Apa Saja yang Harus Dipertimbangkan Sebelum Terapkan Co-Parenting seperti Acha Septriasa?

Acha Septriasa dan Vicky Kharisma menerapkan co-parenting, alias pengasuhan bersama, setelah keduanya resmi bercerai pada 19 Mei 2025.
Co-parenting adalah pengasuhan anak yang dilakukan bersama-sama oleh orangtua yang sudah bercerai.
Tujuan co-parenting adalah agar anak tetap tumbuh dengan cinta dan perhatian dari ayah dan ibunya, meskipun kedua orangtuanya sudah tidak tinggal seatap.
Jika ingin menerapkan co-parenting seperti Acha dan Vicky, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti dituturkan oleh psikolog klinis anak dan remaja Alida Shally Maulinda, M.Psi., berpraktik di Sentra Pendidikan Khusus Amadeus, Manado, Sulawesi Utara.
Pertimbangan sebelum menerapkan co-parenting
1. Anak tetap membutuhkan peran ayah dan ibu
Peran sebagai suami dan istri memang telah berakhir saat bercerai. Kendati demikian, peran sebagai ayah dan ibu tetap berlangsung selamanya.
“Dan tentu, peran ayah dan ibu yang terpisah secara fisik dan emosional ini, tetap akan saling berpengaruh dalam perkembangan anak,” kata Alida, Sabtu (9/8/2025).
Untuk itu, fokuskan pikiran dan tujuan hanya untuk anak ketika ingin menerapkan co-parenting. Kesehatan anak, baik secara mental maupun fisik, adalah prioritas.
2. Cara memberi tahu anak
Setelah menjadikan anak sebagai fokus utama dalam co-parenting kelak, ayah dan ibu bisa memberi tahu anak secara perlahan agar mereka memahami kehidupan barunya.
“Ketika keputusan untuk bercerai sudah bulat bagi kedua pihak, anak harus diberi tahu. Luangkan waktu khusus untuk membicarakan ini pada anak. Lebih disarankan jika ayah dan ibu ada di situ,” tutur Alida.
Cara memberi tahu anak perlu disesuaikan dengan usia anak. Semakin muda usia mereka, semakin sederhana pula cara dan kata-kata yang digunakan.
Pada anak yang sudah mulai paham dengan isi dari buku yang dibaca, buku bisa menjadi alternatif untuk membantu ayah dan ibu menjelaskan soal situasi mereka.
Ketika dijelaskan bahwa ayah dan ibu sudah harus tinggal di tempat yang terpisah karena tidak lagi “terikat”, kemungkinan besar anak bakal menanyakan alasannya.
“Orangtua bisa menyiapkan jawaban seperti, ‘Dalam suatu hubungan, terkadang ada masalah. Masalahnya terkadang mudah, tapi juga terkadang susah. Nah, sekarang ayah dan ibu lagi menghadapi masalah yang susah banget’,” tutur Alida.
Orangtua bisa melanjutkan bahwa mereka sudah mencoba berbagai cara untuk menyelesaikan permasalahan itu, tetapi tidak berhasil. Sehingga, mereka memutuskan untuk berpisah agar tidak saling menyakiti.
Menurut Alida, proses ini lebih baik dikonsultasikan dan melibatkan tenaga profesional seperti konselor atau psikolog pernikahan.
3. Ingatlah untuk tetap menjadi orangtua
Terlepas dari alasan perceraian terjadi, dan perasaan apapun yang dirasakan terhadap mantan pasangan, ingatlah untuk tetap menjadi orangtua dari sang buah hati.
Ini juga perlu disampaikan ke anak agar mereka tetap dekat dengan ayah ibunya, meskipun sudah tidak lagi tinggal di satu atap yang sama.
“Sampaikan bahwa ayah dan ibu tetap akan menjadi orangtua anak, dan itu tidak akan berhenti sampai kapanpun. Ayah dan ibu akan tetap menyayangi anak, memastikan kesehatannya, dan melakukan apapun agar anak tetap aman dan nyaman,” ucap Alida.
Supaya anak tidak sungkan untuk menyampaikan seluruh harapan dan keluh kesahnya terhadap situasi, katakan bahwa perpisahan yang terjadi bukanlah kesalahan mereka.
“Katakan pada anak bahwa kehadiran mereka tetap menjadi hal yang paling disyukuri dalam kehidupan ayah dan ibu,” kata Alida.
Seperti apa co-parenting yang baik?
Perceraian karena konflik apapun, baik itu ringan maupun berat, orangtua harus bekerja sama dalam mengurus anak mereka.
Untuk menerapkan co-parenting yang baik dan efektif, demi perkembangan anak yang mumpuni, psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi. mengatakan bahwa orangtua harus menjalin komunikasi yang sehat.
‘“Dan tetap ada kehangatan ketika mereka menjalankan fungsinya sebagai orangtua, dan saling mendukung peran satu sama lain. Artinya tidak berkonflik di depan anak,” ujar Agnes, Sabtu.
Pandai dalam memposisikan diri
Kemudian, orangtua juga harus bisa memposisikan diri ketika mereka sedang menjadi ayah dan ibu, dan ketika mereka sedang menjadi mantan suami dan mantan istri.
Maksudnya, ketika sedang bersama dengan anak, ubah pola pikir menjadi “Saya adalah ayah atau ibu yang sedang menemani anak”, bukan “Saya sedang menemani anak bersama mantan suami atau istri”.
Agnes yang berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat ini menerangkan, ketika masih memposisikan diri sebagai mantan suami dan mantan istri, konflik berpotensi muncul karena masih ada perasaan kesal kepada mantan pasangan.
Sementara itu, ketika sedang menerapkan co-parenting, perasaan apapun yang sifatnya personal, sepenuhnya harus dikesampingkan demi anak.
“Kalau hubungan antara mantan suami dan mantan istri memang enggak baik karena konflik, saat co-parenting ya diubah perannya. Kita perlu sadar bahwa peran kita sebagai orangtua, bukan mantan suami dan mantan istri,” terang Agnes.
Menurut dia, hal tersebut memang tidak semudah seperti apa yang dikatakan.
Namun, orangtua harus berusaha, dengan kerendahan hati, untuk benar-benar fokus hanya memikirkan dan mementingkan yang terbaik untuk anak, bukan untuk diri sendiri.
“Pasti kan enggak mudah juga untuk menahan-nahan rasa kesal,” kata Agnes yang juga bekerja sebagai Penyuluh Sosial Ahli Muda di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!