Menyambut Musim Semi AI di Indonesia

kecerdasan buatan, artificial intelegence, Menyambut Musim Semi AI di Indonesia

TAHUN 2025, 2026, 2027 sangat mungkin Artificial Intelligence (AI) memasuki musim semi di Tanah Air tercinta.

Berdasarkan survei Sharing Vision teranyar baru-baru ini, diperkirakan pengguna AI berbayar di Indonesia telah melewati 50 juta orang. Dan sangat mungkin akan segera melewati 100 juta orang.

Potensi pasar AI berbayar di Indonesia nampaknya telah melewati Rp 150 triliun setahun. Dalam waktu dekat bisa jadi segera mencapai Rp 300 triliun.

Perkiraan angka ini tentu membuat kita tercengang. Kita semua bertanya-tanya, seberapa siap negeri tercinta ini; baik masyarakat, akademisi, bisnis dan industri, maupun pemerintah untuk menyambut Indonesia "AI Spring" ini?

Survei Sharing Vision pada Mei-Juni 2025, dengan 5.755 responden di berbagai wilayah Indonesia mengungkapkan bahwa 99,8 persen netizen mengetahui keberadaan kecerdasan buatan (AI).

Sebanyak 11,6 persen masih kurang memahami detailnya, sementara sisanya merasa cukup atau sangat paham.

Pengetahuan tentang AI ini terutama bersumber dari media sosial (83 persen), mesin pencari (59 persen), teman atau keluarga (37 persen), artikel (35 persen), televisi (9 persen), dan website pemerintah (4 persen).

Kecepatan adopsi AI di Indonesia, khususnya setelah kemunculan model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT, benar-benar luar biasa.

Secara global, listrik memerlukan 50 tahun, radio 25 tahun, televisi 15 tahun, dan internet 7 tahun untuk diterima secara luas. Sementara ChatGPT hanya butuh 2 bulan untuk mencapai 100 juta pengguna.

Indonesia menunjukkan laju adopsi yang sejalan dengan tren global ini, mencerminkan musim semi antusiasme masyarakat terhadap AI.

Sebanyak 50 persen netizen Indonesia telah mengintegrasikan AI dalam keseharian mereka, dengan 40 persen menggunakan AI lebih dari 1 jam sehari dan 5 persen lebih dari 4 jam sehari.

Tingkat penggunaan ini sebanding dengan negara-negara maju, di mana 5–10 persen netizen, terutama Gen Z dan Milenial, memanfaatkan AI secara intensif untuk kebutuhan kerja atau teknologi tinggi.

Apa aplikasi AI terpopuler di Indonesia? Aplikasi AI terpopuler mencakup ChatGPT (84 persen), Gemini (58 persen), Grammarly (43 persen), Deepseek (39 persen), Siri (36 persen), Copilot (31 persen), Claude (21 persen), Notion AI (19 persen), Grok (18 persen), Alexa (19 persen), DALL-E (9 persen), dan Midjourney (8 persen).

ChatGPT memimpin sebagai LLM untuk penulisan, pemrograman, dan percakapan. Sementara Grammarly dan Copilot menonjol dalam produktivitas, serta Siri dan Alexa digemari untuk interaksi berbasis suara.

AI kreatif seperti DALL-E dan Midjourney, meski lebih spesifik untuk desain dan seni, mulai menarik minat. Sedangkan Deepseek dan Grok mencerminkan eksplorasi netizen terhadap platform AI baru untuk kebutuhan seperti penelitian atau analisis data.

Lebih lanjut, pasar AI berbayar di Indonesia menawarkan peluang yang tentu membuat para investor, perusahaan teknologi dan perusahaan AI maupun technopreneur berdecak kagum.

Survei menunjukkan 78  persen responden yang pernah mencoba AI menggunakan versi berbayar, dengan 44 persen masih aktif berlangganan. Sementara 16 persen bertahan dengan versi gratis.

Dengan populasi internet Indonesia sekitar 215 juta pada 2025, proporsi pengguna AI berbayar diperkirakan berkisar antara 40,76 persen (87,63 juta pengguna) hingga 72,27 persen (155,38 juta pengguna).

Dengan biaya langganan rata-rata 10 dollar AS per bulan atau sekitar Rp 160.000 per bulan (berdasarkan kurs Rp 16.000 per dollar AS pada Juni 2025), nilai pasar AI berbayar diperkirakan mencapai Rp 168,25 triliun hingga Rp 298,33 triliun per tahun.

Perhitungan ini berdasarkan estimasi bulanan: 87,63 juta pengguna × Rp 160.000 = Rp 14,02 triliun (batas bawah) dan 155,38 juta pengguna × Rp 160.000 = Rp 24,86 triliun (batas atas), yang dikalikan 12 bulan.

Angka ini menggarisbawahi potensi menakjubkan Indonesia sebagai pasar AI.

Pertanyaannya kemudian adalah berapa siap kita menghadapi dan mengantisipasi angka-angka musim semi AI di Indonesia yang ada di depan mata?

Namun, di tengah peluang ini, muncul risiko serius. Dari tulisan penulis sebelumnya, tingkat adiksi internet severe (parah) untuk Gen Y dan Gen Z di Indonesia sangat memprihatinkan.

Kira-kira 6 juta Gen Y dan Gen Z di Indonesia telah mengalami adiksi internet severe (parah).

Sebagian peneliti dan penulis telah menggunakan istilah adiksi AI juga secara beririsan dengan adiksi internet.

Terlebih lagi, beberapa hasil penelitian mengungkapkan, penggunaan AI yang berlebihan dapat mengurangi kreativitas, memperlambat perkembangan kognitif, dan melemahkan kemampuan berpikir kritis.

Potensi penyalahgunaan AI untuk kejahatan, seperti deepfake, disinformasi atau amplifikasi konten negatif, juga menjadi ancaman.

Lebih lanjut, apakah musim semi pasar AI di Indonesia ini nantinya akan dipanen manfaat ekonominya oleh anak bangsa, atau hanya oleh hegemoni industri AI global?

Berikutnya, apakah AI yang berkembang di Indonesia benar-benar akan menebarkan manfaat yang sustainable bagi anak bangsa, atau malah membawa ipoleksosbudhankam NKRI ke titik nadir?

Pertanyaan ini muncul mengingat sifat multi-dimensi AI yang kalau dinarasikan secara salah sebagai superintelligence yang dianggap bak tongkat midas mampu memecahkan semua masalah.

Oleh karena itu, menjadikan AI sebagai kekuatan positif, penulis mengusulkan tiga hal berikut.

Pertama, meningkatkan literasi AI untuk semua generasi, termasuk Gen Z, Milenial, dan orangtua sebagai pendamping digital.

Program ini harus mengedukasi tentang risiko penggunaan berlebihan, seperti penurunan kreativitas dan perlambatan perkembangan otak, serta etika AI untuk mencegah penyalahgunaan, seperti pembuatan konten merusak.

Mengingat 83 persen dan 59 persen netizen memperoleh informasi AI dari media sosial dan mesin pencari, saluran ini ideal untuk kampanye literasi.

Kedua, pemerintah harus membangun ekosistem AI nasional yang mencakup data center, perangkat, jaringan, infrastruktur, aplikasi, pipeline AI, pemodelan, dan layanan AI.

Kerja sama seimbang dengan mitra global dari China, Amerika, Eropa, dan India akan mempercepat inovasi sembari menjaga kedaulatan digital.

Ketiga, pemerintah perlu segera merampungkan regulasi AI berbasis nilai-nilai Pancasila dan paradigma MINMAX, seperti dijelaskan penulis dalam tulisan di Kompas.com pada 7 Desember 2024.

Paradigma MINMAX menekankan minimalisasi dampak negatif AI, seperti bias atau penyalahgunaan, sekaligus memaksimalkan manfaatnya, seperti inovasi dan inklusivitas.

Regulasi ini harus mencerminkan narasi “Akal Inspiratif Indonesia” yang mengedepankan AI sebagai alat untuk merekatkan keberagaman budaya, memperkuat keadilan sosial, dan mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai kondisi sosial, budaya, dan ekonomi NKRI.

Dengan literasi inklusif, ekosistem lokal yang tangguh, dan regulasi berbasis nilai nasional, Indonesia dapat memanfaatkan AI sebagai katalis kemajuan tanpa mengorbankan kemanusiaan dan kedaulatan.

AI bukan sekadar teknologi, tetapi cerminan bagaimana kita merancang masa depan bangsa.

Meminjam ujaran Heidegerian dari sahabat penulis, Kang Indra Utoyo, mari kita sambut musim semi AI di Indonesia dengan tetap meletakkan human in the loop, yakni manusia Indonesia, anak bangsa sebagai sentral narasi dan pengembangan AI di Indonesia!