3 Cara Menghadapi Mantan Pasangan yang Toksik Saat Co-Parenting

Co-parenting adalah pengasuhan anak yang dilakukan bersama-sama oleh orangtua yang sudah bercerai.
Pengasuhan bersama tersebut dilakukan untuk memastikan agar anak tetap tumbuh dengan cinta dan perhatian dari ayah dan ibunya, meskipun kedua orangtuanya sudah tidak tinggal seatap.
Namun, tidak semua mantan pasangan bisa diajak berkomunikasi yang sehat. Terkadang, ada mantan suami atau istri yang toksik karena terlalu senang mengontrol, sulit diajak berkompromi dalam membesarkan anak, dan lain sebagainya.
Lantas, bagaimana cara menyikapi mantan pasangan yang toksik saat co-parenting? Berikut penjelasan dari psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi. saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (9/8/2025).
Cara menghadapi mantan pasangan yang toksik
1. Lakukan tindakan preventif
Langkah pertama adalah melakukan tindakan preventif, seperti menetapkan aturan dan batasan yang jelas saat pengasuhan bersama.
“Hal ini biasanya dapat dilakukan ketika dalam proses perceraian hingga putusan pengadilan,” kata Agnes yang berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat.
Misalnya adalah soal jadwal kunjungan. Jika perlu, buatlah catatan tertulis tentang aturan dan batasan yang disepakati bersama, seperti hari dan jam, serta kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
2. Hanya fokus pada anak
Apabila tidak sempat melakukan tindakan preventif, Agnes menyarankan untuk memfokuskan diri pada anak. Sebab, co-parenting adalah untuk kepentingan anak, bukan diri sendiri maupun mantan pasangan.
“Tetap berusaha menciptakan situasi yang kondusif, dan tidak berkonflik di depan anak,” tutur Agnes yang juga bekerja sebagai Penyuluh Sosial Ahli Muda di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Sebab, anak belum sepenuhnya paham tentang apa yang terjadi pada ayah dan ibunya. Ia hanya ingin menghabiskan waktu dan masa kecilnya ditemani oleh kedua orangtuanya.
Ketika orangtua berkonflik di depan anak, ditambah sambil menjelekkan, anak bisa kebingungan dan pada akhirnya hanya dekat dengan ayah atau ibunya, atau justru menarik diri dari keduanya.
“Tidak perlu menjelek-jelekkan mantan pasangan di depan anak karena hal itu juga tidak memberikan dampak yang baik bagi kondisi psikologis anak,” terang Agnes.
3. Batasi interaksi langsung
Kemudian, orangtua juga bisa saling membatasi atau mengurangi interaksi langsung, kecuali untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.
Posisikan diri dan jaga kesehatan mental
Orangtua juga harus bisa memposisikan diri ketika mereka sedang menjadi ayah dan ibu, dan ketika mereka sedang menjadi mantan suami dan mantan istri.
Maksudnya, ketika sedang bersama dengan anak, ubah pola pikir menjadi “Saya adalah ayah atau ibu yang sedang menemani anak”, bukan “Saya sedang menemani anak bersama mantan suami atau istri”.
Ketika masih memposisikan diri sebagai mantan suami dan istri, konflik berpotensi muncul karena masih ada perasaan kesal kepada mantan pasangan.
Sementara itu, ketika sedang menerapkan co-parenting, perasaan apa pun yang sifatnya personal, sepenuhnya harus dikesampingkan demi anak.
“Kalau hubungan antara mantan suami dan mantan istri memang enggak baik karena konflik, saat co-parenting ya diubah perannya. Kita perlu sadar bahwa peran kita sebagai orangtua, bukan mantan suami dan mantan istri,” terang Agnes.
Supaya bisa berjalan efektif, orangtua tetap perlu menjaga kesehatan mental. Sebab, menahan amarah dan rasa kesal tidaklah mudah.
Jadi, ketika pasangan tidak kooperatif, terlalu mengontrol, dan sulit diajak untuk berkompromi dalam membesarkan anak, cobalah cari kegiatan yang bisa meningkatkan suasana hati.
“Kita perlu punya coping yang adaptif dan self-care, entah dengan melakukan olahraga, relaksasi, atau yang lainnya. Ambil jeda dulu,” kata Agnes.
Dalam kasus yang lebih serius, seperti perilaku mantan pasangan sudah memengaruhi kesehatan mental saat melakukan co-parenting, jangan segan untuk melibatkan profesional seperti mediator atau konselor keluarga.
Bagaimana jika pasangan tetap toksik?
Tidak semua orang mau berubah. Banyak yang berdalih bahwa perilakunya yang nyatanya merugikan orang lain, adalah “dirinya”. Ketika ditegur, kata-kata ajaib yang sering dilontarkan adalah “Aku kan memang orangnya begini”.
Jika pasangan tetap seperti itu, apakah co-parenting harus dihentikan, sehingga anak hanya diurus oleh pemegang hak asuh?
“Kalau dari perspektif sebagai petugas layanan di KemenPPPA, pengasuhan tetap perlu dilakukan oleh keduanya,” ungkap Agnes.
Namun, ada pengecualian, yakni ketika ayah atau ibu sudah terbukti tidak mampu mengurus anak, dan/atau berpotensi melakukan kekerasan terhadap anak.
Agnes kembali menegaskan bahwa tujuan co-parenting adalah memberikan yang terbaik untuk anak, yang harus dilakukan oleh ayah dan ibu, terlepas dari status sudah bercerai.
“Karena yang dikejar memang kepentingan terbaik anak, butuh banget kompromi dan kesadaran orangtua yang berkonflik. Jadikan selalu ‘kepentingan terbaik untuk anak’ sebagai dasar untuk memutuskan apakah ‘berhenti’ atau tetap lanjut,” ucap dia.
“Kepentingan terbaik ini anak adalah terpenuhinya hak-hak anak atas hidup, pendidikan, kesehatan, bermain, dan tumbuh kembangnya,” sambung Agnes.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!