Indonesia Termasuk Pengguna AI Tertinggi di Dunia: Kedaulatan Digital Harus Tegak

INDONESIA dinobatkan sebagai satu dari 10 negara pengguna Artificial Intelligence tertinggi di dunia. Jumlah penggunanya melampaui Kanada dan Filipina.
Dilansir Yahoo!Tech "The 10 countries that use AI the most" (03/04/2025), berdasar analisis dari aitools.xyz, penggunaan alat berbasis AI mengalami lonjakan signifikan. Total kunjungan web ke situs AI mencapai 101,12 miliar atau naik 36,3 persen pada tahun lalu.
Laporan itu menyebut Amerika Serikat menjadi negara dengan pengguna AI terbanyak, dengan 1,9 miliar kunjungan pada Februari 2025 saja, sama dengan 16,1 persen dari total global.
Pengguna tertinggi berikutnya adalah India dengan 1,1 miliar kunjungan atau 9 persen, Kenya dengan 549 juta kunjungan atau 4,6 persen, Brasil 468,6 juta kunjungan atau 3,9 persen.
China menduduki peringkat kelima dengan 382,1 juta kunjungan, Jerman di peringkat keenam dengan 309,2 juta kunjungan, Inggris di peringkat ketujuh dengan 307,3 juta.
Indonesia berada di peringkat ke delapan dengan 304,4 juta kunjungan melampaui Filipina di peringkat kesembilan dengan 276,8 juta kunjungan, dan Kanada di peringkat ke sepuluh dengan 274,6 juta kunjungan.
Data kunjungan pengguna AI Indonesia yang mencapai 304,4 juta tahun lalu menunjukan masifnya penggunaan AI, khususnya AI generatif oleh pengguna internet Tanah Air.
Peningkatan ini juga menandakan adopsi AI yang semakin luas berbagai kalangan, baik untuk keperluan pribadi, pendidikan, maupun bisnis.
Tulisan ini adalah materi kuliah saya tentang Hukum AI dan Transformasi Digital di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Sebagai wujud pendidikan bagi semua orang, materi versi ilmiah populernya saya bagikan kepada pembaca Kompas.com.
Kedaulatan digital
Masuknya Indonesia sebagai 10 negara dengan pengguna AI tertinggi menjadi alarm bagi Pemerintah. Sudah saatnya membuat kebijakan lebih komprehensif dan pentingnya regulasi sebagai dasar kepastian hukum dan kedaulatan digital.
Indonesia memang tidak dikelompokkan sebagai negara penghasil AI yang mendominasi secara global. Data berbagai survei menunjukan, kita lebih banyak berkedudukan sebagai pengguna teknologi AI.
Dalam posisi inilah kedaulatan digital negara harus ditegakan. Agar penggunaan dan pemanfaatan AI paralel dengan pelindungan masyarakat dan kepentingan nasional, untuk terbangunnya ekosistem digital yang aman, sehat, dan produktif.
Jika tidak ada regulasi yang jelas dan tepat sasaran, maka Indonesia dan populasi digitalnya, berpotensi menjadi pasar terbuka teknologi AI yang tidak terukur kualitas, produktivitas, maupun tingkat keamanannya.
Bukan tak mungkin, AI yang tidak lolos uji atau bahkan dilarang di negara-negara lain dengan regulasi ketat, bisa dipasarkan dan digunakan di sini karena ketiadaan regulasi dan kebijakan yang menyeleksinya.
Kebijakan dan regulasi yang tepat sasaran menjadi sangat krusial. Bukan hanya demi menciptakan kepastian hukum, tetapi juga memastikan perkembangan AI tidak berjalan tanpa kendali.
Perlu diingat, regulasi yang tidak adaptif atau terlalu longgar bisa membuka celah penyalahgunaan AI. Sementara regulasi yang terlalu kaku dapat menghambat inovasi dan pemanfaatannya. Diperlukan regulasi transformatif proporsional.
Pendekatan hukum transformatif yang dinamis, responsif, dan berbasis risiko (risk-based approach) perlu dikembangkan untuk merespons situasi ini.
Dominasi
Selain data survei tentang pengguna AI, terdapat pula data lain terkait masa depan dan negara-negara mana yang mendominasi Pasar AI global.
Pangsa pasar AI sebagai teknologi global akan meningkat dari 7 persen menjadi 29 persen. Hal ini menjadikan AI sebagai teknologi paling dominan di era mendatang.
Data paling anyar ini dirilis pada 7 April 2025 oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), organisasi di bawah PBB yang menangani Perdagangan dan Pembangunan.
Laporan ini menyebut, pasar AI diproyeksikan mencapai 4,8 triliun dolar AS pada 2033. Rilis dimuat dalam laporan berjudul “AI market projected to hit $4.8 trillion by 2033, emerging as dominant frontier technology” (07/04/2025).
Sebagai organisasi yang dibentuk Majelis Umum PBB pada 1964, UNCTAD memiliki tugas mengatasi berbagai isu terkait keuangan, teknologi, investasi, dan pembangunan berkelanjutan.
UNCTAD berperan penting dalam membantu pembangunan berkelanjutan negara-negara berkembang.
Laporan itu menyebut pertumbuhan eksponensial AI didorong oleh kemajuan dalam deep learning, natural language processing, dan komputasi awan.
Lonjakan nilai pasar juga menunjukkan AI menjadi tulang punggung produktivitas dan pertumbuhan industri digital global.
Hal yang diwanti-wanti dalam laporan itu adalah, meskipun potensi transformasi kehidupan sehari-hari semakin besar, tetapi risiko ketimpangan juga meningkat.
Kenyataan ini menunjukan bahwa kebijakan dan regulasi yang tepat semakin mendesak, seiring semakin luasnya penggunaan AI secara lintas sektoral dan bersifat linbtas teritorial.
Dominasi global
Data menunjukan, kemajuan AI sangat terkonsentrasi pada 100 perusahaan global, terutama yang berasal dari AS dan China. Mereka mendominasi hingga 40 persen R & D AI dunia. Perusahaan-perusahaan itu juga menguasai mayoritas paten dan publikasi ilmiah.
Stanford University melalui publikasinya “Global AI Power Rankings: Stanford HAI Tool Ranks 36 Countries in AI” (21/11/2025) menyatakan, bahwa alat Global Vibrancy milik mereka bisa menggabungkan 42 indikator untuk mengungkap negara mana yang paling unggul dalam AI.
Global Vibrancy Tool 2024 yang dikembangkan oleh Stanford Institute for Human-Centered AI (HAI) memberikan gambaran komprehensif tentang kekuatan dan ketahanan ekosistem AI di 36 negara.
Laporan Global AI Power Rankings memperkuat fakta tersebut, di mana AS menempati posisi puncak berkat dominasi dalam riset berkualitas tinggi, investasi swasta, dan model pembelajaran mesin.
Alat Global Vibrancy yang digunakan mengukur 42 indikator dari 36 negara, menunjukkan China berada di posisi kedua. China juga unggul dalam jumlah paten AI.
negara lain seperti Inggris, UEA, Perancis, dan Korea Selatan juga menunjukkan kemajuan signifikan berkat investasi besar dan strategi nasional AI mereka.
Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan kekuatan inovasi antara negara maju dan negara berkembang. Konsentrasi inovasi berisiko membatasi akses terhadap teknologi terbuka dan memperlambat penyebaran global.
Keunggulan teknologi juga akan memperkuat dominasi ekonomi negara-negara besar dan memperlebar jurang pertumbuhan.
AI juga diproyeksikan berdampak pada 40 persen pekerjaan global. Negara maju menghadapi risiko otomasi tinggi sekitar 33 persen. Namun demikian, membuka peluang bagi mereka untuk meningkatkan 27 persen pekerjaan lainnya melalui integrasi AI.
Sedangkan, negara berkembang dan berpendapatan rendah berada dalam posisi yang lebih rentan dan kurang siap. Hal ini disebabkan karena AI generatif mengubah lanskap tenaga kerja secara radikal yang kerap tak terduga.
AI di satu sisi meningkatkan efisiensi. Namun di sisi lain mengancam stabilitas pekerjaan sektor tradisional dan berpendidikan rendah. Kesenjangan keterampilan digital adalah unsur yang berdampak pada marginalisasi pekerja.
Regulasi AI juga harus mencakup pelindungan terhadap pekerja yang terdampak. Kerangka kerja baru untuk tenaga kerja digital perlu dirumuskan secara proporsional dengan memperhatikan hak-hak pekerja.
UNCTAD mengingatkan bahwa hanya 30 persen negara berkembang, dan 12 persen negara paling tidak berkembang, yang sudah memiliki strategi nasional AI hingga 2023, jauh tertinggal dari dua pertiga negara maju yang telah menyusunnya.
Tanpa strategi ini, negara-negara berkembang terancam menjadi konsumen pasif teknologi. Ketertinggalan dalam pengembangan strategi AI nasional, juga bisa menghambat pembangunan infrastruktur digital dan adopsi teknologi.
Negara yang gagal membangun ekosistem AI berisiko tertinggal dalam kompetisi global dan produktivitas nasional.
Kejelasan peta jalan, pendidikan progresif, dan strategi ketenagakerjaan yang tepat adalah unsur penting untuk membangun kemampuan negara menyesuaikan diri dengan realitas AI global.
Fokus utama strategi AI harus ditekankan pada beberapa hal yang mencakup: membangun infrastruktur digital, mendorong keterbukaan dan berbagi data, serta meningkatkan literasi AI mulai dari pendidikan dasar. Menurut UNCTAD, ketiganya adalah fondasi untuk pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.
Infrastruktur komputasi dan data menentukan keberhasilan riset dan aplikasi AI lokal. Investasi di bidang ini akan membuka pasar domestik dan mengurangi ketergantungan terhadap teknologi luar.
Pendidikan dan literasi AI juga merupakan hal penting. UNCTAD mendesak perlunya tata kelola AI yang inklusif dan berorientasi pada manusia.
Diperlukan kolaborasi multipihak antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil agar AI mendorong kemajuan inklusif dan bukan memperparah kesenjangan.
Kolaborasi lintas sektor akan mempercepat inovasi yang etis dan bertanggung jawab. Pendekatan yang mengutamakan manusia akan melindungi hak, budaya, dan identitas komunitas yang rentan.
Strategi AI nasional harus berfokus pada tiga titik ungkit utama AI, yaitu infrastruktur, data, dan keterampilan. Prioritasnya meliputi meningkatkan infrastruktur untuk memastikan akses yang adil terhadap listrik, akses internet dan broadband, dan daya komputasi.
Di bidang data, mengingat karakter data sebagai The New Oil, maka perlu penekanan pada promosi data terbuka dan transfer data yang aman untuk meningkatkan penyimpanan, akses, dan kolaborasi.
Untuk Indonesia saat ini sudah memiliki UU 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Implementasi UU ini tak hanya mengedepankan hak pemilik data pribadi, tetapi juga bagaimana memanfaatkan big data secara optimal.
Mengingat fenomena AI tak lepas dari ketrampilan digital, maka kita harus membangun literasi AI di berbagai populasi dengan mengintegrasikannya ke dalam berbagai jenjang pendidikan.