Heboh Pembatasan WhatsApp dan Urgensi Kerja Sama Industri Telekomunikasi

WhatsApp, operator telekomunikasi, Heboh Pembatasan WhatsApp dan Urgensi Kerja Sama Industri Telekomunikasi

FENOMENA pembatasan penggunaan WhatsApp dan platform Over The Top (OTT) lainnya, terjadi di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, tempat cikal bakal platform itu lahir dan dikembangkan.

Dilansir Reuters “WhatsApp banned on US House of Representatives Devices, Memo Shows” (24/06/2025), bulan lalu, layanan WhatsApp telah dilarang untuk digunakan pada semua perangkat DPR di Amerika Serikat.

Hal ini tertuang dalam memo yang dikirimkan kepada semua staf DPR. Kantor Keamanan Siber menganggap WhatsApp berisiko tinggi bagi pengguna di lingkup DPR AS.

Faktor lain yang menjadi pertimbangan kebijakan itu adalah kurangnya transparansi dalam melindungi data pengguna. Tidak adanya enkripsi data yang tersimpan dan potensi risiko keamanan yang terkait dengan penggunaannya.

Sontak saja kebijakan ini ditentang keras Meta induk platform perpesanan paling populer itu. Meta menyatakan bahwa platform mereka memiliki tingkat keamanan lebih tinggi dibanding aplikasi lain yang disetujui DPR.

Di Rusia, terdapat juga gerakan untuk melarang WhatsApp. Dilansir Antara (20/07/2025), seorang legislator Rusia meminta penyedia WhatsApp hengkang dari Rusia. Aplikasi pesan instan itu bisa saja masuk daftar perangkat lunak yang terlarang di negeri itu.

Bagaimana dengan Dubai? Dubai Ticket mempublikasikan “Is WhatsApp Banned in Dubai? Other Useful Applications to use in Dubai & More”.

Di Dubai wisatawan tidak akan bisa melakukan panggilan WhatsApp karena dibatasi oleh pemerintah dengan pertimbangan keamanan. Untuk komunikasi di negeri itu, banyak aplikasi alternatif gratis yang tersedia.

Sementara itu, seperti dilaporkan Hongkong Free Press “Restrictions on Hong Kong civil servants’ access to WhatsApp, WeChat on work computers to take effect this month” (23/10/2024), terdapat juga pembatasan platform serupa di Hongkong.

Pembatasan itu berupa larangan penggunaan penyimpanan cloud dan layanan pesan instan, termasuk WhatsApp Web, WeChat, dan Google Drive, jika digunakan pada komputer kerja PNS Hong Kong. Kebijakan itu berlaku mulai Oktober 2024.

Menteri Teknologi Hong Kong, Sun Dong menyatakan bahwa pembatasan penggunaan WhatsApp, WeChat, dan layanan berbasis web di komputer kantor pemerintah, diberlakukan karena insiden serius pelanggaran data.

Namun, penggunaan WhatsApp oleh Pegawai Negeri Sipil pada perangkat pribadi dikecualikan dengan persetujuan.

Pembatasan ini bertujuan mencegah kebocoran data dan mengatasi masalah keamanan siber. Meskipun demikian, PNS Hongkong masih bisa mendapatkan pengecualian dengan persetujuan pimpinan.

Indonesia

Di Indonesia, aplikasi perpesanan instan seperti WhatsApp dan Telegram, dan berbagai platform User Generated Content (UGC), streaming, dan platform media sosial, pada umumnya bebas digunakan tanpa pembatasan teknis berarti.

Dalam catatan memang pernah terjadi platform yang terkena sanksi karena melanggar regulasi.

Salah satu platform perpesanan terpopuler adalah WhatsApp, yang saat ini telah digunakan oleh 3 Miliar pengguna di dunia.

Jika merujuk pada data World Population Review, di Indonesia WhatsApp memiliki 112 juta pengguna. Artinya menempati posisi ketiga dari lima besar negara pengguna WhatsApp terbanyak di dunia. Luar biasa!

Bagaimana dengan Telegram? Masih menurut data World Population Country “Telegram Users by Country 2025”, pengguna Telegram di Indonesia mencapai 24,3 juta Pengguna pada 2025.

Platform OTT media sosial dan aplikasi pesan instan telah menjadi elemen penting dalam perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia. Ekosistem digital sebagai dampak teknologi ini telah terbentuk secara masif.

Indonesia selama ini memberikan keleluasaan tanpa pembatasan berarti terhadap penggunaan platform OTT. Masyarakat juga cenderung memiliki ketergantungan, dan menjadikannya sebagai platform efisien.

Namun, harus dipahami bahwa kondisi ini juga telah menciptakan tekanan besar bagi industri telekomunikasi. Salah satunya adalah beban meningkatnya lalu lintas data akibat penggunaan intensif platform-platform OTT tersebut secara masif.

Platform digital yang kita bahas disebut OTT, karena layanan digitalnya berjalan di atas jaringan operator telekomunikasi. Selama ini semua itu dilakukan tanpa kompensasi langsung kepada operator telekomunikasi.

Memang harus diakui bahwa OTT telah menciptakan pasar bagi bisnis kuota layanan telekomunikasi. Namun, fenomena OTT juga telah menggerus dan mendisrupsi pendapatan operator telko domestik secara signifikan.

Layanan konvensional seperti voice dan SMS telah terdisrupsi secara signifikan oleh layanan pesan instan OTT. Pilihan pelanggan, tentu akan jatuh kepada layanan platform OTT yang “gratis” atau lebih murah.

Saya tentu tak bermaksud menyatakan bahwa layanan platform OTT harus dihentikan karena hal ini tidak produktif dan ekosistemnya telah terbangun.

Hal yang harus diingatkan adalah bahwa operator telko selama ini justru menjadi pihak terdepan yang harus bertanggungjawab atas baik buruknya kualitas layanan (Quality of service) jaringan yang ujungnya menghubungkan aplikasi OTT dengan pelanggannya.

Selama ini, operator telekomunikasi juga harus menanggung biaya pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur jaringan. Termasuk yang dibutuhkan untuk menunjang layanan-layanan OTT.

Tekanan bagi operator telko juga ditambah beban tambahan dalam fasilitasi infrastruktur jaringan. Karena trafik data yang besar akibat masifnya layanan OTT, berkorelasi dengaan kebutuhan peningkatan kapasitas dan kecepatan jaringan telekomunikasi.

Operator telekomunikasi dituntut terus berinvestasi untuk meningkatkan kapasitas jaringan, seperti membangun lebih banyak infrastruktur BTS, jaringan fiber optik, satelit, dan lainnya.

Jika abai, ketika jaringan terlalu padat akibat penggunaan platform OTT, maka pelanggan bisa mengalami penurunan kualitas layanan.

Dampaknya bisa buffering saat streaming, gangguan saat video call, atau lelet saat mengakses aplikasi.

Jika hal ini terjadi, maka biasanya pelanggan justru akan menuntut tanggung jawab operator telekomunikasi.

Dengan kata lain, beban untuk menjamin Quality of Service sepenuhnya ditimpakan kepada operator telekomunikasi. Kondisi ini pada akhirnya berdampak pada ketidakseimbangan beban.

Operator Telekomunikasi domestik juga dibebani kewajiban finansial dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) spektrum frekuensi, PNBP penyelenggaraan telekomunikasi dan PNBP USO. Hal yang tidak dibebankan kepada penyedia layanan OTT.

Jika model ini terus berlangsung, maka akan berdampak pada industri telekomunikasi dan layanan pelanggan. Kualitas layanan bisa menurun karena jaringan terlalu padat, sementara operator kekurangan sumber daya dan kemampuan.

Solusinya adalah kerjasama mutualistik antara OTT dan operator telekomunikasi. Hal ini penting, untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih adil, dan berkelanjutan.

Dengan kemitraan proporsional, maka kedua pihak dapat saling mendukung untuk memberikan pengalaman layanan digital yang lebih baik bagi masyarakat.

Regulasi harus dibangun berdasarkan prinsip hukum transformatif dan kolaboratif. Teknologi dan inovasi tak boleh terhambat. Layaran dan kemudahan untuk publik adalah prioritas.

Sinergi antara OTT dengan operator telekomunikasi dalam membangun ekosistem digital yang sehat dan berkualitas adalah keniscayaan.

Perlu dicari model bisnis untuk menjamin berkelanjutan dan kolaboratif keduanya. Jika industri telekomunikasi nasional dan penyedia OTT tidak melakukan kolaborasi yang adil, maka tak hanya ketimpangan yang akan terjadi, tetapi layanan publik akan terdampak karena potensi terpuruknya industri telekimunikasi kita.

Kerja sama ideal antara OTT dan operator telekomunikasi harus mengarah pada model berbagi tanggung jawab dan manfaat.

Salah satunya dalam bentuk “revenue sharing” dan “network usage compensation”, di mana penyedia OTT turut berkontribusi atas pemanfaatan jaringan.

Model kolaborasi lain adalah joint service bundling, di mana operator dan OTT menyusun perencanaan paket layanan bersama yang saling menguntungkan.

Dengan kemitraan strategis, OTT dan operator telekomunikasi tidak akan bersebrangan dan menjadi kompetitor satu sama lain, tetapi justru menjadi mitra kolaborasi.

Keduanya bisa saling melengkapi untuk membangun bisnis dan ekosistem digital yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Kita berkepentingan atas tumbuh dan sehatnya industri telekomunikasi, mengingat sektor ini termasuk salah satu kontributor terbesar Pendapatan Negara Bukan Pajak untuk pembangunan ekonomi nasional.

Pemerintah juga perlu menekankan tanggung jawab pengelola OTT terkait keamanan siber, sejalan dengan rencana pembentukan UU Keamanan dan Ketahanan Siber.

Akhirnya, diperlukan regulasi yang bisa mendorong kerja sama kolaboratif yang adil antara OTT dengan operator telekomunikasi nasional untuk masa depan industri telekomunikasi, layanan publik terbaik, dan ekosistem digital kita yang sehat dan produktif.