AI Horizons 2035: Saatnya Indonesia Memimpin, Bukan Sekadar Mengikuti

AI Horizons, artificial intelegence, AI Horizons 2035: Saatnya Indonesia Memimpin, Bukan Sekadar Mengikuti

By far the greatest danger of Artificial Intelligence is that people conclude too early that they understand it.”-- Eliezer Yudkowsky

PADA 16 Juni 2025, Saint Petersburg menjadi tuan rumah forum ilmiah tertutup AI Horizons — sebuah inisiatif global untuk memetakan masa depan kecerdasan buatan (AI) yang diorganisir oleh AI Alliance Network dan menjadi bagian dari rangkaian acara Artificial Intelligence Journey (AIJ).

AI kini telah menjadi kekuatan yang menentukan arah masa depan peradaban. Namun, di balik euforia teknologi seperti ChatGPT, mobil otonom, dan robot cerdas, muncul satu pertanyaan besar: Apakah kita benar-benar memahami ke mana arah pengembangan AI dan apa dampaknya bagi kita sebagai manusia?

Pertanyaan inilah yang menjadi dasar dari pertemuan tertutup AI Horizons di Saint Petersburg, Rusia—yang mempertemukan para ilmuwan dari negara-negara BRICS+ untuk merumuskan masa depan AI.

Diskusi mereka tidak hanya teknikal, tetapi juga menyentuh ranah sosial dan etis.

Kegiatan ini dirancang sebagai ajang foresight strategis, menghadirkan lebih dari 50 ilmuwan top dari 15 negara BRICS+ untuk mengkaji arah riset AI dalam 10 tahun ke depan.

Indonesia tak ketinggalan. Tiga ilmuwan dari Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) diundang secara khusus: Prof. Hammam Riza, Presiden KORIKA dan tokoh pionir transformasi digital nasional, Dr. Sri Safitri, Sekjen Partnership KORIKA dan Group Corporate Transformation leader Telkom Indonesia dan Prof. Suyanto, Rektor Telkom University sekaligus pakar pembelajaran mesin dan AI edukasi.

Partisipasi ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia siap mengambil peran strategis dalam percaturan AI global — bukan hanya sebagai pengguna, tetapi sebagai penentu arah.

Sepuluh pilar strategis AI dunia

Selain mengikuti kuliah umum dari pakar AI Rusia, China dan India, rangkaian kegiatan AI Horizons juga membahas 10 pilar utama riset AI global yang sedang dan akan menjadi landasan perkembangan teknologi ini.

Pertama, algoritma dan arsitektur pembelajaran mesin. Para ilmuwan merancang algoritma yang lebih adaptif, hemat energi, dan dapat bekerja secara terdistribusi melalui federated learning. Ini penting agar AI bisa tetap berjalan bahkan saat data tak terkumpul dalam satu pusat.

Di Indonesia, sistem ini tentunya sangat cocok untuk layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan digital di daerah 3T — di mana keterbatasan konektivitas dan data sering menjadi hambatan.

Kedua, komputasi masa depan untuk AI. Riset mendorong pengembangan komputer kuantum, fotonik, dan neuromorfik—komputasi generasi baru yang mampu menangani beban kerja AI dengan efisiensi tinggi.

Bagi Indonesia, pentingnya pengembangan edge computing dan integrasi AI dalam perangkat lokal seperti IoT dan sensor pertanian menjadi kunci untuk adopsi AI yang merata.

Ketiga, data untuk AI. Isu utama: bagaimana membuat data yang aman, berkualitas, dan representatif.

Pilar ini mencakup data synthesis, augmentasi data, dan proteksi privasi. Dalam konteks UU Perlindungan Data Pribadi, pengembangan AI Indonesia harus memprioritaskan pemrosesan data secara etis — terutama untuk sektor seperti keuangan, kesehatan, dan pemerintahan.

Keempat, model foundation dan generatif. Model generatif seperti LLM (ChatGPT), diffusion model (gambar dan suara), serta multimodal AI yang mampu menangani teks, video, dan audio secara bersamaan menjadi pusat perhatian.

Bayangkan model AI lokal yang bisa memahami bahasa daerah, menghasilkan konten edukasi interaktif, dan melayani kebutuhan publik multibahasa dari Sabang sampai Merauke.

Kelima, keamanan, kepercayaan, dan explainability. AI harus bisa dijelaskan (explainable), aman dari serangan siber, dan patuh pada nilai-nilai sosial.

Penting untuk mencegah bias algoritma dalam sistem rekrutmen, kredit skoring, hingga deteksi penipuan — apalagi ketika AI mulai digunakan di sektor strategis nasional.

Keenam, Narrow AI untuk solusi spesifik. Riset pada AI yang sangat terfokus, seperti untuk deteksi dini penyakit, pengawasan lalu lintas, atau sistem rekomendasi berbasis perilaku.

Indonesia bisa langsung menuai manfaat dengan mengintegrasikan AI sempit ini ke dalam sektor-sektor vital seperti pertanian presisi, smart city, dan mitigasi bencana.

Ketujuh, sistem agen dan pengambilan keputusan. AI yang mampu belajar dari pengalaman dan bekerja sebagai “agen” dalam sistem multi-aktor — seperti kendaraan otonom atau drone kolaboratif.

Relevan untuk pengembangan sistem transportasi cerdas di perkotaan, serta solusi pengiriman logistik berbasis drone di kawasan kepulauan.

Kedelapan, menuju AGI (Artificial General Intelligence). Pilar ini menyentuh pembelajaran sepanjang hayat, embodied AI, hingga pemodelan otak dan kesadaran.

Universitas dan pusat riset di Indonesia seperti Telkom University dan BRIN dapat menjadi pionir riset neuro-AI lokal yang menghubungkan teknologi dengan riset kognitif manusia.

Kesembilan, interaksi manusia-mesin. AI tidak hanya tampil lewat layar atau suara. Pilar ini mendorong integrasi AI dengan tubuh manusia, antarmuka otak-komputer, dan interaksi personal yang disesuaikan.

Dukungan pada disabilitas, terapi medis, dan personalisasi pendidikan menjadi ruang aplikatif yang luas untuk Indonesia.

Kesepuluh, AI dan masyarakat. Bagaimana AI akan mengubah pendidikan, pekerjaan, etika, dan regulasi menjadi perdebatan mendalam.

Pilar ini memetakan dampak jangka panjang dari AI terhadap struktur sosial. Indonesia harus menyiapkan literasi digital untuk semua kalangan, melibatkan masyarakat sipil, serta memastikan AI tidak memperlebar kesenjangan sosial.

Apa yang bisa dipelajari oleh peneliti, startup, dan inovator Indonesia?

Kehadiran Indonesia di AI Horizons 2035 bukan hanya simbolis, tetapi harus dijadikan momentum strategis.

Berikut beberapa masukan konkret agar hasil dari forum ini bisa diterjemahkan ke dalam lompatan inovasi nyata:

Pertama, peneliti: Fokus pada pilar prioritas dengan aset lokal. Peneliti dari kampus dan lembaga riset perlu menyusun agenda kolaboratif lintas institusi berbasis kekuatan nasional — seperti pengembangan LLM berbahasa Indonesia dan bahasa daerah, pemodelan data kesehatan tropis, atau AI untuk bencana geologi.

Pilar 1, 3, dan 4 bisa menjadi titik awal dengan nilai tambah tinggi.

Kedua, startup AI: Kembangkan Narrow AI yang solutif. Daripada meniru big-tech, startup Indonesia sebaiknya membangun "task-specific AI" (Pilar 6) yang menyasar masalah riil seperti manajemen air pertanian, logistik desa, ketahanan pangan hingga edukasi berbasis suara untuk daerah minim literasi. AI yang praktis, ringan, dan relevan akan cepat diadopsi.

Ketiga, inovator dan founder: Kuasai prinsip etika dan privasi. Inovator digital Indonesia perlu memahami Pilar 5 dan 10 secara mendalam—bagaimana membangun AI yang aman, transparan, dan selaras dengan nilai-nilai sosial Indonesia. Ini akan menjadi keunggulan kompetitif saat regulasi mulai diperketat.

Keempat, kembangkan AI-Native Talents. Kolaborasi universitas dan industri harus mencetak AI-native talents — bukan hanya pengguna tool AI, tetapi pencipta dan pemikir sistemik.

Pengalaman dari AI Horizons bisa diadopsi melalui program magang riset internasional, forum riset bersama BRICS+, dan dukungan beasiswa lintas negara.

Kelima, perkuat jejaring internasional. Keikutsertaan KORIKA dalam AI Horizons harus diperluas ke jejaring riset terbuka.

Startup, kampus, dan komunitas perlu aktif membangun kemitraan riset bilateral maupun multilateral. Kolaborasi ini bukan hanya soal dana, tapi juga akses pada sumber daya, dataset, dan visibilitas global.

Yudkowsky mengingatkan bahwa bahaya terbesar AI bukan pada teknologinya, tapi pada kesombongan kita merasa telah memahaminya terlalu dini.

Melalui AI Horizons, para ilmuwan dunia — termasuk dari Indonesia — sedang membangun fondasi peradaban baru.

Partisipasi aktif KORIKA menjadi bukti bahwa Indonesia siap naik kelas: dari pengguna teknologi menjadi pencipta arah. 

Namun upaya ini butuh sinergi lintas sektor — dari pemerintah, industri, akademisi, hingga masyarakat. Karena masa depan AI bukan untuk ditonton, tapi untuk dibentuk. Bersama. Sekarang.