Mengenang Tsunami Pangandaran 17 Juli 2006: Luka 19 Tahun yang Masih Membekas di Pesisir Selatan Jawa

Tepat 19 tahun lalu, pada 17 Juli 2006, wilayah selatan Pulau Jawa diguncang oleh bencana dahsyat yang meninggalkan jejak luka mendalam.
Gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,7 yang terjadi di lepas pantai memicu gelombang tsunami besar yang menerjang pesisir Pangandaran, Jawa Barat, serta wilayah selatan Jawa lainnya.
Ribuan orang kehilangan tempat tinggal, ratusan jiwa melayang, dan kenangan kelam itu masih hidup dalam ingatan banyak warga hingga kini.
Bagaimana Kronologi Gempa dan Tsunami Pangandaran 2006?
Sore hari yang tenang pada Senin, 17 Juli 2006, mendadak berubah mencekam. Sekitar pukul 15.19 WIB, gempa kuat mengguncang kawasan selatan Pulau Jawa.
Menurut data Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika (saat itu PGN BMG), kekuatan gempa mencapai 6,8 skala Richter, dengan pusat gempa di kedalaman kurang dari 30 kilometer.
Tidak lama berselang, dua gempa susulan berkekuatan 5,5 dan 6,1 SR menyusul, mengguncang wilayah selatan Pameungpeuk, berjarak sekitar 100–150 kilometer dari pusat lindu pertama.
Zona ini memang dikenal sebagai kawasan rawan gempa subduksi, pertemuan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia.
Getaran terasa hingga ke Cilacap dan Kebumen (Jawa Tengah), Pantai Baron (DIY), bahkan Jakarta. Namun bencana sesungguhnya datang dari laut.
Tsunami setinggi 2 hingga 4 meter menerjang pantai dan permukiman, menyapu bangunan dan membawa korban jiwa serta kerugian besar.
Air laut menembus hingga 100 meter ke daratan dan kembali menyeret segala yang dilewatinya saat mundur ke laut.
Seberapa Besar Dampak dan Korban dari Bencana Ini?
Tsunami menghantam pesisir dari Pangandaran hingga DIY. Di Pantai Suwuk, Kebumen, sepuluh pemancing dilaporkan hilang.
Tim SAR Wijaya Kusuma menyelamatkan tujuh orang dari Pantai Teluk Penyu dan Lengkong di Cilacap. Di Pantai Permisan, Pulau Nusakambangan, seorang narapidana turut menjadi korban jiwa.
Kerusakan besar juga terjadi di sektor perikanan dan infrastruktur pesisir. Sebanyak 125 perahu nelayan rusak parah, tempat pelelangan ikan Karangduwur hancur, dan 20 warung terseret ombak.
Di Pantai Suwuk dan Ayah, lebih dari 500 perahu rusak. Perahu-perahu bahkan terseret hingga ke persawahan.
Kepanikan melanda warga yang berbondong-bondong mengungsi ke daerah perbukitan. Di tempat pengungsian, mereka hidup dengan fasilitas seadanya dan trauma yang membekas dalam waktu lama.
Berapa Jumlah Korban Jiwa dan Pengungsi?
Sebanyak 668 orang meninggal dunia akibat tsunami ini. WHO mencatat 9.299 korban luka. Ciamis menjadi wilayah dengan korban terbanyak, diikuti Cilacap dan Tasikmalaya. Sebagian besar jenazah dimakamkan secara massal.
Jumlah pengungsi mencapai puluhan ribu: 43.759 orang di Ciamis, 12.025 orang di Tasikmalaya, 4.300 orang di Cilacap, dan 1.268 orang di Kebumen.
Selain korban fisik dan infrastruktur, bencana ini juga menghantam aktivitas sosial dan ekonomi.
Sekolah-sekolah tutup, sektor pariwisata lumpuh, dan ketakutan akan laut menghantui para nelayan hingga berbulan-bulan.
Bencana gempa dan tsunami Pangandaran 2006 menjadi pengingat penting akan perlunya kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana alam.
Zona selatan Jawa, sebagai daerah rawan gempa subduksi, membutuhkan sistem peringatan dini yang andal serta edukasi berkelanjutan kepada masyarakat tentang mitigasi risiko.
Selain itu, penting pula memperkuat sistem tanggap darurat dan pemulihan pascabencana agar korban bisa mendapatkan bantuan secara cepat dan tepat.
Kesadaran kolektif dan investasi pada kebijakan kebencanaan adalah kunci untuk meminimalkan kerugian di masa depan.
Kini, hampir dua dekade berlalu, ingatan akan tragedi tersebut masih membekas. Namun dari puing-puing bencana itulah muncul kesadaran bahwa hidup berdampingan dengan potensi alam memerlukan kesiapan, solidaritas, dan ketangguhan yang terus diasah.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "".