesehatan perusahaan juga naik lewat klaim asuransi. Hasilnya? Kedua belah pihak sama-sama rugi.

Bagaimana cara menghentikan ini?

Kita tidak bisa berharap perusahaan dengan sukarela menghapus budaya lembur tanpa batas. Perlu ada aturan tegas yang membatasi. Di sisi lain, masyarakat juga harus berhenti mengagung-agungkan budaya kerja berlebihan (hustle culture) yang hanya mengorbankan kesehatan fisik dan mental.