Ancaman Serangan Siber oleh AI Independen Tanpa Instruksi Manusia

STEPHEN Kines, tokoh keamanan siber peraih banyak penghargaan mengingatkan bahwa Artificial Intelligence (AI) memiliki kemampuan melakukan serangan siber secara independen tanpa instruksi manusia.
Sebagai mantan perwira militer, Stephen yang menjabat sebagai wakil komandan Goldilock, menulis laporan yang dipublikasikan Cyber Defense Magazine berjudul "The Growing Threat of AI-powered Cyberattacks in 2025" (15/06/2025).
Stephen menyebut bahwa AI telah berevolusi. Dari semula sekadar alat bantu menjadi entitas penyerang yang bisa menyusun, mengeksekusi, dan mengembangkan serangan secara otonom.
Fenomena ini mengkonfirmasi fase baru lanskap keamanan siber global. Ancaman tidak lagi hanya datang dari manusia, melainkan juga dari sistem AI cerdas dan independen.
Model keamanan siber tradisional tidak lagi memadai dalam menghadapi ancaman tak kasat mata yang terus berevolusi secara mandiri.
Kerugian
Laporan Cyber Defense Magazine mengungkap bahwa biaya pelanggaran data global meningkat tajam. Jika rata-rata kerugian tahun 2025 mencapai 4,9 juta dollar AS per insiden, maka diprediksi akan membengkak menjadi 24 triliun dollar AS secara global pada 2027.
Salah satu pendorong utama lonjakan ini adalah penggunaan AI dalam kejahatan siber. Insiden bisa mencakup peretasan otomatis, penyebaran malware, hingga eksploitasi celah sistem dalam skala luas.
Secara analitik dapat dikemukakan bahwa eskalasi biaya ini tidak hanya menunjukan meningkatnya beban sektor bisnis, tetapi juga menggambarkan semakin tingginya skala serangan dan kompleksitas penanganannya.
AI memungkinkan serangan dilakukan 24/7 dengan akurasi tinggi, membuat kerugian sulit dibatasi jika tak direspons secara canggih.
Contoh nyata dari ancaman ini adalah malware berbasis AI seperti ransomware BlackMatter. Berbeda dengan malware konvensional, BlackMatter dapat beradaptasi terhadap ekosistem, pertahanan lawan, dan mengatur ulang strategi serangan secara real-time.
Laporan menyatakan bahwa Malware ini secara aktif mampu menghindari sistem deteksi, bahkan mengevaluasi data korban untuk memaksimalkan dampaknya. Luar biasa!
Evolusi malware AI menjadikan ancaman dinamis dan berkelanjutan. Oleh karena itu, deteksi statik bisa tak lagi efektif dan menjadi usang. Keamanan harus bersifat prediktif dan otonom agar mampu mengimbangi kecepatan dan kecerdasan penyerang.
Laporan Cyber Magazine menyatakan bahwa AI kini juga dapat melakukan replikasi mandiri. Setelah menginfeksi satu titik, malware AI bisa menyebar sendiri ke seluruh jaringan tanpa intervensi atau instruksi manusia.
Dalam laporannya Stephen menyebut, dalam hitungan menit, sistem terintegrasi bisa lumpuh, dan tim keamanan bisa kehilangan kendali sebelum serangan dikenali.
Serangan otonom semacam ini berpotensi mengancam infrastruktur informasi kritikal nasional seperti pembangkit listrik, sistem transportasi, dan layanan keuangan.
Oleh karena itu, keamanan siber negara seperti Indonesia harus dibangun dan memiliki landasan regulasi yang kuat berupa UU Keamanan dan Ketahanan Siber. Regulasi ini penting untuk mencegah potensi serangan AI tak terkendali.
Laporan ini juga menyebut, AI dapat melakukan serangan siber menjadi sangat personal. Dengan analisis perilaku online dan pola komunikasi, AI dapat menciptakan email phishing nyaris sempurna. Seolah dikirim oleh rekan kerja atau atasan sehingga jauh lebih sulit dikenali.
Serangan berbasis rekayasa sosial ini memanfaatkan celah psikologis. Dengan menggunakan AI, serangan tidak lagi bersifat acak, tetapi sangat tertarget.
Literasi digital, edukasi keamanan siber, dan pelindungan data pribadi perlu berjalan bersamaan untuk menutup celah ini. Solusi defensif harus setara dengan kompleksitas ancaman yang dihadapi.
European Council mempublikasikan "Predicting the Unpredictable: How AI Is Shaping Ransomware Attacks". Webinar ini Memprediksi hal yang tak terduga dan bagaimana AI membentuk serangan Ransomware” (27 November 2024).
Para pakar menyampaikan bahwa kemajuan teknologi AI tidak hanya memperkuat pertahanan, tetapi juga secara aktif memperkuat taktik serangan ransomware. AI telah memungkinkan serangan menjadi lebih canggih, tepat sasaran, dan lebih sulit dicegah.
Publikasi Dewan Eropa itu menyoroti bagaimana algoritma pembelajaran mesin mampu menganalisis kerentanan dengan lebih efektif.
Serangan ransomware bukan lagi dalam bentuk menyebar virus secara massal karena bisa mengidentifikasi target secara terpersonalisasi.
Data publikasi Dewan Eropa menunjukan bahwa melalui data dan pembelajaran mesin, serangan ini menjadi unik, sangat efisien, dan lebih berbahaya.
Hal lain yang disoroti adalah penggunaan AI untuk menyamar sebagai aktivitas normal dalam jaringan, strategi bertahan AI defensif, dan proyeksi masa depan ancaman siber yang didominasi oleh AI.
Diskusi ini mencerminkan bahwa pertarungan pelaku kejahatan siber dengan tim keamanan dan ketahanan siber lebih merupakan kontestasi antar-AI. Organisasi yang tidak mengadopsi teknologi berbasis AI diprediksi akan tertinggal dan rentan dieksploitasi.
Manfaat AI
Terlepas dari segala kerentanan dan bahayanya, AI juga berperan besar dalam keamanan siber. Seperti dilaporkan EC Council University "What is AI in cybersecurity?" yang menyatakan, bahwa AI telah terbukti menjadi aset penting dalam mengatasi masalah keamanan siber.
AI juga menawarkan pengembangan agen cerdas untuk mengatasi tantangan keamanan spesifik secara efektif.
Agen cerdas, baik dalam bentuk perangkat keras maupun perangkat lunak, dirancang untuk mengoptimalkan probabilitas pencapaian tujuan yang ditentukan melalui kemampuannya untuk mengamati, mempelajari, dan membuat keputusan yang tepat.
Agen cerdas ini dapat mendeteksi kerentanan dalam struktur kode yang kompleks, mengidentifikasi kejanggalan dalam pola login pengguna, bahkan mengenali jenis malware baru yang menghindari metode deteksi.
AI memainkan peran penting dalam keamanan siber dengan menghadirkan agen cerdas yang mampu menganalisis data dalam jumlah besar. Selain itu, mengenali pola tersembunyi dan rekomendasi tindakan yang dapat ditindaklanjuti.
AI membantu profesional keamanan dalam mendeteksi ancaman, merespons insiden dengan cepat, serta secara otomatis melakukan mitigasi terhadap risiko.
Keunggulan AI dalam memahami pola kompleks dan menghubungkan berbagai informasi yang tersebar membuatnya sangat efektif dalam mengidentifikasi kerentanan dan bug, sebelum sistem diluncurkan ke lingkungan produksi.
EU Council University menyebut, sistem manajemen keamanan berbasis AI dapat melakukan pembelajaran mandiri, mengumpulkan dan menganalisis data dari seluruh sistem informasi organisasi, serta memberikan wawasan kontekstual dalam memprioritaskan respons terhadap ancaman.
Dengan kemampuannya mengintegrasikan deteksi canggih, respons cepat, dan transparansi analisis, AI memperkuat postur keamanan siber organisasi dan memperluas jangkauan pengawasan terhadap ancaman global.
Lebih dari sekadar alat bantu, AI menjadi mitra strategis bagi para profesional keamanan, membentuk kemitraan sinergis antara manusia dan mesin.
Indonesia
Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang mengatur penggunaan, pengawasan, dan potensi penyalahgunaan AI di ruang siber.
Saat kejahatan berbasis AI menghadirkan ancaman jauh lebih kompleks dibanding serangan digital konvensional, di saat sama hukum positifnya justru belum siap.
Celah hukum ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber. Tanpa regulasi yang jelas, penyalahgunaan AI sulit dicegah dan ditindak secara hukum.
Indonesia perlu segera memiliki Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai payung hukum utama dalam menghadapi ancaman digital yang semakin kompleks dan otonom termasuk kejahatan berbasis AI.
Materi muatan AI sebaiknya mencakup kebolehan penggunaan AI untuk keamananan dan ketahanan siber, serta larangan penggunaan AI untuk modus kejahatan.
Pengawasan sistem AI berisiko tinggi, protokol penanganan insiden siber berbasis AI, kewajiban audit keamanan AI, standar nasional keamanan infrastruktur digital, dan pembentukan lembaga pengawas AI nasional adalah hal lain yang perlu diatur.
UU Keamanan dan Ketahanan Siber akan menjadi dasar kepastian dalam menjaga kedaulatan digital Indonesia.
Tanpa UU ini, kita akan berada dalam posisi bertahan yang lemah, dan tak cukup memiliki kekuatan legal untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, dan pemulihan krisis digital yang terorkestrasi oleh AI.