Mobil Rakitan Lokal Sulit Bersaing, Pajak dan Daya Beli Jadi Masalah

Industri otomotif Indonesia tengah menghadapi tekanan berat, terutama akibat melemahnya daya beli kelas menengah, kelompok yang selama ini menjadi tulang punggung pasar mobil nasional.
Jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta jiwa, namun pertumbuhan pendapatan mereka kini stagnan, hanya naik sekitar 3 persen per tahun, sejalan dengan inflasi.
Sementara itu, harga mobil melonjak hingga 7,5 persen tiap tahun. Kesenjangan ini kian melebar, membuat mobil baru makin sulit dijangkau.
“Kalau tidak diantisipasi, jurang antara daya beli dan harga kendaraan bisa mengganggu pasar secara struktural,” ujar Sekretaris Umum GAIKINDO, Kukuh Kumara belum lama ini.
Selain soal harga, industri otomotif juga menghadapi tantangan dari maraknya mobil buatan Tiongkok yang hadir dengan fitur canggih dan harga lebih terjangkau.
Keunggulan mereka terletak pada efisiensi produksi melalui digitalisasi, mengurangi komponen mekanik dan menggantinya dengan layar digital multifungsi. Teknologi ini memang belum akrab bagi generasi lama, namun generasi muda justru menyambutnya antusias.
Di sisi lain, tingginya beban pajak di Indonesia juga menjadi penghalang serius. Kukuh mencontohkan, mobil buatan lokal bisa dijual Rp100 juta di pabrik, namun sampai ke tangan konsumen dengan harga Rp150 juta, selisih Rp50 juta adalah pajak.
Mitsubishi Motors turut meramaikan ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025
Bandingkan dengan Malaysia, yang hanya mengenakan pajak tahunan Rp500 ribu untuk mobil serupa, sementara di Indonesia bisa mencapai hampir Rp5 juta.
Kondisi ini membuat penjualan mobil nasional turun ke angka 865 ribu unit, jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Dampaknya meluas, mulai dari pabrikan, pemasok komponen, bengkel, hingga pelaku UMKM dan sektor media yang bergantung pada industri otomotif.
Pemerintah pun didesak untuk meninjau ulang struktur perpajakan dan memperkuat dukungan pada riset serta pengembangan industri otomotif, hal yang hingga kini masih minim realisasi.
Sementara itu, transisi menuju kendaraan listrik juga belum sepenuhnya siap. Meski kendaraan bensin dan diesel sudah mengikuti standar Euro 4, distribusi bahan bakar ramah lingkungan belum merata, terutama di luar Pulau Jawa. Infrastruktur EV pun masih dalam tahap awal.
Jika tidak segera diatasi, kombinasi antara daya beli yang melemah, beban pajak tinggi, dan tekanan dari produk impor dapat membawa industri otomotif nasional ke arah stagnasi. Langkah strategis pemerintah menjadi kunci untuk mengembalikan daya saing industri ini di kancah global.