Hype dan Realitas Manfaat AI di Indonesia 2025

artificial intelegence, Hype dan Realitas Manfaat AI di Indonesia 2025

DALAM riset sekitar tahun lalu, masyarakat Indonesia ditemukan sangat optimistis pada manfaat Artificial Intelligence (AI), bahkan lebih dari masyarakat Amerika dan negara-negara maju di dunia.

Apakah manfaat AI adalah sesuatu yang niscaya? Apakah sudah ada survei dan penelitian yang meyakinkan tentang manfaat AI?

Lebih penting lagi adalah, apakah persepsi dan antusiasme masyarakat tentang AI didukung oleh fakta objektif tentang manfaat AI?

Survei Sharing Vision pada Mei-Juni 2025, dengan 5.755 responden di Indonesia menunjukkan antusiasme besar terhadap kecerdasan buatan (AI.

Mayoritas responden mengidentifikasi manfaat utama AI: mempercepat pekerjaan atau tugas rutin (69,8 persen), menyediakan ide saat buntu (61,5 persen), meningkatkan efisiensi kerja (58,4 persen), menghemat waktu dalam pengambilan keputusan (51,3 persen), membantu komunikasi multibahasa (42,7 persen), dan meningkatkan kreativitas (31,2 persen).

Namun, 1,2 persen responden merasa AI tidak memberikan manfaat apa pun, membuka ruang perenungan: apakah AI benar-benar memperkuat akal manusia, atau justru membuat kita semakin malas berpikir?

Penelitian terbaru dalam tiga tahun terakhir (2022–2025) yang mengkritisi, memfalsifikasi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi klaim manfaat AI memberikan perspektif kritis terhadap hasil survei ini, menyoroti batasan teknis, dampak sosial, dan kebutuhan tata kelola yang lebih kuat di Indonesia.

Penelitian tentang mekanisme AI, atau Inside AI, menyoroti bahwa teknologi ini bergantung pada data, probabilitas, dan machine learning yang rentan terhadap bias dan halusinasi.

Survei Sharing Vision menonjolkan manfaat AI dalam mempercepat tugas (69,8 persen) dan komunikasi multibahasa (42,7 persen).

Namun, penelitian oleh Dwivedi et al. dalam "So what if ChatGPT wrote it? Multidisciplinary perspectives on opportunities, challenges and implications of generative conversational AI for research, practice and policy" dan diterbitkan dalam International Journal of Information Management (Volume 71, Agustus 2023) menegaskan bahwa model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT, yang populer di Indonesia (84 persen pengguna), sering menghasilkan output yang tampak meyakinkan, tapi keliru karena ketergantungan pada data pelatihan yang bias.

Dalam konteks Indonesia, minimnya data pelatihan berbasis bahasa lokal memperparah risiko ketidakakuratan, terutama dalam aplikasi multibahasa.

Penelitian ini mendekonstruksi anggapan bahwa AI selalu meningkatkan efisiensi, menunjukkan bahwa kesalahan AI dapat memperumit pengambilan keputusan (51,3 persen responden), terutama di sektor seperti kesehatan atau keuangan yang menuntut akurasi tinggi.

Dari perspektif Outside AI, dampak sosial AI menimbulkan kekhawatiran serius. Survei mengklaim AI meningkatkan kreativitas (31,2 persen) dan menyediakan ide saat buntu (61,5 persen).

Namun, penelitian oleh Chan dalam penelitian berjudul "Students’ voices on generative AI: perceptions, benefits, and challenges in higher education“ yang dipublikasikan di International Journal of Educational Technology in Higher Education (Volume 20, Nomor 43, 2023) menemukan bahwa mahasiswa di Hong Kong khawatir AI generatif seperti ChatGPT dapat menghambat kreativitas dan pemikiran kritis jika digunakan berlebihan.

Temuan ini relevan di Indonesia, di mana 5 persen netizen menggunakan AI lebih dari 4 jam sehari, berisiko menciptakan ketergantungan yang melemahkan kemampuan kognitif.

Selain itu, penelitian oleh Kreps et al. (2022) memperingatkan bahwa AI generatif dapat memfasilitasi penyebaran disinformasi, terutama di platform media sosial yang menjadi sumber utama informasi AI di Indonesia (83 persen).

Dengan 1,2 persen responden merasa AI tidak bermanfaat, ini mencerminkan skeptisisme terhadap nilai sejati AI, terutama jika outputnya tidak dapat dipercaya atau hanya menggantikan usaha manusia tanpa menambah nilai substansial.

Perspektif Future AI mengevaluasi tren dan tantangan ke depan. Survei Sharing Vision menunjukkan potensi ekonomi AI berbayar Rp 168,25 triliun sampai Rp 298,33 triliun per tahun.

Sementara penelitian oleh McKinsey (2025) mencatat bahwa banyak organisasi belum melihat dampak finansial signifikan dari AI generatif, menunjukkan bahwa manfaat seperti efisiensi (58,4 persen) belum sepenuhnya terwujud.

Di Indonesia, inisiatif seperti Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) 2020-2045 bertujuan membangun ekosistem AI lokal.

Namun penelitian oleh Prasetyo dan Savirani (2022) mengkritisi ketergantungan Indonesia pada teknologi asing, yang dapat menghambat kedaulatan digital.

Penelitian ini merekonstruksi visi AI Indonesia, menekankan perlunya investasi di data center dan talenta lokal agar manfaat seperti ide kreatif (61,5 persen) dapat diwujudkan secara inklusif tanpa memperlebar ketimpangan digital.

Perspektif History of AI and Technology mengaitkan adopsi AI dengan pola historis teknologi. Survei mencatat kecepatan adopsi ChatGPT (100 juta pengguna global dalam 2 bulan).

Namun, penelitian oleh Acerbi et al. (2022) menunjukkan bahwa AI generatif cenderung dipercaya lebih rendah dibandingkan sumber manusia, memfalsifikasi anggapan bahwa AI selalu meningkatkan kepercayaan dalam pengambilan keputusan (51,3 persen).

Sejarah “AI winter” mengajarkan bahwa euforia teknologi sering diikuti kekecewaan tanpa tata kelola yang tepat.

Penelitian oleh Couldry dan Mejias (2019) lebih lanjut mendekonstruksi narasi kemajuan AI, memperingatkan bahwa teknologi ini dapat memperkuat “kolonialisme data”, terutama di negara seperti Indonesia yang bergantung pada platform global.

Hal ini relevan mengingat hanya 4 persen responden memperoleh informasi AI dari situs pemerintah, menunjukkan lemahnya narasi lokal.

Survei Sharing Vision menegaskan antusiasme terhadap AI di Indonesia, dengan manfaat seperti efisiensi dan kreativitas.

Namun, penelitian terbaru memfalsifikasi klaim berlebihan tentang manfaat AI, mendekonstruksi anggapan bahwa AI selalu memperkuat akal manusia, dan merekonstruksi visi untuk AI yang inklusif.

Nampaknya filosofi “jangan melampau batas” dalam melebih-lebihkan apa pun, termasuk AI, merupakan suatu langkah bijak.

Segala hal yang “melampaui tapal batas” seringkali membawa anak bangsa menuju ketertipuan dan ketergelinciran.

Menempatkan AI sebagai copilot yang selalu di-guide oleh manusia dan institusi manusia dengan perangkat tata kelola yang jelas dan pengukuran manfaat nyata dari AI terus menerus, tampaknya menjadi suatu langkah bijak.

Mari kita bangun AI berbasis narasi Akal Inspiratif Indonesia agar benar-benar memanusiakan manusia Indonesia dan membawanya ke peradaban yang lebih asih dan maju .