Generasi Z Resign: Kombinasi Beban Kerja, Stres, dan Minimnya Dukungan Sosial

resign, gen z, Generasi Z Resign: Kombinasi Beban Kerja, Stres, dan Minimnya Dukungan Sosial

GENERASI Z, mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kini menjadi salah satu kelompok penduduk terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai sekitar 75 juta jiwa. Mereka tumbuh di era digital dan kini mulai memasuki dunia kerja.

Namun, kehadiran generasi ini menghadirkan tantangan baru bagi perusahaan, terutama karena pola pikir dan nilai mereka terhadap pekerjaan sangat berbeda dibanding generasi sebelumnya.

Sebagai digital native, generasi Z dikenal cepat dalam mengakses informasi, tapi kerap merasa kurang percaya diri saat harus mengambil keputusan penting.

Di dunia kerja, banyak dari mereka merasa tidak terikat secara emosional dengan perusahaan. Sifat mereka yang cenderung individualis dan tidak terlalu menghormati hierarki membuat mereka lebih mudah berpindah kerja.

Di Indonesia, survei menunjukkan bahwa 77 persen pekerja profesional mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru. Menariknya, 65 persen dari generasi Z yang baru bekerja juga memiliki niat serupa.

Jika tidak ditangani, tingginya angka perpindahan kerja bisa merugikan perusahaan, terutama karena biaya rekrutmen dan pelatihan karyawan baru yang tidak sedikit.

Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa faktor beban kerja tidak selalu menjadi penyebab utama. Artinya, setiap perusahaan perlu memahami situasi masing-masing dan mencari cara terbaik untuk mempertahankan talenta muda mereka.

Dengan memahami karakteristik generasi Z dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, perusahaan bisa meminimalkan risiko kehilangan karyawan dan memastikan keberlanjutan bisnis di masa depan.

Stres dan beban kerja

Survei JakPat (dalam Rangga dan Hermiati, 2023) menunjukkan bahwa alasan utama generasi Z keluar dari pekerjaan adalah gaji yang tidak sebanding dengan tugas, budaya kerja yang tidak sehat, beban kerja berlebih, stres, dan kelelahan.

Beban kerja berlebihan membuat karyawan merasa tertekan, baik secara fisik maupun mental. Ketika pekerjaan menumpuk, tapi tidak diimbangi waktu yang cukup untuk menyelesaikannya, karyawan akan mengalami stres berat.

Stres ini bisa berasal dari tekanan dalam tugas, hubungan yang kurang baik dengan atasan atau rekan kerja, hingga lingkungan kerja yang tidak mendukung.

Lebih jauh lagi, stres kerja bisa mengubah cara berpikir dan merusak emosi karyawan. Bila perusahaan tidak mampu mengelola beban kerja dengan bijak, maka karyawan akan merasa tidak dihargai dan cenderung mencari tempat kerja baru yang lebih menghargai keseimbangan hidup mereka.

Karena itu, penting bagi perusahaan untuk tidak hanya fokus pada target dan hasil, tapi juga memperhatikan kesehatan mental serta kesejahteraan karyawannya—terutama mereka yang berasal dari generasi muda yang lebih sensitif terhadap stres dan tekanan kerja.

Dukungan sosial

Bagi generasi Z yang mulai menapaki dunia kerja, tantangan seperti tekanan pekerjaan dan stres membuat niat untuk resign semakin terasa nyata.

Dukungan ini bisa datang dari rekan kerja, atasan, staf, bahkan pelanggan, dan dapat membuat seseorang merasa lebih nyaman dan terbantu dalam menghadapi stres di lingkungan kerja.

Sayangnya, ketika hubungan di tempat kerja tidak berjalan baik—misalnya, komunikasi yang buruk atau kurangnya kerja sama—karyawan bisa merasa semakin tertekan. Hal ini berisiko meningkatkan intensi untuk keluar kerja.

Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa dalam kasus tertentu, seperti yang terjadi di PT Bentoel Prima Malang, dukungan sosial ternyata tidak selalu cukup untuk mencegah karyawan dari niat keluar kerja, jika beban dan stres kerja terlalu tinggi.

Penelitian ini semakin relevan karena banyak perusahaan kini menghadapi tantangan mempertahankan karyawan dari generasi Z, yang lebih vokal dan peka terhadap ketidakseimbangan kerja dan kehidupan pribadi.

Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memahami bagaimana beban kerja, stres, dan dukungan sosial saling memengaruhi keputusan karyawan generasi Z untuk tetap bertahan atau meninggalkan pekerjaan mereka.

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan bagi pengelolaan SDM di perusahaan serta menjadi motivasi bagi generasi Z untuk saling mendukung dan membangun lingkungan kerja yang sehat demi mencapai keberhasilan bersama.

Ketika target kerja terlalu berat, tugas datang mendadak, dan waktu kerja tidak sesuai dengan aturan, karyawan mulai merasa lelah secara fisik maupun mental.

Korelasi kuat antara beban kerja dan niat keluar kerja ini menunjukkan bahwa beban yang tidak dikelola dengan baik bisa jadi pemicu utama tingginya angka turnover.

Namun menariknya, dukungan sosial dari rekan atau atasan ternyata tidak cukup kuat untuk mengurangi efek negatif dari beban kerja terhadap keinginan resign.

Artinya, walaupun seseorang mendapat dukungan emosional dari teman kerja atau atasan, hal ini belum tentu bisa menghentikannya untuk keluar jika beban kerja dan stres sudah terlalu tinggi.

Walau begitu, dukungan sosial tetap penting, karena penelitian juga menunjukkan bahwa secara umum, dukungan dari lingkungan kerja bisa menurunkan niat untuk resign jika dilihat sebagai faktor berdiri sendiri.

Memberikan pelatihan, membagi tugas dengan adil, dan memastikan keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi adalah langkah nyata yang bisa menjaga generasi Z tetap loyal dan termotivasi di tempat kerja.