Banyak ‘Rojali’ di Mal, Kelas Menengah Pilih Barang Lebih Murah di E-Commerce demi Bisa Investasi

Banyak ‘Rojali’ di Mal, Kelas Menengah Pilih Barang Lebih Murah di E-Commerce demi Bisa Investasi

Sejumlah pusat perbelanjaan tengah ramai dengan fenomena rombongan jarang beli alias 'Rojali'. Fenomena ini terlihat dari banyaknya pengunjung mall tapi tak melakukan transaksi apa-apa.

“Fenomena Rojali adalah ekspresi sosial dari melemahnya daya beli masyarakat,” ujar pengamat ekonomi Handi Risza dalam keterangannya, Kamis (24/7).

Menurutnya, fenomena ini bukan sekadar tren sosial, melainkan gejala struktural ekonomi yang mengkhawatirkan.

"Harga barang yang terus naik, penghasilan yang stagnan, dan pergeseran konsumsi ke kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, serta transportasi menjadi pemicu utama,” ujar Handi.

“Bahkan, kelompok kelas atas kini mulai menahan belanja dan lebih fokus pada investasi untuk menjaga konsumsi masa depan," terang Handi.

Tren ini, menurut Handi, turut diperparah oleh kondisi deflasi pada awal tahun 2025 yang justru mencerminkan penurunan konsumsi, bukan perbaikan harga.

Di sisi lain, masyarakat kelas menengah yang selama ini menjadi penggerak konsumsi nasional mulai tergerus.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah kelas menengah menyusut dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024—penurunan sebesar 9,48 juta dalam lima tahun terakhir.

"Ini alarm serius. Jika kelas menengah terus menyusut, efek domino ke sektor ritel, properti, hingga UMKM akan sangat besar,” ujar Handi yang juga Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri ini.

Handi juga menyoroti peran e-commerce dalam mengubah pola konsumsi masyarakat. Banyak yang hanya window shopping di mal, lalu belanja online karena lebih murah.

“Tapi ini tidak serta-merta menunjukkan daya beli kuat, karena data penerimaan PPN dan PPnBM hingga Juni 2025 justru menurun. Artinya, belanja masyarakat melemah di semua kanalnbaik offline maupun online," ujar Handi.

Melihat tren tersebut, ia memperkirakan tekanan terhadap sektor ritel akan berlanjut hingga akhir 2025.

Kombinasi antara daya beli yang lesu dan pergeseran konsumsi digital membuat pusat-pusat perbelanjaan sulit bangkit dalam waktu dekat.

PKS mendorong Pemerintah mengambil langkah antisipatif yang terukur dan berbasis kelas sosial.

“Untuk kelas bawah, program bantuan sosial seperti Raskin dan BLT harus dipertahankan. Tapi untuk kelas menengah, perlu ada insentif langsung berupa subsidi transportasi, tol, BBM, hingga listrik,” tutur Handi.

Dia menganggap, Pemerintah tidak bisa lagi hanya fokus pada bantuan sosial untuk kelompok miskin semata.

“Namun juga harus hadir untuk kelas menengah yang rentan,” tegasnya. (Knu)